Lima tahun terakhir ini, topik tinggal dalam sebuah rumah super kecil sering kali dibahas. Rumah super kecil yang dimaksud di sini adalah kabin mungil yang bisa dibongkar pasang dengan cepat dan dipindahkan dengan trailer. Wacana tentang rumah macam ini kerap sekali dikaitkan dengan ongkosnya yang rendah, keberlanjutan ekologisnya dan gaya hidup minimalis penghuninya. Malah, rumah super mungil ini mulai diharapkan sebagai solusi harga rumah yang makin ke sini makin tidak manusiawi. Pertanyaannya kemudian, seperti apa sih realitas hidup di rumah sekecil itu?
“Konsep rumah super mungil ini keren kok. Kira-kira begini deh ‘Aku akan bikin rumah kecil dan biayanya paling mentok berapa puluh juta doang dan setelahnya, aku enggak harus mengangsur rumah lagi,’” jelas Tallis Clarke. Tallis selama beberapa bulan sejak awal tahun ini menghabiskan waktunya membangun sebuah rumah super mungil di luar Sydney. Pada akhirnya, Clarke mengaku rumah yang dia bangun kelewat sempit bahkan untuk dirinya seorang diri. Lalu, setelah rampung membangunnya, menyewakannya via Airbnb dan akhirnya melegonya, Clarke memperoleh satu kesimpulan “Kayaknya aku enggak bisa tinggal di dalamnya. Beneran deh.”
Videos by VICE
“Rumahnya benar-benar kecil,” katanya sambil tergelak. “Ukurannya cuma 4,8 meter kali 2,4 meter di ruang tamu. Kamarnya sendiri cuma 1,2 meter kali 2 meter. Kalau kamu jomblo yang tinggal di hutan sih bukan masalah. Rumah ini bakal keren malah. Tapi, kalau ada temannya yang ingin datang berkunjung, kamu harus memastikan rumahnya rapi dan bersih—aku bukan tipe orang seperti itu.”.
Tallis adalah pembuat kebun asal Sydney. Dia sudah menikah. Kelak jika waktunya sudah tepat, dia ingin membangun keluarga besar. Makanya, rumah sekecil itu jelas bukan pilihan. Ide untuk membangun rumah itu sampai ke otaknya setelah dia dan pacarnya menginap di sejumlah rumah kecil lewat layanan Airbnb dalam sebuah perjalanan ke Selandia Baru. Tallis membangun rumah super mungilnya sebagai investasi. Tak ada niatan untuk tinggal di dalamnya. Seingat Tallis, rumah super mungil itu memakan biaya sebesar AUS$25.000 (atau sekitar Rp266 juta). Biaya sebesar itu digunakan untuk membeli bahan bangunan dan ongkos capek selama membangunnya. Rumah itu “diparkir” di tanah milik ayahnya di Maroota. Dalam seminggu, Tallis mengantongi AUS$300 (Rp3,1 juta) setelah mendaftarkan rumah itu ke Airbnb.
Awalnya, rumah itu jadi investasi yang lumayan. Uang yang didapatkan dari penyewaannya mungkin tak seberapa, tapi selalu ada uang yang masuk saban minggunya. Sampai suatu hari, Tallos benar-benar butuh uang. Sebagai solusi terakhir, dia melego rumah itu seharga AUS$50.000 (Rp532 juta). Ternyata, tak satupun tertarik membelinya. Rumah itu baru laku setelah Tallis menurunkan harganya jadi AUS$25.000 sekian minggu setelahnya.
Bila Tallis adalah salah satu contoh orang yang pesimis tentang wacana hunian super mungil, Darren Hughes, lelaki berumur lebih dari 40 tahun asal Kiwi, kebalikannya. Darren adalah sosok penuh percaya diri yang bicara dengan kecepatan tinggi. Sepanjang hidupnya, Darren pernah berprofesi sebagai pelatih pribadi, konsultan pemasaran dan “pegawai korporat” National Australia Bank. saat ini, dia bekerja di sebuah perusahaan jasa inventasi dan stock opname, mengelola laman Facebook Tiny Houses Australia, dan punya usaha sampingan menjual rumah trailer mungil yang desainnya bisa dipesan. Tak ayal, bagi Darren, rumah super mungil adalah bagian dari pandangan hidupnya.
“Tiap kali saya mempresentasikanya,” kata Darren, yang mendedikasikan sebagian waktunya mempromosikan hunian mungil di berbagai acara. “Saya meminta audiens membayangkan hidup tanpa cicilan rumah, utang pribadi, cicilan mobil serta tunggakan kartu kredit.”
“Kebanyakan orang tak bisa membayangkan hidup seperti itu padahal sebenarnya mungkin banget dijalani,” tegasnya. “Saya enggak menganjurkan untuk hidup seperti para rahib. Tapi jika berani menyingkirkan semua barang yang tak kita butuhkan dan hidup di rumah yang lebih kecil, kamu akan menikmati cash flow dan waktu senggang yang lebih banyak untuk melakukan hal yang benar-benar ingin kamu lakukan dan lebih sering menghabiskan waktu dengan orang yang kamu sayangi.:
Sekilas, penjelasan ini terdengar utopis. Selain, wacana hidup sederhana macam ini kelihatannya kurang menarik perhatian generasi milennial yang cenderung memilih tinggal di kawasan kota dan menurut catatan statistik menghabiskan 69% pendapatannya untuk mabu-mabuan, makanan dan party-party. Mengacu pada survei keuangan millenial VICE Australia, nyaris separuh millenial memilih untuk ngekos dan tinggal di dekat hal-hal yang mereka sukai. Di sisi lain, hunian super mungil adalah satu-satunya jenis rumah yang harganya bersahabat bagi mereka.
“Alasannya utamanya adalah faktor biaya,” aku Hugges. “Hunian super kecil masih jauh lebih terjangkau dari rumah manapun di Australia.” Bagi seorang yang punya cukup skill pertukangan dan kemampuan menawar yang bagus, sebuah rumah super mungil bisa dibangun dengan ongkos sebesar $10.000. Jika tidak, kalian toh bisa memesan jasa perusahan pertukangan untuk membangun hunian kecil. Hanya saja harganya jauh lebih mahal, sekitar $120.000.
Imbasnya, jika kita mengesampingkan segala hype tentang hunian super mungil, kita niscaya sadar jika rumah macam ini hanya menarik bagi orang yang tak mampu membeli hunian standar. Dan kendati, harga rumah di Sydney dan Melbourne sudah turun beberapa tahun terakhir, rumah masih jadi salah satu kebutuhan dasar yang harganya mustahil dijangkau kaum millenial. Menurut survei keuangan terbesar di Negeri Kanguru, hanya 18 persen millenial yang mampu membeli rumah di lokasi yang dibutuhkan sementara 85 persen lainnya masih berharap punya rumah kelak.
Tetap saja pertanyaannya, apakah mereka berminat tinggal di rumah mini. Kayaknya sih enggak. Pasalnya, rumah mungil ini sudah pasti akan dijadikan tempat pesta-pesta khas millenial.