Perjalanan panjang konsumen alkohol lokal perlahan menemukan titik cerah. Meski belum seluruhnya, setidaknya minuman beralkohol khas beberapa daerah sudah diregulasi dan diakui peredarannya. Menyusul cap tikus di Sulawesi Utara yang sudah dilegalisasi sejak awal 2019,
minuman kesayangan warga Bali seperti arak dan brem kini “selamat” dari kemungkinan dilenyapkan paksa, dengan cara digilas dengan alat berat. Gubernur Bali I Wayan Koster pada 5 Februari 2020 lalu mengumumkan legalnya minuman ikonik yang terbuat dari pohon lontar tersebut. Hal ini tercatat dalam Peraturan Gubernur No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Videos by VICE
“Saya mengharap, dengan telah diatur dalam Pergub, maka minuman fermentasi khas Bali ini menjadi kekuatan ekonomi baru kita berbasis kerakyatan dan kearifan lokal Bali,” kata Koster saat dikonfirmasi media.
Arak dan Brem memang minuman yang amat populer di Pulau Dewata. Turis yang datang selama ini kerap menjadikannya buah tangan. Tapi peredarannya dilakukan tahu sama tahu, dan karena tak teregulasi justru membahayakan.
Pelarangan penjualan dan peredaran miras tanpa pandang bulu menimbulkan masalah sosial susulan. Boro-boro jadi jauh dari alkohol, anak muda Indonesia yang kreatif malah beralih ke minuman alkohol yang tak teregulasi. Komposisi bahan kimia di dalam minuman swadaya macam itu patut dipertanyakan. Beberapa kasus menunjukkan sebagian konsumen mencampur minuman beralkohol dengan metanol, minuman energi, bahkan obat nyamuk.
Bahaya yang menanti setelah mengonsumsi miras eksperimen ini tak main-main. Puluhan jiwa harus meregang nyawa lantaran nekat mengakali aturan pemerintah. “Alih-alih mengurangi keinginan masyarakat mengonsumsi alkohol, aturan [pembatasan] ini memicu tumbuhnya pasar gelap alkohol. Hal ini terutama terjadi di kawasan yang menerapkan mekanisme yang membatasi alkohol terhadap area tertentu,” demikian kesimpulan lembaga riset independen Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) saat meneliti pola konsumsi alkohol di enam kota Indonesia.
Dikutip dari CNN Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Bali, NTB, dan NTT telah membentuk skema kemitraan usaha dengan petani arak, koperasi, dan pihak produsen minuman alkohol lokal. Jalurnya seperti ini: petani arak dapat menjual hasil produksinya ke koperasi. Koperasi kemudian akan berperan sebagai pengepul, yang nantinya akan dijual ke produsen atau pabrik.
Dengan skema seperti ini, diharapkan ada standarisasi bagi warisan budaya yang telah ada sejak ratusan tahun lalu tersebut dan dapat lebih terjaga kualitasnya. Tidak lupa pita cukai akan dilekatkan di kemasannya.
Barangkali kini saatnya konsumen alkohol mendesak pemerintah daerah masing-masing untuk meregulasi alkohol di wilayahnya. Kita sama-sama tahu, Indonesia adalah negara yang kaya tradisi minuman beralkohol berbasis kearifan lokal.
Ada Ballo di Sulawesi Selatan, ciu di kawasan selatan Jawa Tengah, sopi di NTT dan Maluku, lapen di Yogyakarta, begitu pula tuak yang amat populer di Sumatra Utara. Semuanya berakar dari fermentasi tanaman endemik di wilayah masing-masing, baik itu aren, beras, singkong, ataupun lontar.
Setidaknya dengan adanya jaringan teregulasi, konsumen dan produsen tidak perlu main kucing-kucingan lagi dengan pemerintah. Konsumen tak nekat mengoplos minuman mereka dengan bahan berbahaya, polisi terbantu saat memantau peredarannya, pemerintah pun menikmati pajak. Ideal bukan? Kearifan lokal itu tetap lestari dan semua pihak senang.