Ogah-Ogahan bahas RUU Uang Kartal, Anggota DPR Akui Butuh ‘Money Politics’

Anggota DPR Bambang Pacul blak-blakan tolak RUU uang kartal dari  karena persulit politik uang pemilu

Pernyataan menohok disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto, saat menggelar rapat dengar pendapat bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Selasa 5 April 2022. Dalam rapat tersebut, politikus PDIP yang akrab disapa Bambang Pacul itu mengkritik Rancangan-Undang-Undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Menurut Bambang, PPATK perlu meyakinkan koleganya di DPR, bahwa adanya beleid ini tidak akan mengganggu upaya politikus mendulang suara jelang pemilu.

Menurut politikus 63 tahun itu, uang kartal—mencakup uang kertas dan logam terbitan Bank Indonesia—amat mereka butuhkan untuk membeli sembako dan bantuan bagi konstituen. Karena ada kesan RUU ini menghambat politik transaksional, makanya DPR terkesan ogah-ogahan membahasnya.

Videos by VICE

“Fakta lapangan hari ini yang namanya kompetisi cari suara pakai ini [uang] semuanya. Gue terang-terangan ini di lapangan,” ujar Bambang seperti dilansir Tempo.co. Dia mengaku PPATK perlu lebih rinci menjelaskan nominal pembatasan dan teknisnya, agar pembahasan RUU uang kartal tidak macet. Bambang secara gamblang mengakui strategi macam ini termasuk politik uang, alias money politics.

“Kami ngomong jujur, Pak. Money politics pakai rekening, buka rekening, kita kirim, mampus ini. Makanya jangan lihat dari sisi mu tok. Jangan tergesa-gesa,” imbuh Bambang. “Fakta lapangan hari ini yang namanya kompetisi cari suara pakai ini.”

Merespons keberatan tersebut, Ketua PPATK Ivan Yustiavandana yang turut hadir di rapat menegaskan bahwa adanya RUU uang kartal ini akan bermanfaat untuk mencegah tindak pidana pencucian uang. Transaksi tunai, melibatkan uang kertas dan koin, tidak serta merta dilarang. Merujuk laporan Kompas.com, hanya jumlahnya dibatasi dalam nominal tertentu. Selebihnya, transaksi apapun harus dilakukan melalui transfer antar bank.

“Jadi ini bicaranya terkait dengan penegakan hukum, tindak pidana pencucian uang, bahkan pendanaan terorisme,” kata Ivan. Ketua PPATK menyatakan salah satu aspek penerapan RUU uang kartal adalah membatasi transaksi tak bisa lebih Rp100 juta. “Uang kasnya cukup Rp 100 juta yang bisa dilakukan, selebihnya menggunakan transfer perbankan dan segala macam,” tandasnya.

Selain RUU Uang Kartal, PPATK juga berharap parlemen bisa meloloskannya bersamaan dengan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Keduanya sudah diusulkan ke DPR sejak 2019. Dua beleid tersebut akan bersinergi, menciptakan payung hukum sehingga aparat bisa menyita aset yang dimiliki atau dikuasai oleh pelaku tindak pidana yang telah meninggal atau untuk sementara belum jelas pembuktiannya. Selama ini, dari kajian PPATK, pelaku pidana korusi atau pencucian uang berusaha menutupi jejak dengan cara melakukan berbagai transaksinya menggunakan uang tunai.

Manfaat adanya dua beleid itu, menurut Ivan, sangat luas sekali tidak hanya mencakup pencucian uang. “Jadi ini bicaranya terkait dengan penegakan hukum, tindak pidana pencucian uang, bahkan pendanaan terorisme,” tandasnya.

Kombinasi dua RUU tersebut, menurut Bank Indonesia, dapat mengurangi potensi penerimaan negara serta meningkatkan iklim investasi. “Dengan adanya kebijakan ini, nantinya akan dapat meningkatkan integritas keuangan negara dan menambah kepercayaan dunia kepada negara Indonesia,” ujar Rosalia Suci Handayani selaku Direktur Eksekutif dan Kepala Departemen Legal Bank Indonesia.

Bambang mengaku belum sreg dengan mekanisme pembatasan nominal transaksi yang dipisah antara uang tunai dan transfer. Menurut politikus yang dikenal sebagai loyalis Megawati Soekarnoputri itu, anggota DPR pasti akan tetap lamban membahas RUU tersebut karena berlawanan dengan kepentingan mereka.

“Saya pastikan yang kayak gini nanti DPR susah, sudah masuk prolegnas boleh, tapi masuk prolegnasnya nanti diletakin di bawah terus. Ini makanya harus dijelasin beneran dua RUU sampeyan ini,” ujar Bambang.

Praktik politik uang, meskipun dilarang oleh KPU dan Bawaslu sebagai wasit pemilu, nyatanya masih marak dilakukan oleh setiap politikus dari seluruh partai. Istilah seperti “serangan fajar”, termasuk rahasia umum yang diketahui para pemilih.

Data terakhir Polri pada 29 Maret 2019 menyatakan ada beberapa daerah di Indonesia yang teridentifikasi melaporkan praktik politik uang jelang pemilu. Di antaranya Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan, Maluku, Yogyakarta, Gorontalo, Papua, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa tenggara Timur. Total kasus yang ditangani kepolisian dalam pemilu tahun itu mencapai 35 kasus. Modus utama ‘serangan fajar’, menurut polisi, adalah memberi uang sembako dan sarana kepada masyarakat agar memilih caleg tertentu. Persis seperti yang digambarkan Bambang Pacul.

Dosen Politik di Universitas Jenderal Achmad Yani, Yohannes Sulaiman, saat dihubungi VICE beberapa waktu lalu, menilai praktik ‘pembelian’ suara tumbuh subur karena partai-partai di negara ini cenderung non-ideologis, serta tidak punya skema kebijakan yang berbeda satu sama lain. Hal ini membuat kebanyakan masyarakat di Indonesia cenderung tidak memilih partai berdasarkan aspirasi politik tertentu.

“[Memberi uang] memang efektif mengingat loyalitas pada partai itu rendah. Lalu juga ini lebih mudah bagi para swing voters. Atau memang ini efektif untuk mereka yang tidak menyadari bahwa pilihan mereka itu penting,” kata Yohannes pada VICE.