Ketegangan terus meningkat di Thailand ketika ratusan aktivis pro-demokrasi turun ke jalan selama akhir pekan untuk menyerukan diadakannya pemilu baru setelah empat tahun pemerintahan militer. Protes itu adalah tanda ketidakpuasan yang berkembang dengan kekuasaan militer Dewan Penjaga Ketertiban dan Perdamaian Nasional Thailand (NCPO) PM Prayut Chan-o-cha—yang terbiasa menunda pemilu dan mengulanginya setahun kemudian.
Pasukan militer sekarang berjanji untuk mengadakan pemilu pada Februari 2019 setelah mengingkari janjinya tahun ini untuk mengakhiri masa pemerintahan militer saat ini.
Videos by VICE
“Sudah saatnya NCPO berhenti,” kata Karn Pongprapaphan, seorang aktivis mahasiswa 24 tahun dan salah satu ketua Democracy Restoration Group—kelompok aktivis yang berada di barisan depan dalam aksi protes ini. “Sudah saatnya mereka menghentikan masa kekuasaannya. Kami, orang Thailand, ingin pemilu baru. Sudah empat tahun kita tidak melakukan pemilihan perdana menteri yang baru.”
Para aktivis mempertaruhkan dirinya Sabtu lalu dengan melakukan aksi protes di luar markas besar pasukan militer Thailand. Militer melarang pertemuan politik lebih dari lima orang pada tahun 2015 dalam sebuah rancangan ulang konstitusi nasionalnya. Undang-undang tersebut bertujuan mematikan perbedaan pendapat, tetapi sekarang pelarangan tersebut tidak mampu menghentikan aksi berani aktivis pro-demokrasi yang berkumpul di jalan-jalan untuk menuntut perubahan.
Karn memberitahu VICE alasannya mengikuti demonstrasi adalah memaksa Militer Thailand berhenti mendukung NCPO.
“Kami meminginkan pemilihan perdana menteri baru. Kami ingin menggunakan hak suara kami,” ujarnya.
Aksi protes yang diadakan Sabtu lalu dimulai di Universitas Thammasat di Bangkok — yang dimantapkan sebagai titik nol bagi gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa. Universitas ini memiliki sejarah panjang aktivis politik, yang berasal dari peran mahasiswa dalam pemberontakan pada 1973 yang menggulingkan diktator antikomunis, Thanom Kittikachorn. Kepulangannya dari pengasingan di Singapura pada 1976 membuat ribuan mahasiswa dan aktivis berdemo. Pasukan keamanan membalas dengan melepaskan tembakan, menewaskan 46 orang, meskipun perhitungan yang tidak resmi menunjukkan angka yang mendekati 100.
Pada hari Sabtu, para demonstran memulai aksi protes dari Universitas Thammasat ke markas besar Tentara Thailand, sebuah kompleks besar yang berjarak sekitar tiga kilometer dari kampus, di mana mereka disambut oleh regu polisi anti huru hara. Ada pertikaian kecil yang terjadi di antara kedua belah pihak, tetapi sebagian besar aksi berjalan damai ketika para aktivis memulainya dengan sungguh-sungguh.
Mereka mengangkat tiga jari di udara, sebuah isyarat yang diadopsi dari seri film Hunger Games yang selama ini digunakan sebagai cara untuk memprotes kekuasaan militer yang berlanjut dan menuntut agar NCOP berhenti berkuasa. Banyak orang yang ditangkap karena alasan sepele di Thailand sejak junta mengambil kendali, seperti diam-diam membaca buku 1984-nya George Orwell dan memakan sandwich.
“Kami berada di sini karena kami ingin memberikan suara,” Pan, salah seorang demonstran, memberi tahu VICE. “Kami seharusnya dibebaskan memilih para pemimpin kami. Awalnya kami masih memaklumi mengapa NCPO mengambil alih kekuasaan. Tapi kami tidak mengira akan selama ini.”
Rangsiman Rome, salah satu pemimpin utama Democracy Restoration Group, turut andil pada hari Sabtu dan mengatakan bahwa penangkapan tak beralasan, sesi “penyesuaian sikap” , dan insiden orang hilang harus dihentikan. Rangsiman sangat memahami isu ini. Sebagai seorang aktivis, dia pernah ditahan sebelumnya. Yang mengherankan, sehari sebelum demonstrasi, dia ditangkap dan dibebaskan setelah dua tahun atas tuntutan pelanggaran peraturan NCPO mengenai perkumpulan politik.
“Jika kalian terus menghalangi demokrasi, maka militer akan kehilangan martabatnya,” Rangsiman berteriak di atas kerumunan. “Kami akan mengakui kalian sebagai warga Thailand biasa apabila kalian melepas jabatanmu.”
Sikap berani aktivis merupakan tanda bahwa ketakutan akan penahanan dan “penyuluhan” mereka mulai luntur karena pasukan militer Thailand tidak berhenti menjabat juga.
“Warga Thailand menolak untuk hidup dalam ketakutan dan sekarang kami ingin mendorong represi militer,” Sunai Phasuk, peneliti senior Thailand dengan Human Rights Watch, memberi tahu VICE. “Meskipun ada intimidasi dan rentetan tuntutan kriminal, semakin banyak yang bergabung dengan kami untuk menuntut pasukan untuk menepati janji-janjinya untuk memberikan pemilihan yang demokratis.”
Para aktivis mengatakan kepada VICE bahwa perjuangan mereka belum selesai. Democracy Restoration Group memberi tahu VICE bahwa demonstrasi akhir pekan itu hanyalah awal dari protes pro-demokrasi yang lebih besar yang rencananya akan dilakukan Mei ini. Mereka sedang bersiap-siap mengadakan aksi yang lebih besar lagi Mei ini dan mendirikan kamp-kamp seperti aksi protes 2014 lalu, dan aksi protes kontra, yang berakhir dengan kudeta yang menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dari jabatannya dan memungkinkan pasukan militer sekarang ini merebut kekuasaan.
“Mei nanti, akan semakin banyak lagi orang yang mengikuti aksi protes. Kami akan mengadakannya selama empat hari, atau sampai mereka menyerah dan mengembalikan lagi demokrasi warga Thailand yang telah hilang,” Karn memberitahuku di akhir aksi. “Kami tidak akan berhenti berjuang.”