Banyak Orang Irasional, Merasa Susah Lari Tanpa Sepatu Kesayangan

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Ayah saya mulai enggak sabar.

Videos by VICE

“Ayo, kita harus segera berangkat. Nanti telat nih!”

Sebelum ikutan maraton Summerfest Rock ‘n Sole Half di Milwaukee, saya agak lama siap-siap. Biang keroknya karena ritual yang biasa saya lakukan sebelum lari. Saya waktu itu masih ada di kamar, mempersiapkan kaki supaya siap diajak lari puluhan kilometer. Saya pakai Tiger Balm, semacam balsem yang panas banget. Setelah selesai mengoleskan Tiger Balm, celana dalam keberuntungan jangan sampai lupa. Lalu kaos kaki, anting, dan celana spandex sudah dipakai. Baiklah, saya siap lari jauh.

Aduh, ternyata masih ada yang kelupaan. Saya lupa satu barang penting yang harus ada sebelum saya lari. Barang ini sudah jadi saksi bisu pengalaman-pengalaman saya sejak pertama kali terjun ke dunia lari ini. Barang keramat itu adalah sepatu lari Nike Pegasus. Saya biasa menjulukinya: “the Pegs”.

Kamu pikir saya rada gila ya? Saya nganggep sepatu lari seperti teman lama, dan sepatu itu seperti punya kehidupan. Tapi saya enggak sendiri, saya bagian dari golongan pelari yang sangat terikat ke satu sepatu tertentu. Di sepatu itu ada keringat, darah, jarak yang sudah kami lalu saat berlari, juga perasaan-perasaan waktu capek ataupun senang saat sukses melewati garis finis. Perasaan ini lebih dari sekedar sayang sama satu barang.

Buat pelari marathon asal New York Alysia Dusseau, sepatu keramatnya itu New Balance 1500s. Dia benar-benar terikat sama sepatu ini, sampai-sampai dia harus bawa sepatu itu ke manapun dia pergi. Dia bahkan harus pakai sepatu itu seenggaknya selama setengah durasi marathon. Dalam pikirannya, hanya dengan begitu kamu bisa meraih prestasi kalau ikut maraton buat menang.

Menemukan sepasang sepatu lari yang pas buat kaki ibaratnya menemukan belahan jiwa kita. Apalagi kalau sepatunya sudah dipakai beberapa kali, dan ujung-ujung kaki kita sudah pas banget di sepatu itu. Setiap kali kamu pasang sepatu lari favorit tersebut, kamu tahu sebentar lagi kamu bakalan mendengar suara yang familiar antara sol karet dan aspal. Begitu ini sudah kamu alami, susah buat enggak ngerasa terikat sama sepatu larinya. Soalnya sepatu lari seringkali berhenti diproduksi sama pabrik. Alasannya produsen sepatu olahraga selalu berusaha melakukan inovasi atas produk-produk mereka.

“Kalau sepatu larinya berhenti diproduksi, saya pasti panik. Mungkin langsung nimbun sepatu itu sebanyak mungkin,” kata Emma Hatch, seorang atlet lari di kampus. Alasannya menimbun sepatu favorit benar-benar tidak masuk akal. “Bagaimanapun akhirnya saya harus move on dan mulai tanya-tanya sepatu lari apa yang bagus sekarang ini.” katanya.

Saya bisa mengerti kenapa Hatch enggak tertarik mengganti sepatu larinya dari merek Saucony Kinvaras. Soalnya hubungan antara pelari sama sepatu favoritnya sulit diputus begitu saja.

Tenyata ada penjelasan ilmiah di balik keterikatan kita sama sepatu tertentu. Lee Igel, guru besar ilmu olahraga di NYU Tisch Institute of Sports, menjelaskan bagaimana otak manusia bisa menciptakan hubungan emonional dengan sepatu olahraga. “Sebagai manusia, kita selalu tetarik sama kepercayaan tertentu dan tradisi,” kata Igel. “Sepatu dan lari sebetulnya biasa saja, tapi otak kita bisa menambahkan pikiran-pikiran tertentu mengenai sesuatu yang biasa itu.”

Kita mendapat begitu banyak informasi dan gangguan yang bisa mengalihkan fokus dari apa yang sedang kita kerjakan, misalnya berlari, tapi berlari dengan sepatu selalu sama, hampir setiap hari, memang dapat membantu orang tetap fokus ketika berlari. “Miriplah kayak konsep selimut favorit waktu kita masih anak-anak,” kata Igel. “Perasaannya sama ketika kita sudah terikat dengan sepatu olahraga yang biasa kita pakai.”

Seiring berjalannya waktu, kita jadi makin nyaman dengan sepatu lari yang kita punya, dan akhirnya banyak pengalaman yang kita lewati bersama sepatu itu. Selain itu, komunitas yang kita ikuti, seperti komunitas pelari di wilayah tertentu, juga mempengaruhi hubungan pelari dengan sepatunya. Komunitas pelari yang kita ikuti memiliki pengaruh besar soal pilihan sepatu lari kita.

“Kegiatan lari sebenarnya hal yang bisa dikerjakan sendirian, tapi komunitas pelari punya pengaruh yang besar terhadap para anggota, dan peralatan yang mereka punya,” kata Igel. “Rute larinya belum tentu sama, tapi seseorang suka untuk berada di antara orang-orang yang hobinya sama. Kebiasaan begini mempengaruhi orang jadi saling besosialisasi.”

Misalnya, waktu saya dengar tentang sepatu lari yang baru keluar dan pernah dipakai oleh pelari terkenal buat memecahkan satu rekor, hal pertama yang ada di kepala saya adalah langsung mau coba sepatu itu. Tapi kemudian saya sadar kalau sebentar lagi bakalan ada Marathon dekat rumah, dan saya enggak mau pakai sepatu baru buat lomba lari ini karena alasan yang disinggung sebelumnya sama Igel. Bagaimana mungkin saya mau nuker sepatu lama di hari H, padahal sepatu itu sudah menemani saya waktu latihan?

Gara-gara itu, saya mulai merenungi hubungan pelari dan sepatunya. Berapa banyak pelari yang merasa kecewa waktu dengar kabar kalau sepatu mereka sudah berhenti diproduksi di pabrik. Karena penasaran, saya menghubungi Claire Wood, manager strategi bisnis buat pemasaran global Sepatu New Balance. Saya ingin mencari tahu seberapa banyak pelari yang mengeluh waktu sepatu kesukaan mereka berhenti diproduksi. “Kami tidak mengubah produk karena semau sendiri,” katanya.

“Waktu kami dengar komplain mengenai sepatu yang berhenti diproduksi, kami segera memberikan rekomendasi produk baru kami, ” tambahnya. “Sudah bukan rahasia bahwa pelari adalah orang yang paling tahu tentang sepatu yang mereka pakai. Entah kamu baru mulai jadi pelari, atau sudah atlet level Olimpiade, ketahuilah bahwa kami berhenti produksi satu produk berarti tujuannya inovasi ke arah yang lebih baik. Di kemudian hari, pasti ada sepatu lain yang bisa jadi sepatu favorit kamu.”

Apa yang akan dilakukan oleh pelari yang punya hubungan khusus dengan sepatu larinya ketika dapet kabar kalau sepatu itu berhenti diproduksi? Igel, yang sudah berpengalaman di bidang pengobatan bidang olahraga dan pengembangan pemain, pernah membantu banyak atlet terkenal dan selebriti untuk tetap berada di puncak performa mereka dan enggak terlalu tergantung alat-alat yang mereka biasanya pakai.

Dia bilang, para atlet itu juga tahu kalau sepatu tertentu enggak bikin prestasi mereka terjaga. Tapi seenggaknya mereka mendapat sugesti begitu. Kamu harus berpikir bahwa sepatu itu hanya sebuah barang, jadi seharusnya enggak berdampak buat stamina, skill, dan sebagainya. Enggak mudah buat meyakinkan olahragawan tentang hal itu. Dan biasanya butuh waktu yang lama kalau atletnya sangat terikat sama peralatan yang biasa dia pakai.”

Masih ada harapan kalau sepatu lari yang biasa kamu pakai berhenti diproduksi : mungkin modelnya enggak dihilangkan tapi cuma ditambah fiturnya. Coba tanya-tanya ke toko sepatu yang biasa kamu kunjungi. Mungkin malah sepatu model terbaru bisa memberikan rasa nyaman waktu lari lebih dari sepatu lama kamu.

Sebelum semua itu terjadi, jangan lupa buat pasang tali sepatu kamu yang erat sebelum mulai lari. Jangan lupa buat bikin simpul talinya dua kali. Enggak cuma buat keamanan atau apa sih. Soalnya itu cuma salah satu kebiasaan saya aja.