Seorang kenalan, waktu kami nongkrong bareng, tiba-tiba melontarkan ucapan yang mengganggu benak saya. Obrolan awalnya ngalor-ngidul soal kerjaan, tiba-tiba mengarah ke persoalan etnis. “Gue enggak suka deh sama orang Yogyakarta,” kata kawan tadi dengan nada datar. “Keramahannya hipokrit.”
Sebagai orang yang lahir dan besar di Yogyakarta, sebenarnya saya bisa saja terbakar amarah, membanting telepon seluler, lalu menyiram wajah si kawan tadi pakai air susu jahe panas. Tapi begitu dia selesai mengucapkan kalimat itu, saya malah cuma tersenyum simpul. Saya segera menyadari (karena dapat ide bahan tulisan) bahwa jebakan stereotip terhadap etnis amat mengakar di Indonesia. Negara ini memang beragam banget penduduknya, ada lebih dari 300 kelompok etnis lho menurut sensus terbaru Badan Pusat Statistik. Makanya, walau sudah merdeka tujuh dekade, penduduk Indonesia ini tetap aja mengalami sekat antar etnis. Steretotipe itulah yang langgeng sampai sekarang. Itu baru yang sama-sama dianggap “pribumi.” Wah, kalau sudah berbenturan “pribumi vs pendatang”, makin runyam deh. Bahkan pejabat sekelas Wakil Presiden aja tak bisa lepas dari jebakan stereotipe yang cenderung rasis.
Cap-cap tertentu soal etnis di negara yang sangat beragam ini susah banget dihindari. Terutama malah dalam situasi percakapan remeh temeh. Saking mengakarnya, sebagian dari kita mungkin juga ikut mengamininya.
Videos by VICE
Saya sendiri dididik sejak kecil tentang berbagai stereotipe soal etnis lain. Udah enggak terhitung deh berapa kali saya mendengar kata-kata tetangga di Yogya agar, “jangan menikahi perempuan Sunda karena mereka matre!” Pernah juga kawan mengingatkan, “orang Papua identik suka bikin keonaran.” Stereotipe tersebut pada akhirnya akan menjadi prasangka yang mengendap di otak. Efek terburuknya bisa menjadi pemicu kebencian dan ketegangan sosial.
Faktanya tentu berkebalikan dari stereotipe-stereotipe miring tersebut. Saya pernah ke Deli Serdang, bertemu orang Karo yang tidak saya kenal sebelumnya, tapi super ramah sampai-sampai memberikan tumpangan sepeda motor secara gratis. Waktu itu saya kemalaman, angkot terakhir sudah pulang kandang. Artinya, citra orang Sumut kasar dan tidak ramah jelas sampah belaka.
Selama ini saya juga tidak menemukan perempuan Sunda yang matre, karena pada dasarnya kita semua adalah makhluk materialistis yang selalu mengharap traktiran gratis setiap ada teman ulang tahun. Ketika masih kuliah di Yogyakarta, ada kawan asal Papua yang setiap kali jeda kuliah pasti menghampiri saya dengan senyum lebar, sambil menawarkan segelas minuman lokal beralkohol. Nyaris setiap hari pace tadi menyapa dan mengajak saya minum-minum sebagai sobat selama kami kuliah.
Sifat manusia tak ada hubungannya dengan etnis. Tapi pada akhirnya kita semua adalah korban stereotipe.
Saya sadar enggak mungkin sendirian dalam perkara ini. Makanya saya ngobrol bareng empat anak muda dari latar belakang etnis berbeda-beda di Indonesia, membahas pengalaman mereka dihakimi orang lain hanya karena latar etnisnya. Saya juga minta mereka mengungkap stereotipe paling bodoh yang pernah mereka dengar, dan bagaimana mereka bisa lepas dari efek buruk prasangka soal etnis tersebut.
Hani Fauzia Ramadhani, 22 Tahun, Etnis Sunda
VICE Indonesia: Ada stereotip perempuan Sunda itu biasanya ‘cantik’, tapi dalam konteks merendahkan. Sementara yang pria digambarkan sebagai pemalas. Ada juga yang bilang orang Sunda materialistis. Apa pendapatmu soal stereotipe-stereotipe tersebut?
Hani Fauzia: Saya yang lahir dan besar di lingkungan etnis Sunda, hampir enggak pernah tahu soal stereotipe-stereotipe itu sampai saya pindah ke Inggris pada 2016. Justru di sana saya berinteraksi cukup intens dengan orang-orang dari Indonesia dengan berbagai latar belakang etnis dan banyak terlibat obrolan soal stereotip ini. Sempat ada teman yang menyinggung soal lelaki Sunda yang pemalu, kemudian saya menyimpulkan itu sekadar pukul rata dari penggambaran karakter Si Kabayan, lelaki Sunda yang lugu.
Tapi berdasarkan pengalaman saya berinteraksi dengan lelaki Sunda selama ini, rasanya stereotip yang melekat enggak cocok dengan realita haha.
Ya, mungkin less straight-forward sih karena bawaan pola interaksi khas Sunda yang sampai punya ‘undak usuk basa’ (tata krama bahasa-red) dalam berkomunikasi alias tingkat kesopanan tergantung dengan siapa kita berinteraksi. Tapi ini berlaku secara general, enggak cuma lelaki. Nah tentang perempuan Sunda pun pernah dibahas. Katanya penyebab prostitusi dan pijat plus-plus di daerah Jawa Barat terkenal itu karena perempuannya cantik-cantik. Lalu stereotip yang beredar jadi mengaitkan dua variabel yang sama sekali enggak berkaitan itu, kecantikan dan prostitusi. Jadinya ujaran kalau perempuan Sunda itu cantik enggak flattering lagi. Stereotip seperti ini yang berbahaya sih. Termasuk soal stereotip materialistis itu. Sempat ada yang melontarkan joke, “iya nih ortu saya enggak mau punya menantu orang Sunda karena matre,hahaha,” saya sampai bingung sendiri itu stereotip datangnya dari mana dan kenapa bisa langgeng karena saya sama sekali enggak melihat ada kecenderungan signifikan di diri orang-orang Sunda yg menandakan dirinya materialistis.
Hal terbodoh apa yang pernah kamu dengar soal stereotipe Sunda?
Yang pertama kayaknya soal kecantikan perempuan Sunda dan kaitannya dengan sifat ‘gampangan’ itu tadi. Apa hubungannya coba warisan DNA, prostitusi, dan perilaku seksual perempuan dari satu etnis?! Yang kedua soal orang Sunda yg terlalu lemah lembut dan tidak tegas. Justru sebaliknya, orang Sunda itu penuh inisiatif. Dikit-dikit bilang, “dieu ku aing, hahaha (Sini gue aja yang ngerjain).”
Apakah kamu pernah menjadi korban prasangka etnis macam itu?
Hmm ya paling kalau menunjukan sikap dominan atau agak bold sedikit gitu, pasti langsung dilabeli ‘enggak kayak cewek Sunda pada umumnya’. Emang cewek Sunda pada umumnya gimana coba? Hahaha. Apa lagi kalau mengumpat… Eh kayaknya kalau mengumpat emang frowned upon secara umum ya buat perempuan haha.
Kamu sendiri pernah enggak berprasangka terhadap etnis lain di Indonesia?
Pernah, sama etnis Batak. Yang saya tahu katanya orang Batak keras dan kasar. Setelah punya beberapa teman beretnis Batak dan tinggal sama keluarga Batak selama setahun lebih, saya berkesimpulan hal-hal itu enggak benar. Ya memang sih cara bicaranya keras dan jauh berbeda sama orang Sunda. Tapi soal kasar sih salah besar. Orang-orang Batak yang saya kenal justru sangat hangat dan ramah.
Triyono, 24 Tahun, Etnis Jawa
VICE Indonesia: Orang Jawa suka dibilang ramah, lembut, tapi katanya enggak tulus sama suka ngomongin orang di belakang. Setuju enggak?
Triyono: Enggak setuju. Suka ngomong di belakang enggak melulu sifat orang Jawa lho. Itu sih sifat kebanyakan orang. Contohnya budaya ngegosip aja deh. Itu hampir semua orang ngelakuin kan. Dan ngegosip itu murni ngomong di belakang. Orang Indonesia enggak suka konflik langsung, makanya mereka ngomong di belakang.
Kalau perkara ramah emang ada maunya?
Sebab orang Yogyakarta khususnya dicap ramah, mungkin karena dari dulu Yogyakarta itu kota plural, dari dulu pendatang banyak. Mungkin para pendatang itu merasa nyaman karena penduduk aslinya enggak neko-neko, enggak ngurusin urusan orang. Tapi coba deh kalau ketemu preman kampung, mungkin ada yang ramah ada yang enggak. Ada yang kalau disapa mungkin bakal balik menyapa dengan sopan, ada juga yang tetap pasang tampang garang walau disapa 100 kali. Intinya ramah tamah itu kayaknya ada di semua daerah. Kalau soal ada maunya, ya kita enggak pernah tahu maksud dan tujuan setiap orang kan?
Kamu pernah jadi korban stereotipe ngehe’ begitu enggak? Atau malah jadi pelakunya?
Sering banget. Orang Jawa itu selalu dicap dengan suka merasa tidak enak. Misal aja, lagi beli martabak buat dimakan bareng-bareng sama temen-temen, pasti deh kalau aku menolak mengambil potongan terakhir, pasti ada aja yang nyeletuk, “Ah, Jawa banget lu pake enggak enakan!” Tapi itu nyantai sih, enggak yang bikin emosi atau apa. Kalau menghakimi, enggak yang keterlaluan sih, cuma sempet agak menghindari orang Timur. Mungkin karena dulu sering terjadi kekerasan di Yogyakarta dengan orang-orang Timur kayak Papua, NTT, Maluku. Ya aku pikir itu cuma oknum aja. Aku percaya enggak semua orang Timur kayak gitu lah.
Rachel Vanessya, 22 Tahun, Etnis Minang
VICE: Orang Padang distereotipekan pelit dan pintar dagang. Anggapan ini bener atau salah sih sebenarnya?
Rachel: Ada benarnya. Menurut gue bukan pelit sih tapi cermat kelola keuangan. Kalau dirunut dari zaman dulu ya karena sistem garis keturunannya kan matrilineal, dari garis ibu. Perempuan dapet hak waris, sementara laki-laki enggak. Makanya laki-laki kebanyakan merantau dan berdagang. Nah, dulu kan pria harus dibeli kalau mau dikawinin, maksudnya karena pria engga dapet waris, jadi perempuan kudu beli. Nah, makanya duit dihemat-hemat tuh buat modal kawin.
Pernah diledekin gara-gara beretnis Minang?
Pernah banget. Ya biasalah suka diledekin pelit dan perhitungan.
Sifat dan watak etnis Minang menurutmu kayak apa sih? Apakah bisa digeneralisasi bahwa setiap orang Minang punya sifat dan watak tersebut?
Cermat, kritis dan teguh pendirian. Karena kelewat teguh itu suka dibilang keras. Kalau soal generalisasi kayaknya bisa, mungkin itu sudah jadi sifat umum kali, karena balik lagi ke adat budaya dan keturunan jadi sedikit banyaknya bisa ditanam deh ke anak cucu.
Johanes Ginting, 30 Tahun, Etnis Karo
VICE: Saya pernah baca penelitian, ada stereotipe kalau orang Karo pendendam, keras, suka uang, dan sebagainya yang negatif-negatif lah. Setujukah kamu sama stereotipe itu?
Johanes Ginting: Enggak setuju banget lah. Sifat-sifat buruk itu kan selalu ada di setiap manusia, enggak cuma orang Karo saja. Jadi enggak bisa digeneralisir kalau orang Karo selalu keras, pendendam, atau apalah itu. Sifat-sifat itu ada bukan karena kesukuan, tapi emang dari dulu sifat buruk udah ada dari zaman kapan tau.
Orang Karo enggan disebut Batak, begitu pula sebaliknya. Apakah kamu pernah berprasangka terhadap etnis lain, mungkin terhadap Batak?
Seinget saya belum pernah. Suku Batak juga kayaknya enggak pernah memberi penolakan jika orang Karo menyebut mereka bagian dari Batak. Mungkin pada orang-orang tertentu saja yang menolak disebut Batak.
Pernah jadi korban prasangka dari etnis lain?
Pernah pastinya. Beberapa temen awalnya menganggap saya kasar dan suka bicara keras karena asal saya dari Medan. Padahal saya lemah lembut lho. Serius.
Prasangka terbodoh yang pernah kamu alamatkan ke temen dari etnis apaan?
Saya pernah menganggap temen-temen Jawa tuh berkarakter lembut dan selalu berkata ‘Iya’ tiap ngobrol atau diminta tolong. Kayaknya mereka jarang banget menolak atau menyanggah. Kayak enggak punya pendirian. Tapi ya balik lagi, saya enggak mungkin kenal sama semua orang Jawa kan. Jadi sekali lagi ya enggak mungkin dipukul rata.