Pada 5 Juni 2020, dari Yogyakarta aku menyaksikan temanku, penyair Pinto Anugrah, mengikat janji dengan kekasihnya, Welli Marzeni di Painan, Sumatera Barat. Aku sudah menyaksikan bagaimana pandemi membuat sejumlah temanku menunda pernikahan mereka hingga waktu tak ditentukan. Kalau yang terpaksa jalan terus sehingga tamu-tamu cuma bisa menyelamati secara virtual, ya baru kali ini.
Aku dan Pinto saling kenal karena aktivitas tulis-menulis. Kami pernah bertemu dua tahun lalu di Jakarta. Selain itu interaksi berkisar di Facebook dan Instagram. Aku tak sengaja melihat pos Facebook Pinto berisi undangan virtual pernikahannya, dua hari sebelum acara.
Videos by VICE
Begitu melihat undangan itu, aku menghubungi Pinto, mengabarkan aku akan hadir online dan minta izin nanti akan menuliskan jalannya prosesinya. Pinto mengizinkan. Kamis malamnya aku tidur agak cepat karena menurut undangan, acara dimulai pukul 08.00 WIB.
Aku berhasil bangun pukul 06.00, setelah dua alarm gagal membuatku terjaga. Untung kucingku merangsek masuk kamar dan duduk di badan. Dia memang selalu kelaparan pagi-pagi. Untung saja, kalau tidak, bisa-bisa aku datang telat sebagaimana kebiasaan ketika kondangan offline.
Jam 8.00 kurang beberapa menit, aku sudah di depan layar laptop, sudah mandi, pakai kemeja agak rapi, celana basket, dan pulasan lipstik tipis. Aku sama sekali tak punya bayangan acara ini akan berjalan seperti apa, jadi persiapan yang kulakukan sestandar seperti akan datang di pernikahan biasanya—kecuali bagian celana yang kukenakan. Sewaktu aku tiba di alamat acara yang disiarkan via Zoom, siaran belum dimulai. “Waiting for the host to start this webinar,” demikian tulisan di layar.
Tiga puluh lima menit kemudian barulah siaran dimulai. Ada dua video yang terpampang. Satu menampakkan Doval Vilantrop, adik lelaki Pinto, sedang mengeset laptop yang dipakai untuk siaran di lokasi acara. Di video satunya, tampak Imelda Akmal, pengelola publikasi ARCHINESIA Bookgazine di Jakarta sekaligus sahabat Pinto, tengah mengarahkan Doval.
Setengah jam aku menyaksikan mereka menata teknis siaran. Tadinya Doval hendak menyiarkan lewat ponsel, namun Imelda bilang laptop yang diletakkan di tempat agak tinggi lebih baik. Baru menjelang pukul 09.00 orang-orang lain mulai hadir di lokasi, termasuk Pinto yang kelebatannya tampak di layar.
Mereka semua memakai masker dan sarung tangan. Setelah mengobrol sebentar, pukul 09.13 akad nikah dimulai. Kualitas siaran yang kuterima tidak terlalu bagus, entah karena internet di Yogya atau koneksi di Painan. Aku juga tak banyak menangkap apa yang dikatakan oleh penghulu, saksi, dan pengantin selama acara.
Di tengah keasyikan menonton, aku merasa lapar. Satu lagi perbedaan antara hadir langsung di pernikahan dan hadir secara online: enggak dapat katering. Biar suasana pernikahan Minangnya agak meresap, aku memesan lontong sayur padang lewat ojek online. Sayang, sala lauaknya habis.
Rupanya, obrolan barusan cuma latihan. Sepuluh menit kemudian barulah pengantin perempuan in-frame dan akad nikah beneran dimulai. Total, ada tujuh orang di layar. Terdiri dari sepasang mempelai, satu penghulu, satu wali nikah, dua saksi, dan seorang ibu yang sepertinya ibu dari mempelai wanita. Sayup-sayup terdengar tiupan saluang.
Ijab kabul sah menurut saksi di percobaan ketiga. Prosesi beralih ke serah terima mahar dari Pinto ke istrinya. Di sini ada bagian lucu, pengantinnya memunggungi kamera laptop. Mungkin ini catatan buat yang ingin melakukan nikah online, pengarah acara khusus untuk siaran perlu ada. Kalau di lokasi sih acara diarahkan sama penghulu.
Selepas serah terima mahar, Pinto dan istri berfoto berdua dalam beragam pose pengantin baru paling umum: pose pegang buku nikah, saling memegang boks mahar, dan pengantin perempuan mencium tangan pengantin pria. Wah, Pinto masih kurang progresif nih, batinku, merasa dapat bahan.
Pukul 9.46 WIB, atau hampir dua jam sejak aku menghadap layar Zoom, fotografer mengarahkan pengantin menghadap layar laptop. “Sapa penonton dan bilang terima kasih,” aba-aba fotografer. Mempelai kelihatan kagok abis, tapi aku sebagai penonton maklum aja. Coba kalau tamu disuruh gantian menyapa, pasti sama kagoknya.
Setelahnya masih berlanjut sesi foto pengantin dengan tamu yang hadir langsung. Aku masih dengar kalimat membingungkan itu, “Yak, sekarang gaya bebas.” Sampai sekarang masih misteri kenapa fotografer suka sekali menyuruh gaya bebas. Pada jam 10 kurang 2 menit, Doval muncul di layar dan menyatakan siaran selesai.
Video padam, dan ya sudah. Selesai. Aku kembali bekerja.
“Kenapa akhirnya memilih tetap menikah dalam situasi wabah ketimbang menunda sampai bisa ngadain resepsi seperti di saat normal?” aku bertanya kepada Pinto ketika kami mengobrol di WhatsApp, dua hari kemudian.
Ketika sebagian besar orang masih menaruh harapan bahwa wabah ini akan berlalu dan kita pasti bisa menjalani hidup seperti keadaan sebelum wabah, aku penasaran mengapa Pinto memilih berkorban untuk “menikah dalam sepi”.
“Menikah di Minang, tentu melalui prosesi adat yang masih dijaga. Apalagi aku kepala suku juga. Jadi jika dibatalkan, maka harus melewati prosesi adat lagi dari awal, maka opsi yang paling baik adalah akad nikah tetap dilaksanakan, dan resepsi dengan segala prosesi adatnya saja yang ditunda,” jawabnya.
Sejak beberapa tahun lalu, Pinto telah diserahi tampuk kepala suku Bendang. Ia menjabat sebagai datuk pucuk dengan gelar adat Datuk Rajo Pangulu. Pernikahan ini sudah dirembukkan keluarga sejak Desember tahun lalu, ketika acara tunangan atau timbang tando dalam adat Minang dilangsungkan. Begitu masuk Ramadan dan PSBB masih diterapkan, rencana resepsi segera diubah formatnya menjadi acara kecil di rumah.
Tadi aku sempat sebut berkorban juga karena hal lain. Menurut Pinto mengurus izin menikah di rumah selama pandemi luar biasa melelahkan.
“Waduh, mempersiapkannya ini luar biasa bikin stres, bukan capek ya, karena segala sesuatu dibatasi, termasuk ngurus izin nikah di rumah. Contohnya, ngurus izin nikah di rumah ke KUA ini berbelit-belit, sama ngurus izin pemenuhan standar protokol Covid dari gugus tugas kecamatan,” kata Pinto.
Alhasil, di hari-H, selain jumlah peserta disyaratkan KUA maksimal 10 orang, semua tamu juga diwajibkan memakai masker, diperiksa suhunya sebelum masuk lokasi acara, dan tuan rumah harus menyediakan tempat cuci tangan.
Untungnya, walau sedikit, sejak awal mereka memang akan melakukan pesta di rumah pengantin perempuan. Jadi cuma pesanan tenda dan pelaminan resepsi yang perlu dibatalkan.
Tujuh hari menjelang hari-H, Pinto dan calon istri terpikir untuk menyiarkan acara. “Alasan utama, karena enggak bisa menyebarkan undangan. Sanak saudara maupun kolega ingin melihat kan. Makanya diputuskan pakai Zoom,” ujar Pinto.
“Kerabat Uda Pinto memangnya ada di kota mana saja?”
“Medan, Pekanbaru, Jambi, Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya. Kalau enggak PSBB dan kami resepsi, mereka pasti datang.” Sebanyak 150 orang tercatat menonton prosesi akad nikah via Zoom.
Setelah acara berfoto yang sempat aku saksikan, pesta pernikahan dilanjutkan dengan syukuran dan makan bersama.
Menyelenggarakan pernikahan di masa pandemi memang mungkin, bahkan aku baru tahu, sudah ada diksi untuk menyebut pernikahan yang disiarkan lewat Zoom, yakni “Zoom wedding”. Tapi, bagaimanapun rencana bulan madu tidak bisa diakali sama sekali. Kata Pinto, ia menunggu situasi membaik sebelum tamasya berdua. Tujuannya? Ke mana lagi. Tentu saja Bali.
Ya ampun, aku juga kangen Bali pake banget!