News

Bangladesh Punya Madrasah Pertama Khusus Transpuan

Para murid belajar iqra di madrasah khusus transpuan di Dhaka, Bangladesh. Semua foto oleh Abdul Goni.

Dengan selendang yang menutupi kepala, Bithi Hijra tekun membaca iqra bersama dua lusin transpuan lainnya.

“Kami sudah bisa membaca dan melafalkan bahasa Arab, salat lima waktu, dan berwudhu dengan benar,” Bithi memberi tahu VICE World News. Dia duduk di teras gedung tujuh lantai Dawatul Koran Third Gender Madrassa, yang merupakan sekolah agama Islam pertama untuk komunitas transgender di negara konservatif Bangladesh.

Videos by VICE

Hijra adalah sebutan untuk transpuan di Asia Selatan. Berperan penting dalam budaya Bangladesh, mereka sering diundang ke pesta pernikahan dan syukuran kelahiran anak untuk memberkati yang punya hajat. Banyak transpuan mencari penghasilan dari acara semacam itu.

Akan tetapi, sementara keberadaan mereka dianggap membawa keberuntungan, hijra kerap mengalami diskriminasi karena mengenakan pakaian perempuan. Tak sedikit pula yang menjadi pekerja seks untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dua transpuan belajar iqra
Hijra menggunakan gender ketiga. Mereka berhak mengikuti pemilihan suara, tapi masih mendapat diskriminasi.

Didanai swasta sejak November 2020, madrasah ini tidak memungut biaya sepeser pun. Ada lebih dari 150 transpuan yang belajar agama di sana.

“Inisiatif yang sangat bagus untuk kami. Tak pernah terbayangkan sebelumnya [bisa bersekolah seperti ini]. Kami berharap bisa belajar Quran dan menjunjung tinggi nilai-nilainya sampai menutup usia,” tutur Bithi yang sarjana ekonomi. Transpuan yang berusia 30-an itu dulunya berkarier sebagai konselor untuk organisasi nirlaba di Dhaka. Dia sudah berhenti kerja akibat diskriminasi gaji dan pelecehan yang menimpanya di kantor.

Dia kabur dari rumah di distrik Barisal, Bangladesh selatan, lebih dari 10 tahun lalu, setelah kakaknya batal nikah karena orientasi seksual Bithi. Dia sempat ingin bunuh diri, tapi untungnya dia selamat.

Sekarang Bithi tinggal bersama sejumlah transpuan di Dhaka. Mereka mengais rezeki dengan tampil di acara-acara di ibu kota.

“Setiap orang pasti akan mati. Selama kita terlahir sebagai orang Muslim, kita harus memiliki bekal agama,” ujar seniornya, Mitu Hijra. 

Transpuan membuka iqra
Pihak sekolah awalnya tak yakin komunitas transgender mau belajar di tempat mereka.

Pemerintah memperkirakan ada sekitar 10.000 hijra di Bangladesh, dan mengakui mereka sebagai gender ketiga.

“Sebagian besar orang transgender [di Bangladesh] adalah Muslim, tapi mereka tidak taat agama. Kami hanya berharap mereka bisa kembali [ke Islam],” guru bernama Shamsul Hoque mengatakan penuh harap.

Studi, yang dilakukan oleh organisasi nirlaba Bandhu Social Welfare Society, menjelaskan pendidikan agama sangat penting bagi kesejahteraan mereka.

Ohidul Islam Parboti, wakil ketua organisasi Sustha Jibon [secara harfiah berarti hidup sehat] yang memperjuangkan hak-hak transgender, yakin persepsi publik terhadap hijra bisa berubah setelah melihat mereka mendalami agama. “Ini akan membuka jalan bagi inklusi sosial,” terangnya. “Agama akan menyembuhkan luka kami dan membawa kedamaian batin.”

Maulana Mufti Abdur Rahman Azad selaku pendiri mengungkapkan, sudah ada delapan madrasah yang didirikan dalam tiga bulan terakhir. “Ide ini semakin populer karena jam sekolahnya fleksibel dan bebas biaya.”

Meski para transpuan ini senang belajar agama, kesulitan mencari pekerjaan terus menjadi masalah utama yang membebani pikiran mereka. “Apa gunanya pelajaran agama Islam kalau saya masih kelaparan?” tanya Bithi. “Kami takut kehilangan pendapatan.”

Azad berencana mengembangkan kurikulum sekolah supaya murid bisa menerima pelatihan kejuruan. 

Mitu Hijra, anggota senior di komunitas transgender Dhaka
Mitu Hijra, anggota senior di komunitas transgender Dhaka.

Ketika dihubungi VICE World News, pihak Departemen Layanan Sosial dan Komnas HAM Bangladesh mengaku belum pernah dengar tentang madrasah ini.

Md Shah Jahan menjabat sebagai wakil direktur Departemen Layanan Sosial yang bertanggung jawab membuat kebijakan dan program kesejahteraan bagi masyarakat terpinggirkan. Dia berujar sejauh pengalamannya, hijra malas mencari pekerjaan. “Mereka lebih suka memeras orang,” tukasnya.

Setiap bulan, transpuan di Bangladesh menerima tunjangan tujuh dolar (Rp98 ribu) saja. Jahan mengakui jumlahnya sangat sedikit.

Kepada VICE, seorang mentor dari komunitas transgender membeberkan banyak organisasi memberi mereka pekerjaan untuk mengesankan para donor, tapi hilang kontak begitu saja setelah proyeknya selesai.

“Seharusnya ada perencanaan yang tepat untuk kami,” dia menyimpulkan.

Follow Muktadir Rashid di Twitter.