Tahun ini sangat sibuk bagi Okky Madasari. Dia dipastikan berangkat ke University of Iowa, Amerika Serikat, menjalani program residensi dalam International Writing Program sampai November 2017. Dia mengikuti jejak penulis besar seperti Orhan Pamuk (peraih Nobel Sastra 2006), serta sastrawan-sastrawan pilih tanding lain dari negara ini macam Putu Wijaya dan Yusi Avianto Pareanom yang terlibat dalam program residensi serupa.
Okky Madasari, penulis kelahiran Magetan, Jawa Timur itu mewarnai jagat sastra Indonesia melalui enam bukunya; Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012), Pasung Jiwa (2013), Kerumunan Terakhir (2016), dan paling baru, kumpulan cerpen Yang Bertahan dan Binasa Perlahan baru saja terbit. Okky menyeruak berkat tema-tema tulisannya yang menyoal isu diskriminasi minoritas Tanah Air. Novelnya menelisik batin komunitas Ahmadiyah, berempati terhadap sosok rentenir dan anaknya yang terlibat radikalisme agama, keliling Timor Leste bersama mantan presidennya, hingga cerita pengidap gangguan jiwa.
Empat tahun belakangan, nama Okky lebih dikenal sebagai pegiat acara sastra, tentu dipengaruhi statusnya sebagai salah satu pendiri ASEAN Literary Festival; edisi terbarunya baru saja dilaksankan awal Agustus lalu. Okky juga tak ragu menceburkan diri dalam aktivisme politik. Di tengah sebuah kerumuman massa di depan LP Cipinang tiga bulan lalu, ia membacakan puisinya, Seorang Cina Yang Ingin Menjadi Gubernur. Puisi itu adalah respons Okky atas hukuman penjara terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dianggap menistakan agama.
Videos by VICE
“Satu puisi saja tak akan cukup mengubah keadaan,” ujarnya. “Untuk kasus ini, saya terlibat aktif mulai dari menulis kolom untuk surat kabar hingga menginisiasi aksi.”
Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, saya mendapat kabar anaknya yang berusia dua tahun tidak bisa ikut ke Amerika Serikat karena masalah visa. Okky menyebutnya bentuk diskriminasi. Selain insiden visa, saya berkesempatan ngobrol bareng Okky membahas banyak hal, mulai dari gairah baru sastra Indonesia, serba-serbi dunia kepenulisan, dan tentu pandangannya soal masih pentingkah penulis dari Tanah Air berusaha menerbitkan karyanya di pasar Negeri Paman Sam.
VICE: Hai Okky, bisa dijelaskan seperti apa prosesnya sehingga terpilih menjadi writer-in-residence di University of Iowa?
Okky Madasari: Saya dihubungi Kedutaan Besar AS di Jakarta dan mereka mengatakan ingin menominasikan saya untuk program ini. US Embassy hanya menominasikan, keputusan sepenuhnya di tangan Iowa Writing Program. Tentu hanya US Embassy yang bisa menjelaskan kenapa saya dinominasikan. Saya rasa semua terkait dengan perjalanan kepengarangan dari penulis bersangkutan. Saya berangkat ke Iowa setelah menerbitkan lima novel dan satu kumpulan cerita pendek.
Kabarnya ada masalah visa yang tidak memungkinkan anak Okky ikut?
Iya, ini agak sedih bicara soal ini. Iowa Writing Program sejak awal dirancang untuk penulis saja, tanpa mempertimbangkan bahwa bisa jadi ada penulis yang punya anak yang usianya di bawah lima tahun atau bahkan 3 tahun. Kebijakan visa untuk peserta IWP adalah visa J1 yang tidak memungkinkan bawa anak. Saya agak terkejut dan kecewa dengan ini. Karena sepanjang karier saya, saya selaku membawa anak saya bersama saya, baik itu saat saya diundang bicara di berbagai festival dan konferensi internasional, riset ke daerah terpencil, dan menulis sepanjang hari. Oh iya, anak saya umurnya 2 tahun 10 bulan.
Lewat twitter dirimu sampai menyebut kebijakan visa sebagai “human rights violations”, kenapa?
Saya percaya, situasi apapun yang membuat perempuan harus memilih antara anak dan karier/pencapaiannya adalah diskriminasi dan tidak menghargai hak perempuan. Saya tetap berangkat tanpa bawa anak, sembari saya berharap saya bisa memberi masukan agar ada perubahan di masa depan.
Putu Wijaya, Danarto, lalu Yusi Avianto Pareanom adalah seniormu di program ini. Sekarang Okky masuk jajaran peserta Iowa tersebut dalam usia relatif muda. Apa yang kamu targetkan ke depan?
Usia saya 32 tahun, jauh lebih muda dibanding penulis-penulis yang kamu sebut. Saya baru menerbitkan novel pertama saya dan kemudian dikenal publik tahun 2010. Usia kepengarangan yang sangat muda dibanding penulis-penulis tersebut. Dengan usia saya dan usia kepengarangan saya yang masih muda itu, fokus saya adalah apa yang ada di hadapan saya dan karya-karya baru yang akan terus saya hasilkan.
Menurutmu, apa alasan banyak penulis muda Indonesia belum menarik perhatian khalayak?
Banyak penulis-penulis muda di bawah saya. Karya mereka juga bagus dan mereka juga pintar-pintar karena ditunjung dengan referensi bacaan yang kaya dan akses komunikasi tanpa batas. Tapi kemudian pertanyaannya adalah bagaimana mereka menunjukkan konsistensi mereka untuk terus berkarya. Bagaimana mereka mengelola energi mereka untuk bisa terus menghasilkan karya. Bagaimana mereka akhirnya menjadi bagian yang signifikan dari sejarah sastra Indonesia. Saya percaya perjalanan kepengarangan itu butuh proses. Menulis satu buku yang cukup mendapat perhatian lalu kemudian tak ada karya lagi yang dihasilkan, tak akan cukup untuk perjalanan kepengaranganmu. Bukan berarti kemudian saya menitikberatkan pada kuantitas. Bukan! Tapi lebih ke bagaimana kamu konsisten dan bertahan untuk berjalan di jalur kepengarangan. Dan apalagi yang dilihat dari seorang pengarang selain karya yang dihasilkan?
Kesempatan mengikuti residensi di AS tentu membuka jalan kepada agen penerbitan sastra mancanegara. Apakah akan kamu mengupayakannya?
Upaya untuk terus memperluas pembaca menjadi salah satu agenda utama saya sebagai pengarang. Dan kita semua tahu, kita punya pembaca potensial yang ada di luar Indonesia. Ini bukan soal popularitas atau uang. Tapi saya rasa tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang pengarang selain melihat karyanya dibaca sebanyak-banyaknya orang, apalagi jika karya itu bisa mempengaruhi pikiran dan kesadaran pembacanya. Saat ini buku-buku saya sudah diterjemahkan dan terbit dalam Bahasa Inggris. Buku saya juga terbit di Jerman dan Malaysia. Pembeli hak cipta karya saya juga terus berdatangan. Terakhir dari Mesir.
Tapi semua ini masih sangat lemah dan terbatas untuk memperluas pembaca di luar Indonesia. Karena itu saya sadar saya butuh international agent. Saya akan memanfaatkan setiap kesempatan yang saya punya untuk menjajaki relasi dengan agent. Tapi tentu saja prioritas saya sebagai penulis adalah berkarya.
Memangnya masih penting bagi penulis di Indonesia mengupayakan karyanya diterbitkan di pasar Amerika Serikat?
Penting dan gak penting. Penting jika kita bicara tentang pasar pembaca luar negeri, tentang upaya kita masuk dalam industri perbukuan global. Tapi menjadi tidak terlalu penting jika kita bicara soal kualitas, soal gagasan dan soal pengaruh karya bagi masyarakat. Saya sendiri tentu ingin karya saya bisa segera terbit di US. Karena harus diakui, suka atau tidak suka, ini menjadi kunci dari pasar dan industri global. Terbit di US yang saya maksud adalah diterbitkan penerbit yang reputable yang memiliki dampak dan pengaruh. Jadi tidak asal terbit saja.
Yang Bertahan dan Binasa Perlahan banyak membahas isu intoleransi. Apakah kebetulan saja atau memang disengaja dirilis sekarang, setelah ada insiden penutupan patung dewa di kelenteng Tuban?
Yang Bertahan dan Binasa Perlahan adalah kumpulan cerita-cerita saya yang saya tulis selama satu dekade, dari tahun 2007 hingga 2017. Isu yang diangkat beragam. Tema besar yang menjadi benang merah adalah perjuangan manusia untuk bertahan dalam pertarungan, baik itu pertarungan dengan diri sendiri maupun lingkungannya. Soal intoleransi hanya salah satu saja. Ada cerpen berjudul “Patung Dewa” tentang bagaimana sebuah Patung dihancurkan hanya karena ada yang menganggapnya tidak sesuai agama. Cerpen itu saya tulis 4 tahun lalu. Dan sekarang peristiwa serupa terjadi.
Artinya semua kisah di buku itu akan terus relevan. Banyak sekali kisah lain yang ditulis beberapa tahun lalu tapi pas dengan kondisi hari ini. Kenapa baru sekarang dirilis? Karena menandai perjalanan 10 tahun saya menulis fiksi. Selama ini saya cenderung menghindari menerbitkan kumpulan cerita – apalagi jika sifatnya seperti mencari-cari remah-remah cerita yang kita hasilkan. Setelah sepuluh tahun dan setelah menulis 5 novel, saya merasa ini waktu yang tepat untuk menerbitkannya. Dari kumpulan cerita ini pembaca juga bisa melihat betapa dinamisnya perjalanan pemikiran dan karya.
Okky tempo hari membaca puisi di LP Cipinang. Aku penasaran, mungkinkah dirimu yakin puisi bisa meyakinkan khalayak bahwa Ahok tak layak dipenjara? Bisakah sastra mengubah pendapat orang terhadap dampak negatif pasal penistaan agama?
Untuk satu puisi itu: Tidak. Puisi itu hanya satu bagian dari rangkaian upaya untuk menggugah kesadaran tentang betapa tak adilnya kasus Ahok dan pasal penistaan agama. Tapi satu puisi saja tak akan cukup mengubah keadaan. Untuk kasus ini, saya terlibat aktif mulai dari menulis kolom untuk surat kabar hingga menginisiasi aksi.