DPR Minta BI Cetak Uang Rp600 T buat Stimulus Ekonomi, Saatnya Kembali Belajar Inflasi

Apa itu inflasi? Contohnya saran DPR agar BI cetak uang Rp600 Triliun di tengah pandemi corona

Usulan yang sekilas nyeleneh, agar otoritas keuangan Indonesia mencetak uang tambahan di saat pandemi corona, disampaikan pekan lalu oleh Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah. Dalam rapat bersama Bank Indonesia (BI), Said mengusulkan kepada otoritas moneter tersebut agar mencetak tambahan uang sebanyak Rp600 triliun.

Said bilang situasi lagi genting dan pemerintah membutuhkan bantuan BI supaya rencana refocusing dan realokasi dana pemerintah sebesar Rp405 triliun dalam menghadapi wabah corona berjalan sesuai target. Banggar mengklaim udah punya itung-itungan sendiri kalau pencetakan uang, atau bahasa ekonominya injeksi likuiditas, sebesar Rp600 triliun enggak akan menyebabkan inflasi yang terlalu tinggi.

Videos by VICE

“Kalau nyetak uang Rp600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Hitungan kami kalau BI nyetak Rp600 triliun itu inflasinya sekitar 5-6 persen, tidak banyak,” ujar Said pada Minggu (3/5) lalu.

Politikus yang merasa sanggup menghitung inflasi sekilas perpaduan berbahaya. Ternyata bukan cuma orang awam yang merasakan bahaya tersebut.

Gubernur BI Perry Warjiyo segera merespons dengan gamblang. Ia meminta DPR enggak usah bikin keributan. Mencetak uang untuk membantu penanganan covid-19 bukanlah praktik moneter yang lazim, sehingga Perry menolak permintaan tersebut.

Perry menjelaskan, peredaran uang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Mata Uang mulai dari perencanaan, pencetakan, sampai pemusnahan. Semuanya pun harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.

“Enggak ada pengedaran uang di luar [ketetapan Undang-Undang] ini. [Kalau ada yang minta] ‘eh, BI cetak uang saja terus kasih ke masyarakat’, ya ora ono kuwi, enggak ada itu. Jangan punya pikiran macam-macam. Mohon lebih baik jangan tambah kebingungan masyarakat seperti bilang BI cetak uang saja untuk menangani Covid. Proses pengedaran uang sudah ada [aturannya],” kata Perry.

Idenya ditolak mentah-mentah, Said ngambek. Doi bilang alasan BI terlalu kekanak-kanakan. Said merasa sikap Perry menandakan BI enggak mau kerja sama dengan pemerintah, menanggung beban ekonomi bersama. Padahal, klaimnya, pemerintah sudah ngasih paket stimulus Rp34 triliun untuk UMKM selama pandemi.

“Berhenti lah bersifat kekanak-kanakan. Enggak ada orang suruh mencetak uang kemudian uangnya dibagi-bagikan ke rakyat. Memang di dunia ada praktik seperti itu? Apa Amerika mencetak uang bagi-bagi ke rakyat? Itu sangat tidak mendidik komentarnya, dengan segala hormat saya menghormati Pak Perry [Gubernur BI],” kata Said kepada Detik, Kamis (7/5) lalu. Kalau emang enggak mau cetak uang, Said ngasih opsi kepada BI untuk menurunkan suku bunga 2 persen agar perekonomian Indonesia lekas pulih.

Ekonom ikutan mengkritik kengototan DPR, karena tampaknya mereka menyepelekan inflasi dari aktivitas mencetak uang begitu saja. Masih ada yang tanya apa itu inflasi? Hadeh….

Jangan pakai alasan kalian ga belajar ekonomi ya. Inflasi itu pengetahuan umum, seperti fungsi gravitasi dan oksigen. Sederhananya, nilai uang senantiasa dipengaruhi arus barang dan jasa, alias hukum permintaan-penawaran. Kalau jumlah uang yang beredar lebih banyak daripada kebutuhan masyarakat, nilainya turun. Lazimnya perekonomian sebuah negara akan rutin mengalami inflasi, yang penting pertumbuhan inflasi tadi bisa dikendalikan.



Dampak nyata inflasi, terutama ketika uang beredar lebih banyak dari permintaan, adalah harga-harga akan “meningkat”, melalui proses kontinyu, lazimnya bertahun-tahun (inflasi tuh beda lho ya dari kenaikan harga sembako menjelang lebaran/natal yang sepenuhnya akibat ketidakseimbangan supply-demand). Kalau turun, maka butuh uang dalam jumlah lebih banyak untuk mendapat satu komoditas yang sama. Makanya, harga terkesan naik.

Contoh: bakso semangkok empat tahun lalu Rp10 ribu. Ketika nilai uang turun akibat inflasi, biaya mendapat semangkok bakso jadi Rp15 ribu tahun ini. Itu pula sebabnya, dulu ongkos naik haji di era 90’an “cuma” Rp7 juta dan sapi dewasa dibanderol Rp2 juta, sementara sekarang dua barang dan jasa itu bianya “naik” berkali-kali lipat.

Pencetakan uang dalam jumlah besar pernah dilakukan pemerintah Indonesia pada masa periode Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Saat itu, kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet, pencetakan uang dilakukan karena kebutuhan belanja negara begitu besar akibat operasi keamanan yang dilakukan, ditambah perlunya anggaran untuk subsidi BUMN dan perusahaan swasta. Sementara, penerimaan negara tidak mencukupi kebutuhan negara yang lagi butuh belanja banyak.

Pencetakan uang terjadi karena pada masa itu BI tidak seindependen sekarang dan harus mendukung apa saja kegiatan pemerintah. Hasilnya pun parah, kondisi politik yang memburuk dan alur distribusi barang yang tidak terukur membuat kebijakan cetak uang tersebut mengubah inflasi biasa menjadi hiperinflasi pada 1961.

Atas pengalaman ini jualah ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengapresiasi keputusan BI yang menolak usulan DPR. Kemungkinan, menurut Eko, DPR menganggap cetak Rupiah ini logikanya sama seperti Quantitative Easing yang dilakukan Bank Sentral AS saat krisis 2008.

“Ingat tidak, Indonesia pernah hiperinflasi hingga 600 persen pada era Orde Lama. Langkah BI untuk menolak cetak uang sudah tepat. Politikus jangan membandingkan tindakan QE [injeksi likuiditas/penambahan cash] Amerika Serikat dan Jepang. Dolar dan Yen itu mata uang yang diterima di seluruh dunia. Rupiah kan tidak, emang Trump mau serap rupiah? Kalau iya, silakan cetak uang,” ujar Eko dikutip Bisnis.com.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan kenapa gagasan cetak uang di tengah pandemi ini berpotensi jadi bumerang. Sebab, perdagangan internasional juga masih terganggu sekarang akibat Covid-19. Permintaan ekspor menurun. Kalau uang bertambah, sementara skala produksi dan serapan pasar begitu-begitu saja, efek positif yang dibayangkan Banggar DPR tak akan terjadi.

“Kalau misalnya di dalam [negeri] rupiah dicetak begitu banyak sementara yang menggunakan itu hanya lokal, aktivitas ekonominya enggak berjalan di sini. Anda tambah money supply sementara produksinya enggak ada maka risikonya inflasi naik,” kata Chatib dalam diskusi di YouTube. “Kalau supply-nya Anda tambah maka harga dari barang itu akan turun. Kalau supply uangnya Anda tambah, demand-nya enggak naik, maka harga uangnya akan turun kan? Harga uangnya turun, itu [sudah] inflasi sebenarnya.”

Ekonom Rizal Ramli, yang terhitung oposisi pemerintah, ikutan geram sama ide parlemen. Ia menceritakan hiperinflasi pada masa Sukarno membuat rupiah tidak ada harganya. Rizal menceritakan pada masa itu nilai rupiah dipotong dari seribu rupiah menjadi 1 perak sehingga ekonomi langsung hancur, “Anggota-anggota DPR kalau tidak mengerti, tanya ke yang ahli dan jangan sok-sok ngerti,” kata Rizal dikutip Warta Ekonomi.

Kalau para ahli udah ngomong gini, sekarang mari sama-sama kita ucapkan: Opini yang bagus, DPR. Sekarang kembali tidur saat rapat.