“Eh tadi katanya ada kecelakaan di Ringroad Utara ya?”
“Coba cek Facebook ICJ deh!”
“Aku baru kehilangan handphone nih, kayaknya jatuh di jalan tadi deh, sedih…”
“Coba cek grub ICJ deh, kali aja ada yang nemuin”
“Bajigur! SIM-ku hilang e, meh rono ra wani ngko ono cegatan (mau kesana nggak berani takut ada razia)”
“Aman lur, jare (katanya) info di ICJ hari ini cegatannya di Jl. Solo kok, lewat Maguwo wae.. (saja)”
Dialog-dialog di atas adalah beberapa contoh respon yang akhir-akhir ini kerap muncul di obrolan antar kawan di Yogyakarta saat salah satu dari kami kehilangan barang, melihat peristiwa, atau butuh informasi tentang jadwal cegatan (razia motor) oleh polisi di jalan. Seolah tempat verifikasi info atau divisi Lost & Found, grup Info Cegatan Jogja (ICJ) sekarang ini menjadi rujukan untuk hampir semua masalah dan informasi yang berhubungan dengan aktivitas di jalan raya.
Ketimbang pergi ke polisi membuat surat laporan kehilangan atau mengecek surat kabar resmi, ICJ jadi rujukan pertama.Lalu apa bedanya mereka dengan terma jurnalisme warga yang beberapa tahun terakhir ini naik daun? Yanto Sumantri, salah satu founder ICJ yang VICE temui menjawab “Kami bukan fokus ke citizen journalism sebenarnya, karena kami tidak paham kaidah jurnalistik. Info Cegatan Jogja (ICJ) fokusnya lebih ke menggerakkan partisipasi publik.”
Videos by VICE
Bulan September lalu, mereka baru saja merayakan ulang tahun ke-4 sejak didirikan pada 2013 lalu. Tak main-main, dengan anggota mencapai 814.134 orang di Facebook, saat ini ICJ menjadi salah satu grup media sosial paling masif dan aktif di Yogyakarta. Secara offline, anggota mereka terbagi jadi 5 korwil: Yogyakarta, Sleman, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Untuk saling mengenali teman segrup di dunia nyata, cukup lihat apakah ada sticker logo ICJ –siluet tugu Yogya dikombinasikan dengan huruf CJ yang berwarna hitam putih— di bumper motor atau dengan bertukar sapa “Salam Aspal Gronjal Lur!” yang sudah jadi ikon tersendiri dari grup ini.
Salam khas ICJ ini sendiri awalnya adalah ‘kode’ antar anggota untuk menghindari razia surat kendaraan bermotor oleh polisi yang biasanya dilakukan di jalan-jalan besar yang aspalnya mulus. Karena itu, “Aspal Gronjal” adalah kode untuk mencari jalan alternatif, yang biasanya kondisinya tak semulus jalan raya. “Itu perumpaan sih, kayak ada masalah lho di sana, yaudah belok yuk, ‘gronjal’ dikit nggak apa-apa,” ujar Yanto disambung tawa renyah. Mereka juga saling memanggil dengan ‘Lur’ –kependekan dari ‘Dulur’, dalam Bahasa Indonesia ‘Saudara’. Saking ikoniknya, seruan “Salam Aspal Gronjal Lur!” pun sekarang mungkin sudah lebih populer ketimbang grup-nya sendiri.
Bagi yang sama sekali belum pernah mendengar ICJ, silahkan buka laman Facebook anda lalu ketik di kolom pencarian Info Cegatan Jogja, dan bergabunglah, dijamin Anda tak akan menyesal. Tak seperti forum jual beli (FJB) atau grup-grup lain yang transaksional, ICJ adalah jejaring informasi netral di mana siapapun bisa berpartisipasi dan punya solidaritas berkelanjutan. Mungkin bagi beberapa orang konten grup terlihat remeh atau sepele, seperti kabar razia polisi, kehabisan bensin di jalan, pelaku begal yang tertangkap, keluhan petugas kelurahan, parkir mahal, menemukan dompet di jalan, dan sebagainya. Namun jika anda sudah paham wacana yang mereka usung, niscaya kalian akan berdecak kagum.
Jaringan yang mereka bangun sangat solid dan berkontribusi secara kongkrit di lapangan. Menurut cerita Yanto, grup ini bukan lahir bukan dari sebuah ide, melainkan karena kebutuhan untuk berbagi informasi. “Nggak selalu tentang cegatan aja sih, topiknya sebenarnya lebih ke pemberantasan pungli (pungutan liar)-nya. Kontrol sosial, memperbaiki kinerja institusi layanan publik,” ujar Yanto yang sehari-hari masih bekerja sebagai teknisi handphone. Menurut pengalamannya, ketika keluhan terhadap instansi pemerintah jadi viral di sosial media, penanganannya akan lebih cepat.
Puluhan postingan diunggah dan saling ditanggapi oleh anggotanya. Untuk sirkulasi konten di grup, tim ICJ punya 10 mimin alias moderator yang membagi tugas untuk memantau jalannya grup. Mereka juga punya alasan kenapa mendirikan ICJ ini di kanal Facebook. “Walaupun mungkin dianggap usang, tapi memang yang paling relevan itu ya cuma Facebook, baik dari segi pengguna dan fitur teknisnya.” Yanto menjelaskan bahwa sebagian besar anggota ICJ adalah masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum punya pemahaman mendalam soal internet. “Orang kalau udah pakai Instagram atau Twitter, pasti udah paham internet. Kalau orang Facebook beda. Bisa aja mereka tahu kalau mereka Facebook-an, tapi nggak sadar kalau mereka itu lagi internet-an,” ujar Yanto.
Dari segi teknis, hanya Facebook yang memungkinkan postingan dengan kapasitas karakter huruf terbanyak. Selain itu, fitur grup di Facebook membuat semua anggotanya untuk mengunggah postingan tanpa harus lewat moderator atau admin. Posisi antara anggota dan moderator grup juga jadi lebih setara, karena semua orang bisa bebas membuat postingan, mengomentari, bahkan menghapus sendiri postingan mereka. “Kami nggak harus full power, bahkan kalau ditinggal sebenarnya sudah bisa jalan sendiri. Beda kalau fanspage kan ada channel yang harus lewat moderator,” jelas Yanto.
Di laman grup resmi mereka di Facebook, Yanto menulis sekitar 16 aturan pokok untuk bergabung di grup Info Cegatan Jogja. Beberapa di antaranya adalah dilarang membuat iklan, menyebar hoaks, memprovokasi massa, mengunggah gambar ber-hak cipta, dan lainnya.
Yang lebih canggih, ICJ juga punya metode sendiri untuk meminimalisir adanya hoaks di grup mereka. Metodenya adalah melarang anggotanya mengunggah tautan apapun ke grup. Tiap informasi yang diunggah harus hasil jepretan dan ditulis oleh orangnya sendiri. “Walaupun gaya bahasanya belum baik dan benar, bahkan jauh dari kaidah jurnalistik, tapi dengan begitu bisa memastikan bahwa dia menyaksikan kejadian itu secara langsung. Kalaupun faktanya tidak tepat, tinggal tunggu respon dari anggota lain”. Menurut Yanto, biasanya hanya butuh waktu beberapa saat sampai informasinya jadi utuh, respon untuk bantuan pun biasanya sangat cepat.
Kelokalan dalam konten ICJ membuat grup ini sangat relevan. Info-info yang dihadirkan bukan informasi yang berskala besar, bahkan mungkin justru kecil dan lokal tapi benar-benar dibutuhkan. Yanto juga menyampaikan teorinya soal ‘Informasi yang belum selesai’. “Ketika sebuah informasi sudah finish ya buat apa. Kayak misalnya ‘Inilah 10 Tempat Wisata di Yogya’, itu nggak penting. Tapi kalau ‘Eh barusan ada wisatawan kecelakaan di Yogya di daerah ini, belum ada polisi atau ambulans,’ kan itu butuh respon, itu yang penting. Kami memang cari informasi yang belum matang.”
Ketika VICE melakukan liputan untuk artikel ini, anggota ICJ korwil Bantul sedang sibuk melaksanakan program bedah rumah di kecamatan Pajangan. Yanu Antoro, kordinator lapangan untuk program ini menceritakan bahwa ini sudah kali ke-10 ICJ melakukan bedah rumah untuk warga tidak mampu.
“Ada yang nyumbang kusen kayu, genteng, tegel, pasir, semen, macem-macem lah. Arsiteknya relawan, tukang listriknya juga, kami saling mengisi sesuai kemampuan aja,” ujarnya sumringah.
Selain bedah rumah, mereka juga rutin melakukan kopi darat, bakti sosial, funding bantuan bencana alam, dan lainnya. “Kami juga sempat punya ‘Relawan Tambal Ban’, jadi kalau ada teman ban motornya bocor di jalan, kasih kabar aja di grup, nanti ada yang datang bantu,” cerita Yanto bangga.
Ditanyai soal relasi mereka dengan polisi, Yanto punya argumen menarik. Seperti media yang harus independen, ICJ juga menjaga jarak dengan kepolisian yang kabarnya pernah menawari mereka untuk kerja sama. “Daripada kerja sama, mending kami sama-sama kerja. Kalau kita kerjasama bisa dikontrol, tapi kalau bermitra kan mereka akan mikir beban tanggung jawab itu ke institusi mereka sendiri. Mereka memang memilih untuk bergerak di akar rumput, berjarak dari politik praktis yang agendanya berbunga-bunga. Skala main boleh kecil, tapi kontribusinya konkrit.
Satu hal yang sangat ditekankan oleh ICJ adalah bahwa mereka bukan golongan atau organisasi. ICJ adalah jaringan informasi, jadi segala hal yang diunggah ke grup adalah tanggung jawab pribadi setiap anggota.
Yanto sendiri mengangkat bahu ketika ditanya rencana ke depan ICJ. Mereka tak punya ambisi dan kepentingan apapun, tak ingin muluk membawa jaringan ini kemana-mana juga. Menurut Ferdhi, komunitas semacam ICJ ini harus tetap dibiarkan organik dan independen. Karena ketika mereka mulai ditarik ke ranah struktural atau teoritis, justru akan tercipta jarak dari keseharian mereka yang sudah sangat kongkrit.
“Media komunitas ideal yang selama ini dibayangkan ya kayak ICJ itu,” tutupnya. Dari semua aktivitas mereka, satu hal penting yang telah dilakukan ICJ adalah bahwa mereka meningkatkan kepekaan kita, dan mengembalikan rasa aman ketika berada di jalan raya.
“Saling membantu kan sebetulnya kewajiban yang manusiawi, tidak perlu peduli itu teman, saudara, atau bukan. Alasan membantu itu, dia manusia, saya manusia, cukup.”