Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.
Mudah sekali menyebut orang-orang brengsek sebagai narsis. Sebagian besar pembaca kita dapat bersimpati pada sebuah penelitian yang saya laporkan tahun lalu, yang menemukan bahwa orang narsis dan psikopat senang menjalin pertemanan dengan mantan mereka. Para ilmuwan yang berani di balik penelitian itu membantu orang-orang seperti kita dalam memahami alasan mantan kita terus-terusan nelepon—tapi bagaimana kalau masalahnya bukan orang lain?
Videos by VICE
Gimana kalau yang narsis itu kamu?
Para penulis di Broadly tidak jarang menyalahkan diri sendiri atas hal-hal bodoh seperti self-absorption—kami semua terlalu trauma akan pengingat sehari-hari bahwa kita hidup di bawah pemerintahan jahat yang dipimpin oleh… orang narsis. Lihat aja Donald Trump, hehehe. Makanya saya mengirim email ke Dr. Tony Ferretti, ahli narsisisme yang saya wawancarai tahun lalu. Saya telah bertanya pada dia soal orang-orang lain yang narsis—tapi bagaimana dengan diri kita sendiri? Apakah mungkin bahwa kita sebenarnya orang narsis, tapi tidak menyadarinya?
“Para peneliti menemukan cukup data kalau mereka bisa mengidentifikasi orang-orang narsis hanya dengan bertanya apakah mereka memandang diri sendiri sebagai orang narsis,” tulis Ferreti dalam surel balasannya. “Ironisnya, orang-orang narsis hampir bangga akan sifat ini dan tidak memandangnya sebagai kualitas negatif.”
“Meski demikian,” ujar Ferretti, “banyak orang narsis sangat narsis sampai-sampai mereka tidak sadar akan masalah mereka sendiri.” “Berdasarkan pengalaman saya,” ujarnya, “orang lain biasanya sudah menyatakan bahwa seseorang narsis, sebelum orang itu menyadarinya sendiri.”
Ada perbedaan antara orang narsis yang patalogis dan seseorang yang memiliki sifat-sifat narsis. “Saat ini hanya ada dua persen populasi yang mengidap narsisisme patologis,” jelas Ferretti, menawarkan padangan yang optimis. “Dalam kadar yang modoerat, sifat-sifat narsis bisa bermanfaat dalam pekerjaan.” Biasanya, narsisisme bisa jadi hal baik kalau hal tersebut bersifat “adaptif,” menurut Ferretti. Misalnya, rasa percaya diri, sampai kemampuan untuk menghadapi tuntutan kehidupan sehari-hari. Semua itu merupakan sifat positif—meski juga punya kesamaan dengan sifat narsis.
“Orang narsis masih bisa berubah sampai titik tertentu, namun untuk sampai ke sana membutuhkan upaya, keinginan yang kuat, dan komitmen.”
Sebagai awalan, jika kamu orang yang narsis namun ingin berhenti punya sifat kayak gitu, cobalah “kurangi berbicara dan perbanyak mendengar.” Saran kayak gini sih sebetulnya bagus untuk semua laki-laki. Kalau kamu orang narsis, kamu mungkin perlu menemukan seseorang yang tidak dibutakan obsesi diri, dan empati yang rendah. Jadi, pasanganmu bisa berperan sebagai pemandu moral supaya kamu bisa balik lebih manusiawi.
“Temukan seseorang dengan akuntabilitas dan dengan integritas dan standar moral yang tinggi yang juga menghargai hubungan asmara dibandingkan kesuksesan,” ujar Ferretti. “Diperlukan seseorang yang akan menegurmu dan yang sarannya kamu hargai.” Kamu juga bisa mencari konseling, atau bergabung kelompok dukungan.
“Orang narsis bisa menjadi orang yang tak terlalu berpusat pada diri ketika mereka menolong orang lain,” ujar Ferretti. “Mereka bisa mengambil pelajaran dari kesederhanaan, kasih sayang, dan empati. Satu cara untuk meraih ini adalah dengan menjadi relawan dan beranjak dari orang yang egois menjadi melayani orang lain.”
Untuk orang-orang narsis yang suka mengabadikan persona onlinenya, mungkin perlu untuk “membatasi jumlah postingan, selfie, dan aktivitas online pada umumnya,” untuk meredakan tendensi mereka. “Berhenti ngepost segala hal yang kamu lakukan dan batasi kehadiran media sosialmu,” ujar Ferretti. Dia menyarankan supaya orang-orang “melihat dan memposting di media sosial hanya satu jam sehari.” Dan ketika orang-orang narsis menggunakan media sosial, Ferretti menyarankan mereka “mencoba memposting hal-hal yang menjadikan orang lain pahlawannya alih-alih berfokus pada diri sendiri.” Hal ini menuntutmu untuk “berhenti menggunakan media sosial untuk menyombong.”
Daripada manyun di Instagram, Ferretti menyarankan agar kita, “memfokuskan perhatian pada orang lain dan menelepon kawan atau keluarga untuk menanyakan kabar mereka.”
Masukan Dr. Ferretti mungkin terdengar mengganggu bagi orang-orang yang tidak pernah menganggap diri mereka orang narsis sampai membaca artikel ini—tapi gak apa-apa. Setidaknya ada kemungkinan kita bisa berubah “sampai titik tertentu.” Kalau kamu masih bingung caranya jadi orang normal yang gak melulu berpusat pada diri sendiri, Ferretti menyarankan agar kita “bertanya pada orang-orang yang kita sayangi soal apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka, alih-alih memusatkan segala perhatian pada diri sendiri.