Διασκέδαση

Begini Rasanya Disandera Gerombolan Penculik Berperilaku Terpuji

Athar Hameed Khan adalah sosok terkenal di India karena diculik gerombolan Kasta Dalit semasa remaja.

Athar Hameed Khan masih 19 tahun ketika dia diculik. Dia dan bibinya dalam perjalanan pulang sehabis menemui calon suami kakaknya ketika bus yang mereka tumpangi dihentikan oleh sekelompok perampok di Budaun. Khan takut bukan kepalang saat itu. Para penculik bersenjata tersebut—mereka membawa senapan dan pedang—menyandera empat anak laki-laki yang kelihatan anak orang kaya. Khan salah satunya.

“Saya akan selalu ingat tanggal kejadiannya. 19 Oktober 1986. Tante sangat histeris waktu itu, tapi saya mengikuti perintah mereka,” katanya. Khan tinggal bersama penculik selama sebulan. Peristiwa ini jelas mengubah hidupnya di kemudian hari. Dia disembunyikan di sebuah daerah yang tertutup pohon bambu tinggi di sepanjang sungai Gangga di Qaimganj, Uttar Pradesh. Dia dan para penculik akan berjalan kaki setiap malam sampai berkilo-kilo jauhnya. Khan khawatir dia tidak bisa bertahan hidup dan bertemu kembali keluarganya.

Videos by VICE

Ternyata, para penculik tidak seseram yang dibayangkan. Khan malah memberi tahu VICE kalau penculiknya sangat ‘baik.’

“Mereka berbudi luhur. Kebanyakan dari mereka berasal dari kasta Dalit yang membenci brahmanwad (Brahmanisme). Mereka menjadi kriminal gara-gara insiden yang terjadi di luar kendali mereka,” kata Khan, 50 tahun, di rumahnya di Sahawar. Khan terlahir dari keluarga politisi paling berpengaruh di kampungnya. Saat ini, dia memiliki gelar kedokteran Unani (pengobatan tradisional yang populer di Asia Selatan) dan menjalankan bisnis real estate.

Sindrom Stockholm, kondisi di mana para sandera mengembangkan perasaan simpati kepada penculik, sering diangkat jadi film seperti Dog Day Afternoon, V For Vendetta dan Highway. Sindrom Lima adalah kondisi sebaliknya, di mana penyandera merasakan simpati kepada orang yang mereka tangkap. Dalam kasus Khan, perasaan simpati tumbuh di antara kedua belah pihak.

Dia menjalin pertemanan dengan penculiknya selama sebulan hidup bersama mereka. Para penyandera memanggilnya ‘Khan sahab‘ dan dia justru akhirnya membantu mengerjakan pembukuan mereka. “Mereka tidak pernah menyiksa atau membuatku kelaparan. Mereka benar-benar tidak seperti penculik yang ada di bayanganku. Mereka juga tidak pernah menggunakan kata kasar dan memperlakukan saya dengan hormat.”

Khan menjelaskan betapa para kriminal tersebut sebenarnya tidak berencana menculik dirinya. Mereka mendapatkan informasi mengenai seorang pengusaha beedi kaya. “Mereka lalu mencoba peruntungan di bus kami.”

Para penculik baru mengetahui seberapa besar pengaruh keluarga Khan setelah menculiknya. Meskipun begitu, mereka tetap menahannya. Dua minggu kemudian, mereka membebaskan pengusaha beedi dan tiga anak laki-laki lainnya setelah mendapat tebusan dari keluarga mereka. Khan memilih tetap tinggal bersama para penculik, dan tinggal di pondok sementara yang dibangun dari bambu dan rumput. Para penyandera tidak pernah mengikat tangannya. “Mereka beberapa kali merantai kaki saya ketika tidak ada yang bisa jaga malam.”


Tonton dokumenter Akarasa dari VICE, menyorot kalinan persaudaraan budaya serta kuliner India-Indonesia dalam sepotong roti canai:


Penduduk desa yang ramah di dekat mereka melimpahkannya dengan makanan lezat. “Kami biasanya dikasih aloo poori atau sabzi labu. Para perampok suka ikan. Kami hampir setiap hari makan ikan.” Kalau sedang beruntung, Khan bisa makan ayam yang disembelih halal sesuai ajaran Islam yang ia peluk. “Saya lalu memasak kari ayam buat mereka.”

Seorang penculik membawakannya beberapa novel berbahasa Hindi supaya Khan tidak bosan. “Setiap kali bertemu penduduk setempat, mereka akan menyapaku dan menawarkan susu.” Para penyanderanya sering mabuk, tetapi mereka menghormati (sanskari) perempuan. “Mereka yakin tidak akan bisa menjadi gangster kalau menculik perempuan, karena mereka akan segera dibunuh.”

Beberapa hari setelah penculikan, mereka memberikan pakaian bersih dan sajadah kalau Khan sahab sedang ingin salat. “Saya biasanya tidak salat isya karena mereka tidur di sore hari dan berjalan di malam hari,” kata Khan. Dia tidak pernah terpikir melarikan diri karena dia tahu para penduduk tahu siapa yang menyanderanya. “Saya seringnya disembunyikan di daerah sekitar sungai Gangga yang tiga sisinya dikelilingi sungai dan tertutup rumput tinggi di Terai. Saya enggak mungkin bisa kabur.”

Ketika Khan masih disandera, keluarganya berusaha mencari mediator yang bisa membuat kesepakatan dengan penculik. Ada Anggota Majelis Legislatif (MLA) setempat yang menemukan kontak kerabat penculik. Suatu pagi, mereka meninggalkan Khan dan membagikan lokasinya dengan mediator setelah sebulan menyanderanya. “Di tradisi kami, orang tua biasa memberikan uang ke anak muda. Mereka memberiku 200 Rupee (setara Rp20 ribu) sebagai hadiah perpisahan. Mereka juga memelukku sebelum pergi.”

Seluruh penduduk di kota menunggu kepulangan Khan ke Sahawar. Dia akhirnya bisa bertemu kembali dengan keluarganya. Momen yang emosional buat mereka. “Saya tidak pernah tanya ke ayah seberapa banyak uang tebusannya. Rumornya sih hampir Rs 25.000 (Rp5,1 juta).”

Peristiwa penculikan Khan ternyata masih banyak dibicarakan orang hingga 30 tahun kemudian. Khan terkenal dengan julukan ‘si bocah yang diculik’. “Mereka membayangkan penculik seperti yang ada di film-film. Masih ada saja orang yang menanyakanku seperti: Mereka menunggang kuda, gak? Apakah mereka menari mengelilingi api dengan perempuan?”

Setelah kejadian tersebut, berat badan Khan turun. Dia juga tidak pernah lagi keluar malam selama beberapa tahun. “Hipertensi saya kambuh kalau keluar malam.” Walaupun begitu, dia sama sekali tidak membenci atau dendam dengan penculiknya. “Saya memahami kalau para kriminal juga manusia biasa dari insiden ini. Mereka memilih jalan pintas karena sudah putus asa, terpaksa, atau ingin balas dendam atas kekejaman yang pernah mereka alami.”

Saat ini, Khan berprofesi sebagai politikus untuk Partai Bahujan Samaj—partai lokal yang memperjuangkan hak kaum Dalit seperti kaum penculiknya dulu di India. “Kasta bawah tidak mampu secara finansial, tidak berpendidikan, dan didiskriminasi oleh kasta atas. Sama seperti orang Islam. Saya rasa satu-satunya cara bertahan hidup buat mereka yaitu dengan bekerja sama.”

Khan bilang dia sudah dua kali bertemu dengan ketua komplotan sejak pembebasannya. “Saya pernah bertemu dengannya di sebuah upacara di desa. Di lain waktu, kami bertemu ketika dia sedang ikut pemilihan MLA. Kami ngobrol tentang masa lalu.”


Follow Zeyad Masroor Khan di Twitter .

Artikel ini pertama kali tayang di VICE India.