Apakah Media Sosial Berdampak Negatif Pada Kesehatan Mental Musisi?

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Dua tahun lalu, William Doyle beristirahat sejenak di tengah tur yang padat banget, sekadar buat ngecek dunia maya. Setelah merilis dua album sukses dan mendapat nominasi Mercury Award berkat nama panggung East India Youth, karirnya kala itu boleh dibilang meroket. Namun seiring datangnya kesuksesan, ikut pula tekanan besar: tepatnya tekanan untuk mengecek opini dunia maya tentang dirimu. “Sering sekali selepas manggung, saya langsung mengecek reaksi netizen,” katanya ke sana. “Seiring popularitas saya bertambah, jumlah follower di Twitter juga bertambah, tekanan juga semakin besar. Ini semacam siklus yang jahat: Dapat lebih banyak follower, nge-tweet lebih sering, harus berusaha tampil lucu untuk mendapatkan lebih banyak follower. Gimana mau produktif coba? Rasanya saya lebih sibuk nge-tweet daripada main musik.”

Videos by VICE

Untuk setiap tweet brilian atau lucu yang dilontarkan musisi, media sosial menampilkan semacam realitas lain di mana musisi menjadi subyek komentar bersifat, dan kadang penuh kebencian. Efeknya lebih parah lagi apabila musisi ini perempuan, trans atau berasal dari etnis minoritas di negara tempat dia bernaung. Tentunya ini bukan hanya mempengaruhi musisi: penelitian dari Pew Centre belum lama ini menyimpulkan empat dari sepuluh warga Amerika Serikat pernah dibully via online. Statistik tak jauh beda seharusnya bisa kita peroleh di negara-negara yang warganya aktif di medsos.

Tentu ada bedanya kalau yang dibully ini musisi atau selebritas. Bagi orang awam, kita bisa enteng saja ninggalin media sosial pas lagi eneg. Sementara musisi profesional tidak bisa gitu aja keluar dari sosmed. Belum lagi jumlah follower yang banyak dan tekanan untuk terus menghibur mereka. Tidak heran kalau banyak musisi mengalami stres gara-gara medsos. Sesuai pengakuan Doyle: “Anda menaruh banyak tekanan ke diri sendiri, di luar peran sebagai musisi. Perasaan membutuhkan validasi dari khalayak itu sangat beracun. Saya merasa harus meninggalkan sosmed sementara karena saya terus merasakan panik dan kecemasan. Ada banyak hal dalam industri musik yang bisa membuat anda stres, dan bagi saya media sosial adalah salah satu penyebabnya.”

Dr Arthur Cassidy, psikolog yang khusus menangani selebriti akibat media sosial, mengatakan perhatian online setiap saat sangat mempengaruhi kesehatan mental seseorang secara negatif. “Di media sosial, orang selalu memberi ekspektasi tertentu pada selebriti,” katanya. “Isu sosio-psikologis muncul ketika seseorang berusaha selalu menyenangkan semua orang dan akhirnya menimbulkan rasa stres. Sulit jadinya mengontrol kehidupan pribadi dan menjadi ‘normal’ di luar panggung, ketika privasimu selalu terganggu. Rasanya sangat menganggu, apalagi jika kalian musisi yang mencoba memiliki kehidupan normal padahal faktanya kehidupanmu tidak benar-benar normal.”

Ketika kamu bekerja di ranah yang menjadi perbincangan publik, atau bahkan cemoohan, kamu harus belajar untuk tahan kritik, baik dari jurnalis maupun netizen random yang akun Twitternya memasang foto profil seekor anjing, karton, atau apapun lah. Tentunya penting juga bagi kita menarik batas antara kritik dan mengejek. Sebagian musisi merasa medsos yang penuh ejekan harus dihindari.

Contohnya musisi macam Kehlani, Normani Kordei dari Fifth Harmony, dan baru-baru ini Win Butler dari Arcade Fire. Tiga nama itu sekarang mengambil jeda sejenak dari Twitter. Mereka beralasan delete akun gara-gara banyaknya ujaran kebencian follower. Kanye West dan Sinead O’Connor adalah contoh lain korban bullying online. Mereka sering diejek akibat mengaku menderita gangguan mental. Tentu saja komentar netizen yang menghina tidak bisa kita sebut kritik yang pantas. Rutin menghina musisi nyaris tiap hari sama saja kalian menjadi orang brengsek.

“Media sosial memberi penggemar kesempatan untuk merasa memiliki hubungan otentik dengan musisi,” kata Dr Pamela Rutledge, seorang psikolog bidang media dari California. “Mereka merasa lebih dekat. Tapi kedekatan ini jugalah yang membuat cemoohan dan ejekan terasa lebih menyakitkan.” Siapapun yang pernah menunggu nama gebetan muncul di daftar orang yang menonton video Instagram Story terbarumu pasti sudah tahu bagaimana media sosial bisa membuat orang haus akan validasi dan menyebabkan ketergantungan. Apabila validasi ini hilang, perasaan terisolasi dan rendah diri bisa muncul.

Menurut Dr Rutledge, “Para musisi sangat rentan terhadap validasi sosial. Kasih sayang dan sanjungan dari penggemar mendorong terciptanya endorfin dan oksitosin di otak. Media sosial mendorong performer untuk menjaga hubungan dengan penonton selepas manggung. Karena sosmed adalah fenomena baru, banyak orang belum belajar manarik batas interaksi sosial di dunia maya seperti di dunia nyata. Tentunya seorang performer tidak akan membiarkan penggemar mereka masuk ke ruang tamu rumah mereka setiap saat, tapi sayangnya batas yang sama belum ditetapkan di media sosial. Semua orang harus mendapat privasi dan tidak selalu ‘on’. Aneh bahwa kita belum menyelidiki dampak medsos lebih jauh mengingat kuatnya dampak yang mereka berikan ke pengguna. Banyak orang akan lantas menyalahkan applikasi—tapi akar masalah ini sesungguhnya lebih dalam.

Musisi perempuan, dari etnis minoritas, ataupun yang secara terbuka mengaku LGBT yang berusaha mempromosikan karyanya, akan mengalami banyak cemoohan dan tekanan. “Berapa banyak performer lelaki yang diserang secara verbal atau diancam dilecehkan?” kata Rutledge. “Ada kesalahpahaman bahwa musisi perempuan lebih rentan mengalami gangguan kecemasan apabila mereka menerima ancaman pelecehan fisik tentang penampilan lebih banyak dibanding musisi pria. Pelecehan tidak mengenal gender.”

Tapi tentu saja kita tidak bisa membuat generalisasi tentang media sosial dan kesehatan mental. Tidak ada satu orangpun—musisi atau bukan—yang akan memiliki hubungan online yang mirip satu sama lain. Sebuah penelitian tentang media sosial menunjukkan 62 persen pengguna mengaku situs-situs ini membuat mereka merasa serba kekurangan, sementara 71 persen responden musisi di Inggris melaporkan pengalaman gangguan kecemasan dan panic attack. Supaya argumennya jelas, dalam artikel ini saya tidak sedang membuat kesimpulan bahwa media sosial akan selalu memberi dampak terhadap isu kesehatan mental musisi. Setidaknya kita sudah berada di titik dimana mungkin perlu ada pengkajian ulang tentang musisi dan kesehatan mental mereka.

Tentu saja banyak juga musisi yang tidak terpengaruh. Banyak yang menanggapi komen negatif sambil tertawa dan mengacungkan jari tengah—dan ini adalah bentuk respon yang kuat. Seperti kata Juliette Carter, manajer yang bekerja sama dengan musisi seperti penyanyi R&B, Dawn Richard dan Ethereal dari Awful Records: “Menggunakan kebebasan yang digunakan si penyerang adalah pertahanan terbaik—lantang bersuara, membela diri kadang melawan penggemar sendiri adalah cara terbaik menghadapinya. Sebagai seorang manajer, saya bekerja sama dengan musisi untuk menggunakan platform mereka sebagai ruang aman bagi semua orang. Sangat mudah untuk merasa kesepian ketika anda diserang oleh sosok-sosok anonim internet tanpa konsekuensi. ” Dia juga menyebutkan bagaimana “sebuah kesalahpahaman bisa terjadi ketika seniman dipandang lewat media sosial sebagai seseorang yang hidup bergelimpahan tanpa kekhawatiran”—’hidup elo enak, jangan ngeluh!’ versi digital. “Sebagai orang luar, sulit untuk mengerti kerentanan seseorang yang membuka hidupnya lebar-lebar ke publik.”

Sejauh ini pemerintah Inggris kerap terkesan tidak peduli dengan krisis kesehatan mental yang menimpa warganya. Paling tidak sekarang sudah makin banyak percakapan ke arah penanganan gangguan mental secara terbuka. Banyak orang semakin sadar dan menghapus stigma buruk yang melekat pada kesehatan mental seseorang. Organisasi-organisasi amal seperti Help Musicians UK dan Wishart Group bentukan Michael Angelekos dari Passion Pit semakin memfasilitasi musisi untuk bergerak ke dalam lingkungan yang semakin aman dan sehat.

Sementara itu, William Doyle sudah tidak lagi menggunakan nama East India Youth. Sekarang dia dalam proses mengerjakan album baru. Bagaimana dia akan menghadapi berbagai proses promosi online dan perhatian dari sosmed ketika albumnya keluar nanti?

“Saya tidak boleh terbelenggu oleh dunia maya. Daripada menghabiskan waktu mengkhawatirkan reaksi individu terhadap karya yang saya buat, mendingan saya menggunakan waktu luang menulis musik baru. Kalau mau ngobrol beneran sama saya, samperin saya langsung aja sesudah pentas—mungkin yang kayak gitu hasilnya akan lebih positif.”