Begini Skenario Pakar Atas Dampak Perang Nuklir AS-Korut Pada Indonesia

Apakah kita sedang mendekati momen pecahnya Perang Dunia ke-3?

Pengamat isu internasional, para pemimpin dunia, hingga penggemar teori konspirasi sejak sebulan terakhir mengingatkan risiko pecahnya pertempuran di Semenanjung Korea yang bisa berujung pada perang nuklir antara Korea Utara dan Amerika Serikat.

Videos by VICE

Respons negara-negara di kawasan Asia Timur menambah kekhawatiran penduduk Planet Bumi. Jepang misalnya. Pemerintah Negeri Matahari Terbit itu membuat pengumuman pada warganya agar selalu berlatih mencari tempat perlindungan, seandainya pecah perang nuklir. Berdasarkan perhitungan pemerintah Jepang, orang biasa cuma punya waktu 10 menit untuk berlindung sebelum nuklir meluluhlantakkan permukaan tanah.

Kabar dari Pyongyang juga tak menyejukkan situasi. Diktator Korut, Kim Jong-un dilaporkan marah melihat provokasi terus dipicu kebijakan Presiden Donald Trump mengirim kapal perang sejak pertengahan minggu lalu ke perairan Korea Selatan. Apabila kapal ini tidak ditarik mundur, Kim Jong-un mengancam akan segera menyerang AS dan Australia dengan segala alutsista yang mereka punyai. Ancaman itu tentu saja menyiratkan pemanfaatan senjata berhulu ledak nuklir yang sudah dikembangkan Korut sejak akhir dekade 90-an. Benih-benih konflik ini sebenarnya sudah dimulai sejak Barack Obama masih menjabat sebagai presiden AS. Tahun lalu, AS menempatkan sistem pertahanan peluru kendali di Korsel. Pyongyang yang tidak terima segera berulang kali melakukan uji coba misil dan juga bom nuklir. 

Korut kembali melakukan uji coba rudal jarak jauh bertepatan dengan ulang tahun militernya yang ke-85 pekan lalu. Meski uji coba tersebut gagal, seperti biasa hal tersebut berbuntut ketegangan yang membuat banyak pihak cemas.

Situasi panas di Semenanjung Korea sebenarnya sudah terlalu biasa. Toh Korut dan Korsel secara resmi masih berperang sejak setengah abad terakhir. Tapi kali ini nampaknya kita boleh sedikit khawatir. AS buru-buru mengirim empat kapal selam nuklirnya—termasukUSS Michigan—ke perairan Korea Selatan. Trump pekan lalu menyatakan semua opsi—termasuk serangan militer preventif ke Pyongyang—siap dilakukan demi menghentikan ambisi nuklir Korut. Awal tahun ini Kim Jong-un mengklaim rudal balistik antar-benua mereka yang diberi kode sandi KN-08 memiliki daya jelajah hingga 11.500 kilometer. Rudal itu kabarnya memasuki pengembangan tingkat akhir. Informasi inilah yang membuat AS ketar-ketir. Presiden Trump sampai nge-tweet “Ambisi Nuklir Korut tidak bisa dibiarkan!”

Korut terletak di Benua Asia. Rezim totaliter itu sudah mengancam tak hanya AS, tapi juga Australia, negara tetangga kita di belahan selatan. Membayangkan skenario terburuk dari kekacauan di Korea, sekonyol apapun itu, artinya masuk akal. Imbas peperangan tersebut bisa saja merambah Asia Tenggara. Lantas jika ketegangan tersebut berujung pada perang nuklir apakah Indonesia sudah siap dengan semuanya? 

Jawaban dari pakar pertahanan rupanya sesuai bayangan semua orang.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan. Indonesia tidak menyiapkan diri menghadapi perang nuklir karena percaya prinsip luar negeri kita bebas aktif,” kata Muradi, pengamat militer dari Universitas Padjajaran. “Secara faktual dan kontekstual Indonesia tidak siap [menghadapi perang nuklir].”

Dengan kata lain, ketika pecah konflik di Semenanjung Korea, Indonesia hanya bisa menjadi penonton dan pasrah.

Indonesia belum pernah merilis protokol menghadapi skenario perang nuklir di kawasan. Faktor lain yang mengkhawatirkan adalah kondisi alutsista milik Indonesia yang dinilai ketinggalan zaman, meskipun anggaran pertahanan tetap yang paling tinggi dalam APBN.

“Jika head-to-head dengan Malaysia atau Singapura masih kalah jauh dari segi modernitas. Kita cuma bisa head-to-head dengan Vietnam. Kita sedikit di bawah Filipina dan Thailand,” kata Muradi.

Alutsista kita masih mengandalkan perdagangan terutama dari Korea Selatan, Iran dan Rusia, imbas dari embargo penjualan kelengkapan militer AS sepanjang kurun 1995-2005. Indonesia, ambil contoh, tak memiliki kapal induk pengangkut jet tempur. Kapal selam baru pun baru akan datang dari pabrikan di Korea Selatan tahun ini. Pecah perang di Semenanjung Korea bisa membuat Indonesia gagal punya kapal selam baru.

Di matra udara, Indonesia masih mengandalkan hibah dari AS berupa F-16 berusia tua yang terus dipaksakan terbang. F-16 milik TNI AU beberapa kali tergelincir, sehingga tak bisa digunakan lagi karena sparepart-nya mahal dan harus didatangkan langsung dari negeri pembuatnya.

Faktor lain yang membuat Indonesia tak siap menghadapi risiko peperangan di kawasan adalah ideologi pertahanan nasional yang dianut pemerintah. Muradi menyatakan Indonesia mengadopsi Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta), prinsip militer untuk mengerahkan seluruh masyarakat jika diperlukan, yang diadopsi sejak Dwi Komando Rakyat (Dwikora) 1962.

“Kita itu terakhir kali perang beneran kan tahun 1975 di Timor Timur. Pertahanan kita berbasis teritorial, mengandalkan pulau-pulau besar. Kita terbiasa dengan perang model gerilya, head-to-head. Kita terbantu karena negara kita kepulauan,” ujarnya. “Saya ibaratkan sistem pertahanan kita itu seperti total football. Jadi undang dulu musuh masuk, ketika sudah masuk, lantas dipukul ramai-ramai secara total. Kan pertahanan kita namanya Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) jadi ya semua warga dikerahkan, total warfare.”

Kalian terlanjur panik? Jangan dulu. Perang nuklir Korut vs AS peluang terjadinya sangat kecil, mendekati nol persen. Setidaknya itulah pandangan Pengamat militer Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie. Dia mengatakan ketegangan di semenanjung Korea hanyalah manuver politik pemerintahan Trump untuk merangkul Cina.

“Korea Utara dijadikan common enemy agar hubungan AS dan Cina langgeng. Selama ini mereka saling membutuhkan tapi juga kadang berkonflik,” ujar Connie.

Connie menampik jika ketegangan Korut-AS akan berimbas pada situasi keamanan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kalaupun nanti pecah perang, semua pihak akan menghindari penggunaan hulu ledak nuklir. Selain itu, menurut Connie perang di Semenanjung Korea sebentulnya dalih lain untuk merangsang peningkatan belanja industri pertahanan. Dia curiga AS hendak menggenjot perekonomian mengandalkan ekspor persenjataan. Desas-desus perang adalah prasyarat terbaik agar bisnis senjata kembali naik daun.

“Trump bagaimanapun juga adalah businessman. Dia melihat sesuatu dari segi ekonomi. Dan sektor pertahanan adalah yang paling menghasilkan uang. Kampanye militer AS di Timur Tengah bisa dibilang gagal, jadi Trump perlu menciptakan perang baru. Ini akan membuat sekutu AS mempersiapkan diri [untuk membeli alutsista], termasuk Australia, Korsel, dan Jepang,” ujar Connie.