Curhatan seorang pekerja di Yogyakarta bernama Riskha F.H. yang tersebar hari ini bikin ngilu banyak sesama pekerja. Sambil mengirim skrinsut dari aplikasi provider seluler, Riskha cerita bahwa ia baru saja digaji dalam bentuk pulsa Telkomsel. Kata doi, pulsa senilai Rp1,5 juta itu didapat sebagai honor penelitian.
Cerita ini sampai di Twitter karena Riska perlu menjual pulsa itu supaya jadi duit. Ya gimana, hakikat kerja adalah cari duit bukan cari pulsa. Lewat akun menfess, ia menjajakan pulsa hasil kerjanya terlibat penelitian tersebut. Di mana-mana orang gajian langsung hura-hura, ini malah terpaksa jualan.
Videos by VICE
Isu ketenagakerjaan emang topik favorit warga Twitter. Banyak yang simpati sehingga jualan Riska ini kayaknya laku keras. Bahkan sempat-sempatnya muncul akun tiruan yang mengaku-aku sebagai doi, lalu nipu calon pembeli pulsa. Inilah yang dinamakan kaum lumpen-proletariat, Bunda.
Long story short, yang membuat kami tertarik adalah apakah hukum ketenagakerjaan Indonesia emang mengizinkan upah kerja diberikan selain dalam bentuk uang? Inikah senjakala buruh Indonesia sejak berlakunya UU Cipta Kerja? Setelah menelusuri ke sana kemarin, bocoran kesimpulannya kira-kira, kayaknya aturan tenaga kerja di Indonesia tak pernah mengantisipasi masalah model begini.
Menurut UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1, pekerja atau buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan pemberi kerja adalah orang atau badan yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan demikian, menurut UU, relasi pekerja dan pemberi kerja diikat oleh adanya (1) pekerjaan dan (2) upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Apa sih upah itu? Pasal 1 UU ini menjelaskannya sebagai hak pekerja dalam bentuk uang. Lalu uang itu apa? Kata UU 7/2011 tentang Mata Uang, ialah alat pembayaran yang sah (nulis berita berasa bikin paper filsafat). Apakah pulsa bisa disebut sebagai uang? No way, di Indonesia, uang merujuk pada mata uang, seperti rupiah, dolar, dan kawan-kawan. Sementara pulsa, sebagaimana “mata uang kripto” yang tidak atau–kalau mau optimistis–belum diakui negara sebagai alat tukar yang sah, dianggap sebagai komoditas.
Definisi uang cukup jelas, masalahnya UU Ketenagakerjaan menyebut bahwa pekerja dibayar dengan upah dan imbalan dalam bentuk lain. Apa itu imbalan dalam bentuk lain? Hanya pembuat undang-undang dan Tuhan yang tahu.
Misteri apa itu yang disebut imbalan mungkin bisa agak terang ketika melihat dokumen Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 24 (PSAK 24) yang dikeluarkan Ikatan Akuntan Indonesia. Merujuk dokumen ini, posisi imbalan adalah komplemen atau pendamping upah. Jadi bentuknya bisa berupa bonus, pensiun, tunjangan kesehatan, dan semacam itu, bukan pengganti upah.
Kisah pekerja yang diupah pulsa di atas tidak berakhir kayak gimana-gimana. Yang bersangkutan meminta bahasan itu enggak diperpanjang, toh doi ngadu ke Twitter dalam rangka menguangkan pulsanya, bukan nyari pembelaan.
Cuma eh cuma, jika kamu suatu ketika ada di posisi yang sama, harusnya soal bentuk upah, imbalan, atau apalah ini sudah disepakati dalam surat perjanjian kerja. Sehingga, jika yang diberikan beda dengan yang disepakati, pekerja bisa mengajukan masalah ini ke pengadilan hubungan industrial.
Kasus Riskha jelas bukan yang pertama dan terakhir. Pada 2016 silam, seorang pekerja pabrik keramik pernah bertanya kepada Hukum Online apakah sah tunjangan makan dan kesehatannya dibayarkan perusahaan dalam bentuk… keramik. Jawaban Hukum Online kurang lebih kayak penjabaran kami di atas.