Begini Pengalamanku Hidup di Indonesia Sebagai Orang Kulit Hitam

Ryan Haughton, warga Kanada yang merefleksikan rasanya jadi kulit hitam di Indonesia

Aku sedang menunggu pesanan bir Bintang di bar datang, sambil merokok camel white dan menggumamkan lirik lagu baru Drake, ketika laki-laki di sebelahku menyapa.

“Kamu dari Compton, ya?”

Videos by VICE

Aku berkulit hitam, dan bukan pertama kalinya aku mendapat pertanyaan spesifik macam itu selama tinggal di Indonesia.

Dulu aku sempat cemas sebelum memutuskan pindah ke negara kepulauan yang padat penduduk ini. Indonesia adalah negara Asia pertama yang aku kunjungi. Penduduk benua ini, sekalipun citranya ramah, terkenal atas perlakuan buruknya terhadap orang-orang yang warna kulitnya hitam legam. Luangkan waktu sejenak browsing di Google. Kamu pasti menemukan banyak sekali berita tentang bagaimana rata-rata orang Asia suka menghakimi orang berkulit hitam.

Misalnya, penggunaan wajah hitam untuk olok-olok dalam iklan rasis di Malaysia atau penolakan induk semang kos ketika penyewanya berkulit gelap yang sering terjadi di Yogyakarta. Kedua contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus lainnya yang tak terhingga. Aku takut, tapi akhirnya aku tetap pindah ke Indonesia. Aku cuma bisa mempersiapkan mental menghadapi berbagai rasisme yang mungkin akan menimpaku suatu saat.

Setibanya di sini, aku benar-benar tidak menyangka. Ternyata orang-orang di Jakarta menerima kehadiranku dengan cukup baik. Orang-orang di jalanan sering menyapaku setiap aku pulang dari kantor di bilangan SCBD. Tukang ojek bahkan suka mengajakku tos. Aku juga mendapat banyak undangan pernikahan selama tinggal di sini.

Tiap ada orang tahu aku asal Kanada, mereka pasti melontarkan pujian kepada Justin Trudeau, perdana menteri yang sekarang menjabat. Meski demikian, aku selalu memperingatkan diri sendiri kalau aku berbeda dari orang-orang di sekitarku. Kenyataan ini tak sama seperti kehidupanku di Kota Toronto.


Tonton dokumenter VICE merekam detail perploncoan mematikan untuk jadi anggota geng paling berbahaya di AS:


Nyatanya, aku memang tetap jadi perhatian banyak orang. Aku agak kesal setiap ada orang yang memandang atau menunjuk ke arahku, terutama ketika niat mereka mengajak foto. Rasanya seperti artis tapi tak terkenal dan boro-boro kaya, karena enggak dapat duit karena sering diajak foto. Di Jakarta, aku sering jadi sasaran ledekan anak bocah, sekaligus dapat kekaguman tulus dari warga setempat. Aku bahkan pernah disuruh menjelaskan kenapa orang berkulit hitam punya penis besar.

Kalau liburan ke bagian timur Indonesia yang penuh pantai indah, warna kulitku yang berbeda sontak menarik perhatian orang lokal. “Mister? Boleh foto, Mister?” tanya mereka. Ada juga orang yang asal duduk di sampingku dan mulai berswafoto. Mereka akan mendekatkan tubuhnya kalau aku hanya menampilkan setengah muka di kamera. Ini menunjukkan mereka memang mau berfoto denganku.

Seumur-umur aku belum pernah merasa jadi obyek kekaguman kayak begini. Seperti rekan-rekanku yang keturunan Eropa atau berkulit putih, aku masih menikmati hak istimewa dan kebaikan yang jarang didapat orang-orang berkulit gelap sepertiku.

Aku selalu dianggap “orang penting” ketika memesan kopi dalam bahasa Inggris, makan di restoran di Senopati bareng ekspat bule lainnya, atau menghadiri konferensi sebagai konsultan pembangunan. Mereka tetap menampakkan ekspresi kagum dan hormat sekalipun saat aku berpakaian ala kadarnya dan membeli makanan di warteg Tanah Abang.

Tentu tak semua orang berkulit hitam mendapat perlakuan seperti yang kuterima di Indonesia. Adelaide salah satu contohnya. Perempuan asal Mozambik ini sehari-harinya berprofesi sebagai juru masak dan PRT di rumah keluarga diplomat, kawasan Jakarta Selatan. Dia awalnya datang ke Indonesia hanya untuk menjenguk saudara perempuannya. Akan tetapi, dia akhirnya memutuskan pindah karena “hidupnya lebih baik di sini.” Walaupun lebih baik, dia mengaku sering mendapat perlakuan rasis dari orang lain.

“Aku pernah bertengkar dengan teman orang sini. Dia mengancam akan menyuruh orang imigrasi mendeportasiku karena aku berkulit hitam,” katanya. “Ada orang yang pernah meludahiku di jalanan. Aku bahkan sering dilayani paling terakhir di kafe. Baristanya membiarkan saja saat antrianku disela pengunjung lain.”

1551165661691-image2
Adelaide, perempuan asal Mozambik yang kini tinggal di Jaksel. Foto oleh penulis

Kebanyakan orang mungkin akan memakluminya sebagai ketidaktahuan belaka. Beberapa bahkan berujar ada penduduk Jakarta yang seperti itu karena tidak terbiasa dengan budaya lain. Aku rasa ini tidak masuk akal, karena kota-kota besar seperti Jakarta dipenuhi oleh orang dari berbagai latar belakang budaya. Apalagi, kita bisa lihat sendiri, aku diperlakukan baik kok.

Adelaide bukan satu-satunya yang mengalami rasisme karena warna kulitnya di Indonesia. Ada teman yang memperkenalkanku ke Sulayman, mahasiswa internasional asal Gambia yang mendapat beasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Ciputat, Tangerang Selatan. Keputusannya pindah ke Indonesia membuat perasaannya campur aduk. Dia tak punya pengalaman sebaik yang kualami.

“Aku pernah minta tolong teman sekelas buat matiin proyektor. Setelah memanggil namanya beberapa kali, dia menyahut ‘Mau apa lu anjing!’” katanya. “Kamar kosanku juga pernah kemalingan. Aku lalu mendapat SMS yang berisi ancaman. Mereka bilang akan membunuhku kalau aku tidak pulang ke negaraku.”

Perilaku rasisme yang tadinya kukira biasa-biasa saja ternyata jauh lebih rumit. Ada perbedaan yang jelas antara sikap mereka kepadaku dengan orang berkulit hitam lainnya. Bisa dibilang ini mirip seperti teori“invisible knapsack”-nya Peggy McIntosh. Aku sadar kalau aku memiliki banyak keuntungan di Indonesia, sehingga aku terbebas dari rasisme. Hak istimewa yang kudapat membuat hidupku jauh lebih mudah, tak seperti orang berkulit hitam di tempat lain.

Posisiku menarik, mengingat orang-orang Indonesia, terutama kelas menengah perkotaan, sangat menikmati budaya Afrika-Amerika. Saking populernya film Black Panther, kostum T’Challa ngetren jadi baju koko menjelang lebaran. Musisi Afrika-Amerika juga sering manggung di sini. Kamu bahkan tidak perlu susah payah mencari kelab yang mengadakan party tema hip-hop. Mereka menganggap budaya Afrika-Amerika keren. Sayangnya, di sisi lain, banyak orang Indonesia masih memandang hina sebagian orang yang mewakili budaya kulit hitam secara keseluruhan.

Aku sadar bisa memperoleh berbagai hak istimewa, karena aku seperti orang kulit hitam yang biasa orang Indonesia lihat di media. Aku juga berasal dari negara yang mayoritas penduduknya berkulit putih. Tak peduli kamu imigran atau ekspatriat, menurutku kamu lebih cepat diterima di Indonesia kalau kamu cocok dengan standar ideal tertentu.

Teman-temanku di Jakarta menyebutnya sebagai keuntungan para bule. Aku menganggap ini semua tantangan menjadi “agak bule” di Indonesia.

Ryan Haughton adalah penulis lepas. Follow dia di Instagram.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.