Tak banyak orang tahu, nyaris dua tahun terakhir pemerintah Malaysia membentuk tim pengendalian virus rabies. Caranya? Membunuh anjing-anjing di seantero negara bagian Sarawak secara membabibuta.
Operasi anti-rabies—didampingi oleh tentara dan polisi—dituding membunuh ratusan anjing liar dan anjing peliharaan yang mereka tangkap tanpa seizin pemilik. Padahal, anjing-anjing peliharaan ini sudah disuntik rabies.
Aparat semakin gencar melancarkan programnya sejak Januari 2019, ketika Dewan Keamanan Nasional Malaysia menyatakan rabies sebagai wabah tingkat dua. Sarawak Voice melaporkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (NADMA) di Malaysia kemudian memerintahkan operasi anti-rabies yang melibatkan Departemen Layanan Kesehatan Hewan.
Videos by VICE
VICE ngobrol bersama seorang pegiat hak binatang yang meminta dirahasiakan identitasnya karena khawatir dicari polisi. “Sejumlah tim yang terdiri dari dokter hewan, staf dewan, tentara, dan polisi telah diperintahkan untuk menangkap anjing.”
“Mereka beranggotakan sekitar 450 orang yang dibagi menjadi beberapa tim. Prosedur Operasi Standar (SOP) mereka meminta agar semua anjing disingkirkan dari jalanan, yang berarti membunuh hewan-hewan itu,” kata narasumber. “Para pecinta dan pemilik hewan hidup dalam ketakutan setiap hari.”
Wakil Kepala Menteri Serawak, Datuk Amar Douglas Uggah Embas, melansir pernyataan yang mengklaim operasi ini bertujuan mulia. Yakni “menjangkau sebanyak mungkin daerah untuk mengidentifikasi anjing yang belum pernah divaksinasi” dan “menargetkan pembasmian anjing liar.”
Aparat Negeri Jiran tak mengendurkan operasi kejam ini, walau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara tegas menyatakan razia massal “bukanlah cara yang efektif dalam mengendalikan rabies.” Apalagi, menurut WHO, “tidak ada bukti pengusiran anjing memiliki dampak signifikan terhadap kepadatan populasi anjing atau penyebaran rabies.” Daripada razia, WHO lebih menyarankan pemerintah setempat mengadakan vaksinasi massal.
Laman aktivis binatang A Fortress of Fur menyebut operasi pembantaian ini sebagai “holocaust” bagi anjing liar, setelah membagikan rekaman pihak berwajib yang menyeret anjing di sepanjang jalan.
Situs resmi pemerintah Sarawak, yang selalu menyediakan informasi terbaru tentang operasi anti-rabies tersebut, mengaku sudah membunuh hampir 17.000 anjing di Sarawak sejak Juli 2017.
Aktivis penyayang binatang setempat menduga jumlah anjing yang tewas lebih banyak, dan semakin bertambah setiap harinya — terutama semenjak pemerintah diduga mulai ikut membunuh anjing peliharaan.
Aktivis tersebut mengungkapkan kepada VICE bahwa tim anti-rabies “bahkan terlihat menjebak anjing agar keluar ke jalanan, dan kemudian membunuhnya. Pemilik anjing juga mengklaim telah ditipu dan diancam agar mau menyerahkan peliharaannya ke pihak berwajib.” Anjing-anjing itu kabarnya dibunuh secara tidak manusiawi. “Mereka menyuntikkan penenang dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. Anjingnya masih hidup, tapi dibiarkan mati kehabisan napas.”
Pada 3 Maret, S.O.S memposting ke laman Facebook bahwa pihak berwajib memasuki properti pribadi dan membunuh anjing yang sudah divaksin rabies. “Anjing-anjing ini memakai kalung rantai ganda dari SOS. Itu berarti kami sudah memvaksinasi dan mengebiri mereka,” begitu bunyi postingannya.
Organisasi tersebut juga memberi tahu bahwa otoritas “memaksa pemilik anjing untuk menyerahkan peliharaannya meskipun mereka sudah memegang izin yang valid dan memberikan vaksin anti-rabies kepada anjingnya, serta menangkap anjing tanpa pemberitahuan dan persetujuan pemilik di rumah mereka.”
Sebulan kemudian, tepatnya pada 11 April, pengguna Facebook Rawlinson Begart menulis ke laman S.O.S bahwa ada anggota tim yang mendatangi rumahnya untuk mengambil anak anjingnya yang masih empat bulan. “Apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya dapat menyaksikan dengan pasrah saat mereka merenggut anjingku untuk selamanya,” demikian dikutip dari postingan mereka.
Tak terima dengan razia anjing ini, sejumlah aktivis, pemilik hewan dan warga sipil menggelar protes damai pada 12 April di depan kantor polisi Kuching, ibu kota Sarawak. Mereka menuntut agar polisi menghentikan pembantaian tersebut.
Selama aksi protes, seorang warga mengadukan tim operasi anti-rabies ke polisi karena telah masuk tanpa izin ke pabriknya di Kota Samarahan pada 10 dan 11 April. Di sana, mereka menyuntikkan tranquilizer ke anjing pemilik pabrik. Beberapa pemilik hewan lain juga melaporkan hal serupa ke polisi. Menurut mereka, tim penegak hukum berpura-pura ingin memvaksinasi peliharaannya. Padahal sebenarnya anjing mereka akan diberi tranquilizer.
Wakil Komisaris Polisi Sarawak Dato Pahlawan Dzuraidi Ibrahim menyangkal berbagai tuduhan tersebut. “Tuduhan-tuduhan (yang disebut dalam laporan polisi) tentang anggota tim yang memasuki properti pribadi tanpa izin dan menyuntik anjing itu tidak benar.”
Laman Facebook pemerintah yang selalu menulis berita terkini tentang operasi anti-rabies, ikut memperingatkan pembaca agar “tidak langsung percaya dengan tuduhan yang ada di media sosial.”
“Ada banyak pemilik yang mempertaruhkan keselamatan hewan peliharaan mereka dengan TIDAK memeliharanya DI DALAM rumah. Siapa pun yang punya anjing WAJIB memvaksinasinya SETIAP TAHUN yang disediakan secara CUMA-CUMA oleh DVSS [Departemen Layanan Veteriner Sarawak],” demikian bunyi postingan akun pemerintah yang diterbitkan pada 14 April lalu.
Namun, pemerintah tampaknya mengakui pada 10 April bahwa mereka telah membunuh anjing-anjing yang berkeliaran di jalanan — tak peduli anjingnya liar atau bukan. Postingannya meminta agar pemilik “mengurung peliharaan mereka di dalam rumah” karena “semua anjing yang berkeliaran dengan bebas di jalanan akan dianggap anjing liar, dan oleh karena itu akan ditangkap.”
Kepala Divisi Pencegahan Kejahatan dan Keselamatan Masyarakat DSP Ang Seow Aun dikutip mengatakan pada 18 April bahwa “mereka ingin setiap anjing dan kucing yang ada di luar rumah harus ditemani oleh pemiliknya.”
Warga setempat berujar intimidasi pejabat sangat kuat, sampai-sampai postingan di internet saja bisa berujung ancaman.
“Orang-orang yang menyebarkan foto dan video pelanggarannya diancam untuk menghapus postingan mereka. Beberapa bahkan dipanggil oleh polisi,” ujar aktivis. Menurutnya, ada laki-laki yang ditahan semalaman di kantor polisi karena mengunggah video yang sekarang telah dihapus.
Salah satu rekaman yang viral di internet mempertontonkan petugas yang membunuh seekor anjing di rumah pemiliknya. Video ini direkam oleh tetangganya. Melalui pesan teks dengan aktivis, perempuan yang merekam adegan itu berkata: “Mereka mendatangi rumahku dan meminta agar saya menghapus postingannya. Mereka juga memperingatkanku untuk tidak terlibat kalau tidak mau kena masalah. Mereka khawatir karena banyak orang yang membagikan postingan saya.”
Tonton dokumenter VICE soal tradisi makan anjing di Tiongkok yang dikecam aktivis dari seluruh dunia:
Pada 24 April, VICE juga menerima rekaman mengerikan di mana anjing liar yang baru saja melahirkan dan masih menyusui anaknya dibunuh oleh petugas anti-rabies. Sang pengirim meminta agar tidak disebarkan ke publik karena takut dilacak kepolisian setempat.
S.O.S. memberi tahu VICE bahwa operasinya akan berlanjut hingga beberapa bulan ke depan, sampai semua kawasan Sarawak berhasil disisir. “Mereka biasanya akan melakukan razia dari pukul 7 pagi hingga 7 malam setiap hari selama 10-14 hari. Mereka lalu berhenti selama seminggu sebelum akhirnya pindah ke daerah lain,” terangnya.
Sebanyak 22 tim yang terdiri dari 330 personil sedang merazia tempat berikutnya: Kuching. Operasinya dimulai pada 22 April lalu. Anggota tim langsung menghentikan saksi yang berusaha merekam operasi anti-rabies, bahkan jika mereka ada di jalan umum.
Pembantaiannya juga terjadi di beberapa daerah lainnya di Malaysia. Pada September 2018, foto anjing liar yang dibius di jalanan Seremban beredar di internet.
Bagi kalian yang ingin memberikan bantuan, silakan tanda tangani petisi Change.org yang saat ini sudah ditandatangani lebih dari 15.000 orang. Kalian juga bisa menuntut pemerintah Malaysia agar mengganti razia hewan liar dengan vaksinasi massal yang memenuhi standar internasional.
Jangan lupa follow Edoardo, penulis artikel ini, di Twitter atau Instagram
Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.