Tubuhku termasuk #bodygoals di Instagram, tapi kenyataannya jauh dari itu. Sebagai gadis remaja yang tumbuh di lingkungan konservatif Singapura, aku sering menerima tatapan aneh karena payudara ukuran 32DD ini. Aku terlahir seperti ini bukan karena kemauanku, tapi orang-orang tetap saja mengomentari tubuhku.
Aku mulai pakai miniset saat berusia 10, dan sudah enggak bisa memakainya lagi ketika aku 12 tahun. Suatu hari, Gugu (tante) menghadiahkanku bralette, tapi sayangnya kekecilan dan terlalu menerawang. Aku akhirnya tukaran sama kakak yang dikasih ukuran lebih besar.
Videos by VICE
“Lho, biasanya kan ukuran adik lebih kecil daripada kakaknya,” Gugu bergurau.
Dari situlah aku merasakan betapa enggak enaknya jadi “cewek beruntung”.
Aku baru menyadari betapa berbedanya tubuhku saat belanja bra bareng ibu di mal. Waktu itu aku masih kelas delapan. Penjaga toko mengukur dadaku, dan hasilnya menunjukkan “34C”. Setelah mencoba beberapa, aku memilih bra yang menutupi payudara. Walaupun rasanya nyaman memakai bra sesuai ukuran, aku merasa risi punya dada yang lebih besar dari perempuan seumuran. Aku berharap enggak tumbuh lagi, tapi yah… harapan hanya tinggal harapan.
Ketika umurku beranjak 15 tahun, aku ganti bra jadi cup D. Bentuk tubuh yang terus berubah membuatku makin risi. Teman sekelas juga menyadarinya. Dadaku tampak menonjol saat mengenakan seragam. Aku kaget bukan kepalang dipanggil “toket gede” sama seorang murid cowok ketika berpapasan. Aku langsung lapor ke guru BK.
Bukannya menenangkan, pak guru malah diam saja sambil melotot ke arahku. Canggung sekali rasanya ngomongin ini ke lelaki yang lebih tua, dan sikapnya yang diam saja membuat situasi tambah enggak enak. Mungkin guru BK enggak terang-terangan menyalahkanku, tapi reaksinya menunjukkan kalau aku seharusnya malu sudah melapor.
Menyadari orang-orang bisa seenaknya meledek tubuhku, aku akhirnya pakai bra yang bisa membuat dada kelihatan lebih kecil. Aku selalu pakai kaus berkerah tinggi.
Aku enggak bisa pakai dress kemben atau kamisol leher rendah kayak teman-teman cewek lainnya. Kalau aku berpakaian terbuka, orang-orang akan memanggilku “cewek murahan” atau “perek”.
Orang terdekat juga sama saja. Saat pesta prom, aku mengenakan dress ketat dengan garis leher sweetheart. Ibu menyuruhku pakai selendang saat mau berangkat. Aku baru sadar apa maksud sebenarnya di pesta dansa, setelah menyaksikan teman-teman mengenakan dress belahan rendah. Aku harus “menutup belahan dada” yang mengintip dari dress.
Aku sadar ada yang salah dari foto di atas, dan akan terus menghadapi orang-orang yang memandangku sebagai objek seks karena memiliki bentuk tubuh ini. Mereka bilang aku harus “berpakaian sopan”, makanya aku menumpuk tank top dengan kaus dan menutupi dada pakai selendang. Aku baru bisa keluar rumah pakai slip dress kalau sudah ditambah jaket. Ibu yang konservatif dan asal Indonesia enggak akan mengizinkan aku bepergian dengan dress terbuka. Pasti ibu akan bilang, “pakai kaus ini saja”. Aku enggak jarang ganti baju dengan pakaian yang aku suka di toilet. Aku malu karena enggak bisa menjadi diri sendiri. Aku ingin lebih percaya diri dengan tubuh ini, tapi enggak bisa karena dadaku terlalu vulgar untuk orang lain.
Begitu menginjak 21 tahun, dan setelah empat tahun tinggal di Los Angeles, aku memutuskan berhenti hidup seperti ini. Menyaksikan cara berpakaian perempuan di sana, aku meyakinkan diri sendiri “persetan dengan budaya patriarki yang membatasi gaya”. Sekarang aku berpakaian karena suka bajunya, bukan karena disuruh sopan.
Memangnya salah kalau aku ingin merasa seksi kayak yang lain?
Berkat Instagram, aku bisa lebih mencintai diriku sendiri. Aku mencari inspirasi dengan melihat-lihat foto perempuan yang bentuk tubuhnya mirip. Aku termotivasi oleh kepercayaan diri mereka saat mengenakan bikini, tank top dan dress ketat. Aku merasa lebih bebas, meski kadang berakhir berantem sama orang tua dan saudara yang lebih tua.
Mereka bilang pakaianku “enggak senonoh”. Bedanya dengan dulu, aku bisa membela diri sekarang. Aku pernah menunjukkan foto perempuan berdada kecil dalam balutan bikini, dan mendesak mereka kenapa biasa-biasa saja saat melihat fotonya. Ini mungkin akan memengaruhi hubungan kami, tapi seenggaknya aku bisa jadi diri sendiri.
Aku pun mulai membagikan foto-foto “body positivity” ke medsos. Aku berpakaian sesuka hati, tak peduli bagaimana reaksi orang lain. Aku juga ingin memotivasi para perempuan Asia untuk lebih pede dengan tubuh mereka, dan mengajarkan bahwa enggak ada yang salah dengan menjadi seksi.
Michelle adalah penulis lepas mode dan kecantikan pada blog Lapis and Layers. Dia bermukim di Singapura. Jangan lupa follow Michelle di Instagram.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA