Bahaya Kapitalisme: Bisnis Game Activision Cetak Rekor Laba, Tapi 800 Karyawannya Dipecat

Beeld van Activision Blizzard

“Meski pendapatan perusahaan pada 2018 merupakan yang terbaik sepanjang sejarah, kami masih belum mencapai potensi maksimal dalam pengembangan usaha.” — CEO Activision Blizzard Bobby Kotick, yang sering dijuluki “Moneyball”

Activision Blizzard, perusahaan dengan lebih dari 9.000 karyawan yang menciptakan berbagai game terpopuler di dunia—seperti seri Call of Duty atau World of Warcraft—melakukan kebijakan kontradiktif awal 2019. Perusahaan ini sesumbar berhasil “memecahkan rekor profit” ketika meraih pemasukan sebesar US$2,4 miliar (setara Rp 33,8 triliun) tahun lalu. Nyatanya rekor itu oleh direksi dianggap mengecewakan. Apa yang dilakukan Activision Blizzard? Memecat 800 karyawannya, atau setara 8 persen dari total pekerjanya.

Ironinya menganga. Ini perusahaan game yang membayar bonus perekrutan sebesar US$15 juta (Rp211 miliar) dan gaji US$900.000 (Rp12 miliar) per tahun kepada eksekutif yang baru bergabung dengan Activision bulan lalu. Di saat bersamaan, mereka mendepak karyawan dengan gaji tak seberapa.

Videos by VICE

Bayangkan, ada 800 orang akan kehilangan pekerjaannnya bukan karena perusahaan merugi. Mereka itu 800 orang yang tiba-tiba menghadapi masa depan penuh ketidakpastian, bertanya-tanya berapa lama pesangon dan asuransi kesehatan bisa bertahan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sebelum mereka mendapat pekerjaan baru. Bobby Kotick, sang CEO, jelas tidak masuk ke daftar 800 orang tadi; dia tentunya masih bisa tidur nyenyak.

Activision Blizzard, layaknya perusahaan-perusahaan lain di dunia, tidak berani mengakui kenyataan pahit di era startup. Mereka tanpa ragu menghancurkan lahan penghidupan banyak orang demi mengejar pendapatan maksimal dan pertumbuhan tanpa akhir. Semua dilakukan demi melayani pemodalnya, kaum super kaya. Caranya adalah mengorbankan kelas bawah yang mudah dieksploitasi dan tidak memiliki kekuasaan.

Hal yang mereka lakukan tidak layak lagi disebut “restrukturisasi.” Target pertumbuhan perusahaan, seperti yang dibayangkan para pemodal ventura di banyak startup, takkan ada akhirnya. Tahun ini meraih laba? Berarti tahun depan profit wajib lebih besar lagi. Bagi petinggi Activision Blizzard, merilis video game hanya sarana untuk mencapai tujuan jadi lebih kaya. Tidak kurang, tidak lebih.

Seperti kebanyakan pekerja di industri kreatif, buruh di Activision Blizzard tidak berserikat. Serikat pekerja harus diakui bukan solusi terbaik. Serikat tidak bisa menghentikan pemecatan, dan tidak bisa tiba-tiba mengubah kapitalisme menjadi sosialisme. Namun, bukan berarti serikat tidak pantas diupayakan. Sebab, adanya serikat menegaskan bahwa memang ada perbedaan antara antara majikan dan karyawan, yang mengganggu kekuasaan. Mau suasana kerja seegaliter apapun di banyak startup, karyawan tetaplah buruh. Mereka harus punya posisi tawar menghadapi manajemen.

Baru-baru ini, tim redaksi VICE, tempat saya bekerja, menegosiasikan kontrak serikat pekerja baru dengan manajemen. Kami berhasil menuntut skema pesangon lebih tinggi. Tahun lalu kami sudah mencium gelagat akan ada PHK. Ternyata kami benar—250 rekan kerja kami dari berbagai kantor VICE di seluruh dunia kena PHK awal Februari 2019. Serikat pekerja VICE gagal menyelamatkan status teman-teman itu sebagai karyawan, tetapi kami berhasil meningkatkan paket pesangon yang menjamin mereka tidak langsung terlunta-lunta, setelah diperlakukan semena-mena oleh manajemen.

Bagaimanapun, tak ada orang gembira kena PHK. Asuransi kesehatan hilang. Tak ada lagi gaji bulanan. Stres sehari-hari. Bahkan kalau orang yang dipecat hari ini berhasil mencari pekerjaan baru, hidup mereka tetap terganggu. Bagaimana jika pekerjaan baru ini adanya di provinsi lain? Di negara lain?

Jika dia sudah punya anak, bagaimana caranya memberitahu keluarga kalau mereka terpaksa mencari sekolah baru, mengganggu kehidupan sosial anak, hanya karena para pemegang saham belum puas dengan pendapatan 2 miliar, dan maunya 3 miliar? Itu semua bukan sekedar persoalan kecil—PHK memicu trauma.

Pada saat menulis artikel ini, saya melihat pasar saham menanggapi keputusan Activision Blizzard memutus kontrak 800 karyawannya. Nilai saham perusahaan game ini naik 4 persen. Investor di bursa jelas gembira. PHK artinya efisiensi ongkos. Lebih banyak profit untuk pemegang saham. Bodo amat sama nasib karyawan. Supaya lebih jelas, lihat saja nih neraca keuangan mereka:

Jadi, makan tuh kapitalisme!

Follow Patrick di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di Waypoint—situs bagian dari VICE.com mengulas game dan industri kreatif