Saya dulu murid teladan. Nilai rapor saya selalu bagus. Saya tidak pernah telat masuk sekolah. Saya selalu mengenakan seragam dengan rapi dan bersih. Banyak kegiatan ekstrakurikuler yang saya ikuti. Saya juga tidak pernah dihukum karena menyontek. Saya belajar di sekolah Katolik campuran dari TK sampai SMA. Bagi para guru, saya sangat taat pada peraturan sekolah.
Akan tetapi, di mata saya, serangkaian peraturan ini sangat aneh.
Videos by VICE
Murid laki-laki di sekolah saya tidak boleh gondrong. Setiap awal bulan, pengawas akan menyuruh para siswa berbaris di depan kelas dan memeriksa ujung rambut kami. Mereka meletakkan penggaris atau pulpen di samping wajah dan belakang kepala untuk memastikan untaian rambut tidak menyentuh telinga atau bagian belakang kerah. Mereka mengancam akan memotong rambut kami kalau ketahuan sudah panjang. Saya tidak begitu ingat ada yang benar-benar dicukur di sekolah atau tidak, tapi saya belum bisa melupakan gunting hijau yang terselip di jari pengawas. Suatu hari, saya iseng bertanya kenapa kami dilarang berambut panjang, padahal gambar Yesus Kristus di setiap sudut sekolah kami tampak memiliki rambut panjang nan indah. Dia malah menyuruh saya masuk kelas.
Para siswi di sekolah saya dan banyak sekolah lain juga menghadapi berbagai peraturan absurd.
“Warna ikat rambut yang kalian pakai harus sesuai dengan merek sekolah, atau hanya boleh pakai ikat rambut berwarna hitam, putih atau cokelat. Hanya tiga warna itu saja. Kalian tidak boleh memakai warna lain karena bisa mengganggu perhatian,” kenang Isabel, lulusan sekolah putri yang berusia 26. Dia meminta agar namanya disamarkan karena khawatir ketahuan mengkritik tempatnya bersekolah dulu.
“Saya tidak paham kenapa harus kayak begitu.”
Saya sudah lupa sekolah saya dulu mewajibkan siswi mengenakan ikat rambut tertentu atau tidak, tapi yang pasti mereka dilarang mengenakan bra warna-warni. Guru beralasan itu bisa menarik perhatian murid laki-laki.
Beberapa sekolah mewajibkan potong kuku pendek (jangan sampai terlihat ujung putih), sedangkan yang lain hanya mengizinkan siswa-siswi mengenakan kaus kaki dan tali sepatu putih. Mayoritas sekolah di Indonesia juga memiliki peraturan sepatu harus hitam. Murid akan ditegur, atau bahkan sepatu mereka disita, jika berwarna selain hitam. Pihak sekolah tak pernah sekali pun menjelaskan kenapa hanya boleh satu warna. Dalihnya mungkin agar sepatu tidak gampang kotor, tapi kan… ada banyak warna gelap lain. Kenapa sepatu biru dongker yang menyerupai hitam tetap disita?
Menariknya lagi, lembaga pendidikan yang menyandang status RSBI alias bertaraf internasional tak lepas dari kewajiban untuk berseragam dan “tampil rapi”. Padahal, jika memang kualitas dan sistemnya sudah setara sekolah-sekolah di luar negeri, bukankah seharusnya peserta didik dibebaskan untuk berekspresi? Tanpa dibatasi larangan dan hukuman hanya karena penampilan mereka “berbeda”, atau yang sering guru-guru cap sebagai “urakan”?
Kalian juga pasti masih ingat kasus sekolah negeri yang mewajibkan seluruh siswi mengenakan jilbab, tak peduli beberapa di antara mereka nonmuslim. Tanpa kita sadari, banyak sekolah negeri yang menerapkan peraturan serupa, meski mungkin dalam tahap yang lebih “mendingan”. Penerjemah artikel ini ingat temannya dilarang masuk kelas karena lupa pakai jilbab di hari Jumat.
Di satu sisi, kita tak pernah menyadari ada yang tidak beres dengan peraturan sekolah karena telah terbiasa menjalaninya sejak kecil. Tapi di sisi lain, rasanya sangat membingungkan melihat masih ada sekolah yang memberlakukan peraturan semacam ini, terutama setelah pemahaman kita mengenai kedisiplinan, pendidikan, gender dan individualitas berkembang pesat.
Miguel Punzalan dulu bersekolah di Rizal, salah satu provinsi di pulau terbesar di Filipina. Seperti banyak sekolah di negara itu, ada praktik “star section” yang memisahkan murid berdasarkan prestasi akademik mereka. Murid-murid teladan dikelompokkan dalam satu “bagian”.
“Peraturannya aneh karena semua murid pintar dimasukkan ke star section dan dipersiapkan untuk menjadi sukses setelah lulus SMA, sedangkan siswa yang berisiko ditakdirkan untuk gagal, menyebabkan penundaan lebih lanjut dan menghambat kemajuan akademik di antara murid,” tandasnya.
Peraturan sekolah yang tidak masuk akal ditemukan di banyak negara. Pelajar di Jepang, misalnya, wajib memberikan bukti apabila rambut mereka tidak berwarna hitam atau lurus. Sementara itu, di India, peserta didik dilarang berinteraksi dengan lawan jenis.
Kenyataan tidak dapat diubah bagi kita-kita yang sudah lama lulus sekolah dan berhasil melalui segala peraturan ini. Namun, saya tetap berharap peraturan sekolah lebih masuk akal sekarang. Zaman telah berubah, jadi peraturan-peraturan ini juga harus diubah.
Annisa Nurul Aziza berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.
Follow Romano Santos di Instagram.