Edward Witten adalah salah satu fisikawan paling tenar di jagat ilmiah saat ini. Dia membangun reputasi lewat pengembangan beberapa teorema matematis yang kini diakui kebenarannya oleh banyak akademisi. Dia juga meneliti konsep ruang dan waktu di alam semesta.
Witten memenangkan penghargaan bergengsi Fields Medal pada 1990, serta turut mempopulerkan pencarian “teori segala sesuatu” (hipotesis tunggal yang dapat meliputi semua kerangka teori fisika sekaligus menjelaskan berbagai aspek fisik alam semesta). Saat ini dia menjabat sebagai guru besar fisika murni di Institute for Advanced Study, Universitas Princeton, Amerika Serikat.
Videos by VICE
Lewat paper ilmiah terbarunya, Witten lagi-lagi menjadi perbincangan komunitas fisikawan internasional. Dia menyelami topik kontroversial lain, yang punya implikasi besar bagi pemahaman manusia tentang kosmologi: “apabila ada lubang hitam tersembunyi dalam tata surya kita, bagaimana kita bisa menemukan lokasinya dan mempelajarinya?”
Witten terinspirasi menulis risalah tersebut, setelah membaca sebuah penelitian yang terbit pada 2019 lalu, tentang spekulasi adanya sebuah lubang hitam yang mungkin mengitari matahari. Ilmuwan dulu tidak pernah mengira ada lubang hitam di sekitar tata surya, yang ibaratnya “halaman rumah” kita sendiri. “Itu gagasan yang menarik sekali, jadi saya ikut mencari cara agar ide tersebut bisa diuji,” kata Witten saat diwawancarai Motherboard via email.
Bagi pembaca yang baru sekarang mendengar spekulasi ini, berikut sedikit konteksnya: ditemukan bukti-bukti awal adanya obyek besar yang tidak dikenal tersembunyi dalam sistem tata surya. Jaraknya 500 kali lebih jauh dari Matahari ke Bumi. Selama bertahun-tahun, ilmuwan dibingungkan pergerakan obyek di trans-Neptunian (TNO), sejenis batu-batuan luar angkasa jauh di luar garis edar planet-planet pengikut matahari, yang menampilkan orbit kerumunan janggal.
Penjelasan populer atas fenomena ini dulunya adalah keberadaan “Planet 9” dalam sistem tata surya. Planet 9 merupakan benda langit dengan massa sepuluh kali lebih besar dibanding Bumi. Menurut hipotesis tersebut, daya gravitasi Planet 9 ini membentuk pola orbit janggal yang terpantau astronom. Ilmuwan di manapun belum pernah menemukan planet spekulatif tersebut, dan tidak ada yang tahu apakah wujudnya benar-benar ada, biarpun ilmuwan aktif mencarinya dan mencari penjelasan alternatif, misalnya cakram serpihan es.
Narasi bahwa Planet 9 mungkin saja sebetulnya lubang hitam, pertama kali dimunculkan risalah penelitian 2019, yang ditulis ahli fisika Jakub Scholtz dan James Unwin. Keduanya berspekulasi bahwa sebuah lubang hitam purba (PBH)—sebuah benda langit khusus yang terbentuk di awal alam semesta—memiliki cakupan massa yang sama dengan kandidat Planet 9.
Berbeda dengan lubang hitam yang terbentuk dari tabrakan bintang-bintang, PBH diduga tercipta dari gangguan gravitasi setelah ledakan besar (Big Bang) yang menciptakan alam semesta 13,8 miliar tahun lalu. Sama seperti persoalan yang mendera teori Planet 9, belum ada teknologi manusia bisa memastikan PBH benar-benar ada. Secara teori, PBH diduga jauh lebih kecil dibanding lubang hitam normal, dan karenanya bisa saja dikira sebagai sebuah planet (malah, ada yang menduga PBH cuma seukuran bola tenis).
Kesempatan mempelajari sebuah lubang hitam yang posisinya ‘masih’ di tata surya—yang juga bisa dibilang artefak sejarah awal alam semesta—merupakan topik penelitian teramat menarik bagi para astronom maupun kosmolog. Sebab aplikasi praktis dari pengetahuan soal lubang hitam terbentang luas. Sedikit ilmu soal gravitasi, relativitas, dan fisika kuantum saja bisa memberi peradaban modern teknologi GPS, kamera digital, hingga Internet.
Selama ini, fisika belum bisa menjawab tuntas perkara relativitas, fisika partikel, hingga evolusi alam semesta. Berbagai pertanyaan mendasar soal asal muasal semesta ini, menurut ilmuwan, berpotensi dipecahkan dari observasi dan pengukuran lubang hitam.
Masalahnya, apabila tata surya yang kita huni sekarang memang benar memiliki lubang hitam, akan sangat sulit untuk mencarinya. “Manusia harus mengirim puluhan atau ratusan misi wahana antariksa sekadar untuk menyisir area pencarian,” ujar Witten. “Strategi begini tidak praktis mengingat satu misi saja biayanya ratusan juta dollar.”
Dalam risalah kajiannya yang diterbitkan Jurnal arXiv, Witten menyebut konsep “Breakthrough Starshot”—sebuah visi futuristik armada kapal pesawat luar angkasa kecil dengan kecepatan relativistik dan laser darat yang kuat—sebagai salah satu solusi mengatasi rintangan dan menemukan sebuah PBH, andai benda langit itu benar-benar ada di tata surya kita.
Breakthrough Starshot bukan sekadar teori. Ini adalah proyek penelitian ditaksir senilai US$100 juta yang merujuk target NASA, dapat jadi cetak biru pengembangan armada kapal ruang angkasa yang sanggup berkelana ke sistem bintang terdekat, yakni Alpha Centauri, dalam hitungan beberapa dekade setelah peluncuran.
Manusia untuk sementara belum memiliki kemampuan teknis mewujudkan visi ambisius tersebut. Meski begitu, apabila kelak kita bisa mengembangkan pesawat luar angkasa yang sanggup bepergian mendekati kecepatan cahaya, maka manusia mulai mampu memetakan wilayah luar tata surya, selain menyambangi target-target di luar angkasa lainnya.
“Ada banyak obyek terdeteksi di luar tata surya yang belum dikunjungi pesawat luar angkasa bikinan manusia selama ini,” ujar Witten. “Andai proyek Breakthrough Starshot terlaksana, kita mampu mengirimkan pesawat kecil menjelajahi puluhan obyek asing di luar tata surya.”
Konsep Starshot dianggap yang paling cocok menyelesaikan misteri Planet 9, atas “dua pertimbangan”, menurut Witten. “Setelah ada pesawat macam itu, kita akan bisa mencapai tujuan dalam 10 tahun alih-alih 50 tahun pakai teknologi sekarang, dan ketika fasilitas stasiun luar angkasa yang mahal sudah terbangun, akan sangat mudah mengirim pesawat pengintai.”
Pesawat pengintai tidak akan bepergian secepat armada Starshot itu sendiri, yang diharapkan bisa mencapai 20 persen kecepatan cahaya. Untuk bisa mencapai area PHB dalam satu dekade, Witten mengkalkulasi armadanya tersebut hanya harus bepergian dalam kecepatan 0,001 persen dari kecepatan cahaya.
Kecepatan segitu sudah luar biasa untuk ukuran Bumi. Keuntungan lainnya, dengan kecepatan di angka tadi, tetap ada ruang bagi setiap pesawat mini membawa lebih banyak peralatan, termasuk pencatat waktu dan alat komunikasi yang sanggup mengirimkan informasi akurat ke Bumi. Pesawat pengintai ini bahkan tidak perlu terlalu dekat dengan obyek lubang hitam, untuk bisa mendeteksinya, karena “jarak serupa antara Bumi dengan Pluto pun sudah cukup untuk pengamatan akurat,” ujar Witten.
Apabila satu dari ratusan atau ribuan pesawat pengintai ini mampu mendeteksi lokasi Planet 9, umat manusia selanjutnya bisa mengirimkan pesawat yang lebih besar, berisi lebih banyak peralatan.
“Begitu lokasi Planet 9 diketahui, kita bisa mengirimkan pesawat yang lebih canggih untuk mempelajarinya secara mendetail,” ungkap Witten. Mengingat semua teknologi yang dibutuhkan sepertinya butuh waktu beberapa dekade untuk diciptakan, mungkin kita masih harus menunggu hingga awal abad berikutnya, sebelum manusia memiliki data konkret tentang identitas obyek misterius di luar tata surya ini (sekali lagi, kalau PBH/planet 9 benar-benar ada).
Menemukan sebuah planet atau gugusan planet baru di luar tata surya tentunya capaian yang sensasional. Tapi menemukan PBH bisa dibilang lebih revolusioner. Saat ini, lubang hitam terdekat yang kita ketahui jaraknya 1.000 tahun cahaya dari Bumi, terlalu jauh bahkan untuk teknologi berkecepatan cahaya menjangkaunya. Namun apabila kita bisa menemukan lubang hitam di tata surya sendiri, manusia berpeluang mengirim pesawat luar angkasa untuk mempelajari salah satu ciptaan paling eksotis alam semesta.
Malah, bisa saja obyek apapun yang menyebabkan anomali orbit TNO lebih aneh lagi dari sekedar sebuah lubang hitam.
“Contoh ide yang bahkan lebih eksotis dari hipotesis PHB, adalah dugaan Planet 9 sebenarnya sebuah quark nugget yang stabil,” ujar Witten. Quark Nugget merupakan obyek luar angkasa yang secara teori terbentuk dari partikel subatom bernama quark.
“Eksistensi quark di alam bebas belum pernah terpantau, karenanya pemahaman manusia tentang kekuatan tak terlihat yang menahan inti atom kurang memadai,” ujar Witten. “Maka sebelum kita bisa melihat dari dekat, sulit membedakan antara sebuah lubang hitam dengan quark nugget yang punya massa sama dengan Planet 9.”
Harus dicatat, semua pemaparan Witten di atas masih sebatas dugaan. Planet tersembunyi, lubang hitam misterius, dan quark nugget adalah topik-topik yang selalu seru untuk diperdebatkan. Namun manusia harus terus berharap suatu saat dapat mendeteksi Planet 9 di kawasan tata surya, atau mendapat lebih banyak bukti bahwa benda ini hanyalah kumpulan rumpun serpihan kaca yang tercipta di ruang hampa.
Sepertinya manusia masih butuh beberapa generasi lagi, sebelum bisa sukses menemukan obyek misterius yang bersembunyi di dalam tata surya sendiri. Terwujudnya mimpi itu, otomatis meningkatkan peluang manusia terus hidup tanpa harus mengandalkan Bumi, satu-satunya planet yang sementara kita tahu memiliki kehidupan.
“Beberapa ilmuwan berspekulasi beberapa abad lagi manusia sudah bisa mendirikan koloni di tata surya,” ujar Witten. “Ketika skenario ini terwujud, hanya masalah waktu sebelum manusia menyambangi lokasi Planet 9.”
Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard