Aplikasi Ini Ajak Kita Distribusikan Kekayaan Buat Pekerja Indonesia Terdampak pandemi

Bagirata Aplikasi Sumbangan Membantu Pekerja Terdampak Pandemi Corona di Indonesia

Pandemi COVID-19 masih memberikan ketidakpastian ekonomi di berbagai sektor. Kementerian Tenaga Kerja memperkirakan setidaknya 2,8 juta pekerja di sektor formal maupun informal terkena PHK atau dirumahkan tanpa gaji. Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani bilang ekonomi Indonesia berisiko minus 2,6 persen pada kuartal II jika pandemi terus berlangsung.

Pemerintah konon telah menyiapkan dana lebih dari Rp20 triliun lewat berbagai skema, untuk membantu pekerja yang terdampak. Salah satunya lewat program Kartu Prakerja, yang memberikan Rp3.5 juta buat peserta, dan BP Jamsostek yang memberikan insentif Rp2 juta.

Videos by VICE

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengkritik kebijakan tersebut, sebab jumlah yang diterima pekerja tak sesuai dengan UMR atau gaji selama mereka bekerja.

“Jumlah insentif jangan dipatok sama antar daerah. Jadi harus ditambah misalnya untuk yang Jakarta. Harus beda-beda antar daerah,” tutur Eko kepada VICE.

Belum lagi sistem pendaftaran yang tergolong ribet. Alfiendy Razdir, pekerja sektor informal yang dirumahkan di Bekasi, mengaku kesulitan mendaftar Kartu Prakerja secara daring. Sebab aplikasi tersebut selalu menampilkan ‘Maaf, layanan kami sedang mengalami gangguan.’

“Dari tanggal 11 sampai sekarang begini terus, padahal beritanya udah 4 juta orang yang daftar,” keluh Razdir.

1587021977019-Screen-Shot-2020-04-15-at-143409
Screenshot dari situs Bagirata.id

Di tengah situasi yang tak menentu ini tetap ada orang yang tergerak menebar optimisme, terutama lewat metode distribusi kekayaan. Salah satu inisiatif masyarakat tersebut adalah Bagirata.id, sebuah tool sederhana yang membagikan kekayaan secara merata ke mereka yang membutuhkan. Sekilas mirip donasi, tapi lewat tool ini, kamu bisa membantu 10 orang sekaligus.

Tool bikinan Ivy Vania dan Lody Andrian ini memang baru diluncurkan pertengahan April 2020. Tapi sejauh ini, mereka mampu membantu ratusan orang terdampak dan mendistribusikan Rp19 juta sejauh ini. Angka tersebut bertambah seiring waktu.

“Kapitalisme telah gagal,” kata Lody. “Perusahaan gagal melindungi pekerjanya.”

Terasa benar bila kata-kata Slavoj Žižek menemukan resonansi di ekonomi yang lesu akibat pandemi seperti sekarang. Pemikir asal Slovenia yang gemar menggerutu itu bilang, “Dalam situasi krisis, kita semua adalah Sosialis.”

Untuk tahu lebih lanjut cara kerja Bagirata, simak obrolan VICE bersama Ivy dan Lody berikut:

VICE Indonesia: Bagaimana inisiatif ini muncul?
Bagirata: Awalnya kami melihat kawan-kawan di sekitar kami yang terdampak. Terutama Ivy yang kerja di sektor hospitality. Dia dirumahkan tanpa gaji. Lalu kami lihat temen-temen yang justru lebih parah. Mereka yang kerja di sektor kreatif, kayak EO atau freelancers. Dari situ kami mulai coret-coret lah. Ada ga sih cara untuk membantu mereka lewat tool dan sistem yang simpel. Sifatnya partisipatori. Horizontal. Bukan top-down kayak program pemerintah.

Bagaimana kalian menentukan target penerima bantuan?
Awalnya dari komunitas terdekat. Temen-temen awalnya ngasih referensi mereka yang butuh bantuan. Sekarang sih udah lumayan luas. Ini ekosistem terbuka, jadi siapapun yang butuh bantuan bisa mendaftar. Besaran bantuan juga bisa ditentukan sendiri, misalnya Rp1 juta atau Rp5 juta, tapi maksimal mereka hanya bisa menerima bantuan buat tiga bulan ke depan.

Ada yang bilang praktik Bagirata ini seperti sosialisme. Menurut kalian bagaimana?
Secara praktik mungkin ini sosialisme. Soalnya mau mengandalkan siapa lagi? Kapitalisme udah gagal menjamin pekerjanya. Para konglomerat itu masa iya engga bisa menjamin pekerjanya? Kami udah skeptis duluan dengan cara kerja birokratis pemerintah yang kompleks, ribet. Kami percaya ini alternatif di masa sulit.

Sistem ini sederhana, tapi bagaimana cara verifikasi penerima biar enggak meleset?
Kami punya tiga metode. Pertama ini referral, jadi ada temen yang bilang ‘eh ini butuh bantuan nih.’ Jadi ini organik. Kedua kami cek media sosialnya, email, ya online background check lah. Ketiga ada validasi dari pengirim dana. Jadi pengirim dana juga bisa melihat siapa sih yang mereka bantu.

Gimana seharusnya pemerintah bergerak?
Jujur aja kami enggak bisa mengharapkan pemerintah kalau caranya masih birokratis. Kadang mereka enggak realistis dan kurang praktikal juga. Mereka juga enggak menerapkan kebijakan berdasarkan fakta lapangan. Misalnya, berapa juta mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemudian definisi ‘di bawah garis kemiskinan’ itu juga kadang enggak sesuai. Pekerja buruh bisa jadi juga tergolong miskin, tapi enggak masuk bantuan misalnya. Jadi lebih berdasarkan pada fakta saja harapannya.

Apakah platform bagirata diterskan ketika pandemi berakhir?
Kami belum melihat ke arah sana. Tapi mungkin iya kali ya, bisa dipakai seterusnya. Pada dasarnya kan kami bikin ini karena tahun 2020 ini udah absurd banget. Awal tahun udah banjir gede, kemudian dihajar coronavirus.

Sistem Bagirata ini kan open-source, jadi bisa kerjasama dengan organisasi non-profit lainnya. Jadi bisa sustainable. Tampilan dan cara kerjanya juga simpel. Mungkin itu yang akan kami pertahankan. Rencananya akan kami kembangkan biar semuanya terautomatisasi. Soalnya selama ini kan masih manual.