Ada Aplikasi Ponsel Mengklaim Bisa Beri Sensasi Makan ‘Jamur Tahi’ ke Pengguna

Pola mandala psikedelik warna-warni

Bisa dibilang, penggunaan psikedelik semakin diterima secara luas dalam setahun terakhir. Jalan menuju legalisasi mungkin masih panjang atau bahkan sulit diwujudkan, tapi setidaknya gagasan ini tak lagi hanya dipahami segelintir orang saja.

Mereka yang pro-psikedelik berpendapat, sudah waktunya kita lebih berhati-hati dalam memikirkan diri sendiri, alam bawah sadar dan cara hidup kita, terutama di saat pandemi menimbulkan kecemasan dan mengubah gaya hidup. Komunitas ilmiah juga sudah mulai menunjukkan ketertarikan pada halusinogen.

Videos by VICE

Imperial College London, misalnya, telah membuka Pusat Riset Psikedelik pertama di dunia pada 2019. John Hopkins University mengikuti jejak dengan membuka Pusat Riset Psikedelik dan Kesadaran pada awal 2020. Para peneliti di kedua institusi tersebut berharap mereka dapat membuat terobosan dalam pengobatan depresi dan PTSD, serta mempelajari hal baru tentang cara kerja pikiran dan kesadaran manusia.

Bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti developer aplikasi mengikuti trennya. Aplikasi meditasi sudah banyak ditemukan sekarang, sehingga tidak mengherankan apabila ada aplikasi yang memberikan efek nge-high layaknya pakai psikedelik beneran. Tapi, bisakah tripping dengan bantuan teknologi saja membawa kita ke alam bawah sadar?

Tom Galea mengembangkan Lumenate, aplikasi seluler yang mengklaim dapat mewujudkan pengalaman antara bermeditasi dan penggunaan psikedelik hanya dengan cahaya kamera ponsel. “Kami ingin menciptakan sesuatu yang mudah diakses,” ujar Tom. “Sebelumnya tidak ada cara mudah untuk melihat ke dalam diri. Kami ingin menciptakan sesuatu yang menginspirasi pengembangan diri.”

Setelah memilih ‘suasana’ pada aplikasi, pengguna diminta mematikan lampu dan memakai headphone. Mereka lalu mengarahkan cahaya kamera ke mata yang terpejam. Cahaya akan nge-flash, dan pengguna bisa menentukan intensitasnya dengan mendekatkan atau menjauhkan ponsel dari wajah. Menurut keterangan situs Lumenate, “neuron di otak manusia akan bereaksi dan menembak sebagai respons” ketika terkena cahaya berkedip (flash). “Ketika kilatan diulang pada frekuensi tertentu, neuron menyesuaikan ritme alami untuk disinkronkan dengan masukan,” begitu bunyi keterangan selanjutnya. Melalui ritme ini, kita bisa “membimbing otak masuk ke kondisi yang diinginkan” dengan aman.

Saya sudah pernah mencoba psilocybin dalam dosis rendah dan tinggi. Saya juga sering bermeditasi di tangki apung perampasan sensorik. Karena itulah saya tertarik mencoba pengalaman psikedelik yang dibantu teknologi. 

Sebelum mulai, saya membaca beberapa testimoni pengguna di grup Facebook Lumenate. Beberapa merasakan visual intens dan pikiran terpisah yang aneh. “Penglihatannya beralih dari mode kaleidoskopik ke flash. [Saya] melihat foto keluarga yang tidak pernah saya kenal,” tulis seorang pengguna. Yang lain menceritakan efek visual yang lebih lembut atau abstrak seperti “merah indah” dan “bentuk berwarna merah, kuning dan hitam”.

Ada juga yang merasakan manfaatnya, seperti kualitas tidur lebih baik dan meredakan gangguan kecemasan. “Pikiran negatif yang muncul setiap malam berubah jadi positif sejak saya menggunakan Lumenate,” bunyi ulasan pengguna lain. “Saya lebih mudah tidur, bermimpi indah, tidak cemas dan bangun dengan tubuh segar dan perasaan gembira.”

Namun, saya tidak merasakan hal-hal positif itu sama sekali. Saya merasa prosesnya tidak menyenangkan sama sekali. Saya tidak bisa merasa nyaman dan mengikuti arus, padahal kedua hal ini sangat penting dalam mengubah kondisi.

Mata saya sensitif terhadap kilatan cahaya. Alih-alih masuk ke alam bawah sadar dan memfokuskan pikiran, saya justru khawatir cahayanya akan merusak mata — terlepas dari suara di aplikasi yang meyakinkan tingkat cahayanya tidak seterang berdiri dengan mata tertutup di siang hari. Saya memutuskan di akhir percobaan, saya kurang cocok dengan aplikasi ini.

Lumenate bukan satu-satunya perusahaan yang memadukan pengalaman tripping dengan teknologi. Contohnya WavePaths yang dikembangkan sesuai arahan pakar macam Dr Robin Carhart-Harris, kepala Pusat Riset Psikedelik Imperial College London. Platform ini menawarkan “lingkungan musikal yang adaptif dan mendukung” bagi siapa saja yang menjalani terapi psikedelik. Berbeda dari Lumenate yang berfungsi sebagai alternatif, WavePaths digunakan bersamaan dengan konsumsi zat psikedelik dalam lingkungan ilmiah yang terkontrol.

Penelitian awal Lumenate menggunakan pemindai EEG — yang mengamati aktivitas listrik di otak — dengan hasil yang menunjukkan bahwa efek aplikasi memiliki “penanda saraf dari meditasi mendalam dan pengalaman LSD”. Temuan mereka tidak ditinjau sejawat, tapi Lumenate memasukkan saran dan masukan dari ahli saraf dan peneliti psikedelik. Dr Carhart-Harris juga memberikan saran kepada mereka.

Saya bertanya kepada Michelle Janikian, editor Psychedelics Today yang menerbitkan buku panduan Your Psilocybin Mushroom Companion, apakah teknologi benar-benar bisa membuat kita tripping sambil mengeksplorasi pikiran. “Seperti efek yang disebabkan oleh obat, teknologi bisa saja membantu seseorang keluar dari pikiran mereka,” terangnya.

“Semuanya tergantung apa yang ingin kalian keluarkan. Keluar dari zona aman memang bermanfaat, tapi beberapa orang membutuhkan psikedelik untuk melakukannya. Sedangkan yang lain, mereka mungkin membutuhkan hal lebih simpel seperti jalan-jalan di taman.” Michelle menganggap aplikasi semacam ini bisa dijadikan sebagai sarana latihan “untuk membuat diri lebih nyaman dengan kondisi yang diubah sebelum memutuskan untuk mengeksplorasi pengalaman lain.”

Meski hasilnya mengecewakan, ada satu manfaat yang bikin saya penasaran. Efek mengonsumsi LSD atau magic mushroom bertahan selama beberapa jam. Kalian tidak bisa menyingkirkannya ketika keadaan mulai memburuk. Tripping dengan bantuan aplikasi bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Kalian bisa langsung berhenti jika merasa tidak nyaman.

Efeknya mungkin tidak sehebat mengonsumsi LSD untuk pertama kalinya atau sedalam meditasi yang sudah sering kita lakukan. Namun, apabila dilihat sebagai alat tambahan (bukan alternatif), aplikasi ini dapat membantu kita menjelajahi rutinitas baru atau sebatas memusatkan perhatian pada diri sendiri ketika gangguan dari dunia luar mulai merasuki. Kemudahan mengakses aplikasi mungkin memiliki daya tarik sendiri bagi orang-orang yang sudah mulai bekerja di kantor atau bersosialisasi lagi.