Pelamar kerja atau lulusan baru barangkali pernah disodori jargon-jargon seperti ini, agar bisa meraih karier impian dan menghindari pengangguran:
“10 keahlian yang dibutuhkan lapangan kerja, mari pelajari!”
Videos by VICE
“Tingkatkan kemampuan demi karir cemerlang!”
“Sukses di tempat kerja ada di tangan Anda!”
Selain faktor pandemi, banyak pihak termasuk praktisi dan masyarakat percaya bahwa penyebab utama pengangguran adalah apa yang disebut dengan “skills mismatch”. Ini diartikan sebagai ketidakcocokan keahlian dari para pelamar kerja – baik dianggap kurang ahli atau punya keahlian yang beda dengan kebutuhan pasar kerja.
Narasi skills mismatch, atau beberapa orang memakai istilah “employability” (potensi pelamar untuk direkrut), makin gencar digunakan di negara berkembang maupun negara maju untuk menjelaskan isu pengangguran. Lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) bahkan rajin menggaungkan konsep ini.
Meski mengasah keahlian adalah hal yang bermanfaat, dan meski skills mismatch terdengar masuk akal – bahwa banyaknya pekerja yang belum memiliki keahlian yang tepat membuat angka rekrutmen menjadi rendah – konsep tersebut tidak sepenuhnya dapat menjelaskan isu pengangguran.
Pada Agustus 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,42 juta orang. Angka ini bertambah sekitar 200 ribu orang dari enam bulan sebelumnya.
Tapi menariknya, angka tersebut didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) – yang harusnya telah dibekali keahlian vokasi khusus untuk dunia kerja.
Alih-alih menjelaskan, narasi tunggal skills mismatch ini berpotensi menempatkan pelamar kerja, khususnya mereka dari kelompok miskin dan marginal, dalam posisi yang semakin rentan dan terus menuai stigma. Di sisi lain, praktik-praktik buruk perusahaan justru terus dinormalisasi.
‘Keahlian Rendah’ Kambing Hitam Isu Pengangguran: Ini Mitos
Pertama, skills mismatch cenderung mengindividualiasi isu pengangguran. Artinya, pengangguran seolah terjadi semata karena pelamar kerja dianggap tidak memiliki kemampuan sesuai lapangan kerja – bukan karena terbatasnya lapangan kerja layak. Dalam narasi ini, jika lowongan kerja terbatas, individu kemudian dituntut berwirausaha.
Di Indonesia, baru-baru ini, banyak perusahaan ramai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya. Banyak start-up yang digadang-gadang menjadi bentuk inovasi ekonomi untuk membuka lapangan kerja baru, justru terjebak tekanan finansial. PHK yang terjadi baru-baru ini diprediksi terus terjadi pada tahun 2023.
Sayangnya, meskipun PHK merupakan hal umum di Indonesia, termasuk selama pandemi, narasi skills mismatch tetap dominan dalam bahasan pengangguran. Narasi tersebut bahkan bisa menjustifikasi keputusan perusahaan untuk melakukan PHK ke karyawannya.
Kedua, skills mismatch seolah menempatkan keahlian sebagai satu-satunya faktor yang berkontribusi pada kesuksesan karir. Pandangan ini mengabaikan faktor lain seperti gender, ras, agama, dan terutama kelas ekonomi, yang juga bisa membantu atau menghambat seseorang di lapangan kerja.
Studi sosiologi tahun 2015 terkait proses rekrutmen profesi-profesi elit – dari bank investasi, perusahaan konsultan, hingga firma hukum papan atas – menunjukkan anak-anak miskin gagal lolos tes pekerjaan sekalipun mereka lulusan kampus ternama.
Perusahaan kerap mendiskriminasi mereka dan kelompok minoritas lainnya dengan menggunakan dalih “cultural fit” atau kesesuaian budaya. Meskipun memiliki kemampuan memadai, banyak dari mereka dianggap tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan budaya di perusahaan elit.
Terkait gender, penjelasan skills mismatch juga kurang dapat menjelaskan terbatasnya partisipasi kerja perempuan.
Di Indonesia, lebih banyak perempuan memiliki ijazah dari perguruan tinggi ketimbang laki-laki, yakni 10,1 persen dibandingkan 9,3 persen pada 2021. Namun demikian, partisipasi kerja perempuan jauh lebih terbatas, hanya 54 persen dibandingkan 84 persen di antara laki-laki pada 2022.
Dalam pandangan skills mismatch, perempuan yang tidak bekerja, dengan alasan apa pun, bisa dianggap tidak memiliki keahlian kerja yang dibutuhkan pasar. Narasi ini mengabaikan diskriminasi serta kurang ramahnya pasar kerja terhadap perempuan, terutama mereka yang sudah berkeluarga – dari aturan cuti hamil hingga kebijakan fleksibilitas kerja.
Ketiga, diskusi tentang skills mismatch cenderung menutupi praktik-praktik buruk perusahaan.
Di Indonesia, masih banyak perusahaan yang tidak menggaji karyawannya secara layak. Praktik kerja kasual atau “prekariat” melalui jalur kemitraan, bukan karyawan tetap, juga semakin marak. Ini menyebabkan mereka kehilangan kesempatan mendapatkan jaminan kerja dan sosial yang memadai dari perusahaan.
Praktik-praktik ini semakin menjamur dengan berjalannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang dianggap lebih berpihak pada pengusaha. Dalam sistem yang cenderung lebih menguntungkan pengusaha, sangat mudah dipahami jika pegawai memilih tidak bekerja ketimbang bekerja dengan imbalan yang jauh dari kata memadai.
Narasi yang berbahaya
Selain tak sepenuhnya menjelaskan isu pengangguran, narasi tunggal skills mismatch punya dampak berbahaya.
Seperti praktik-praktik umum dalam sistem neoliberal di mana ada pergeseran tanggung jawab negara ke warga – biasa disebut sebagai “responsibilization” – narasi skills mismatch menempatkan pelamar kerja sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas karier mereka atau sebagai sumber kesalahan atas masalah yang bersifat struktural (luas, mengakar, dan dilanggengkan oleh sistem) seperti di atas.
Mereka yang kesulitan mencari kerja tidak hanya mendapatkan stigma buruk dari masyarakat, namun juga kerap menyalahkan diri mereka sendiri. Dalam bukunya, Flawed System/Flawed Self: Job Searching and Unemployment Experiences (2013), sosiolog Ofer Sharone menggambarkan internalisasi kegagalan sebagai hal umum pada kelompok pengangguran – apalagi di daerah tempat industri, produk, atau buku self-help tumbuh subur.
Berkali-kali, negara serta praktisi mengingatkan bahwa para penganggur memiliki kontrol penuh atas kesempatan kerja mereka. Kegagalan mendapatkan pekerjaan seolah akibat “kepasrahan” atau kegagalan memanfaatkan kesempatan yang ada.
Internalisasi kegagalan, yang juga terus diperparah pelimpahan tanggung jawab dari negara ke individu, semakin mengancam kesehatan mental kelompok pengangguran. Lucunya, berbagai intervensi di tingkat dunia yang berusaha menangani kesehatan mental mereka pun tidak benar-benar menyasar akar masalah.
Pemerintah Tiongkok, bersama dengan layanan kesehatan mental, meluncurkan program konseling untuk mengatasi masalah kesehatan mental pada kelompok terdampak PHK. Intervensi tersebut sekadar fokus mengajak pengangguran berpikir positif tentang diri mereka lalu memotivasi mereka melanjutkan pencarian kerja – di tengah lingkungan yang (masih) tidak berpihak pada mereka.
Awan gelap untuk pendidikan
Pada akhirnya, narasi tunggal skills mismatch berpotensi mereduksi pendidikan untuk sekadar mempersiapkan pelajar ke pasar kerja. Dalam pandangan ini, solusi masalah tersebut adalah memperkuat keselarasan antara kurikulum institusi pendidikan dengan kebutuhan industri.
Di Indonesia, dominasi skills mismatch dalam diskursus pengangguran dapat dilihat dari berbagai kebijakan pendidikan, termasuk yang dikeluarkan belakangan ini.
Melalui magang dan kerja praktik, para institusi pendidikan di level SMK maupun universitas berusaha memastikan lulusan “siap kerja”. Institusi pendidikan, bukan perusahaan, adalah pihak yang dianggap bertanggung jawab mempersiapkan mereka.
Pembekalan kemampuan kerja bisa saja bermanfaat. Ketika magang, misalnya, para pelajar bisa mempelajari kemampuan baru – selama bukan sekadar menjadi tenaga kerja murah, bahkan tidak berbayar, yang kemudian menormalisasi praktik buruk perusahaan jauh sebelum mereka menjadi tenaga kerja sesungguhnya.
Namun, tujuan sekolah lebih dari sekadar mempersiapkan tenaga kerja. Sosiolog pendidikan, David Labaree, menyebutkan dua fungsi lain dari sekolah: 1) memberikan kesempatan hidup lebih baik, dan 2) mempersiapkan pelajar untuk hidup berdemokrasi di tengah keberagaman.
Fokus hanya pada fungsi ekonomi cenderung meningkatkan kompetisi dan memperburuk ketimpangan, terutama antara mereka yang dipersiapkan untuk pekerjaan elit dengan yang dipersiapkan untuk pekerjaan bergaji rendah.
Skills mismatch bisa jadi satu faktor di balik pengangguran di Indonesia. Namun, pandangan tunggal ini bisa membahayakan pelajar maupun dunia pendidikan. Di sisi lain, narasi ini terus melindungi citra perusahaan di tengah praktik buruk yang mereka lakukan.
Senza Arsendy adalah PhD Student bidang sosiologi di The University of Melbourne, Australia
Artikel ini dipublikasi ulang dari The Conversation berdasarkan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.