Artikel ini pertama kali tayang di VICE China.
Ditulis oleh Xixi (喜喜). Diterjemahkan oleh Felicia Huang.
Videos by VICE
Lampu kedai berkedip tatkala saya merampungkan sendok terakhir mie punggung sapi, bersendawa dan membayar $64 HKD (setara Rp100 ribu) untuk semangkok mie yang baru saya tandaskan. Mahal ya? Mau bagaimana lagi. Mi ini saya santap di salah satu sudut kota Hong Kong—sebuah kota yang harga segalanya meroket sejak awal tahun 2000an. Hidup di Hong Kong pada kenyataannya memang mahal Bung dan Nona.
Saya memanggul tas backpack sambil keluyuran mencari tempat menginap. Seorang turis Korea Selatan di depan saya berjalan menuju Hotel Holliday Inn. Saya memilih opsi yang berbeda, masuk bangunan di sebelahnya: Chungking Mansion yang reputasinya sudah harum di mana-mana.
Saya pertama kali membaca tentang Chungking Mansions dari buku yang ditulis oleh Mai Gao Deng Zhu, seorang profesor anthropologi di Hong Kong University. Dalam buku itu, Chungking Mansions adalah tempat bersarangnya pebisnis lurus dan taipan culas. Chunking Mansions adalah sebuah kota dalam kota, sebuah titik yang mempertemukan imigran, pengungsi, pemadat obat, mucikari, pekerja seks komersial dan pebisnis kelas teri.
Ada alasan kenapa mahakarya arthouse gubahan Wong Kar Wai, Chungking Express, memiliki diberi judul 重慶森林 dalam bahasa kanton—secara harfiah berarti “Hutan Chungking.” dalam film legendaris itu, Tony Leung dan Faye Wong memenuhi Chungking Mansions dengan aura misterius yang susah dijelaskan. Dalam kenyataannya, atmosfir Chungking Mansions jauh lebih misterius dari itu.
Bangunan Chungking Mansions gampang ditemukan. Kamu cuma tinggal menyusuri Nathan Road. bahkan kamu tak harus memasang mata mencari nomor 36-44. Percayalah, kamu tak akan bisa melewatkannya. Yang perlu kamu ingat adalah cari tempat di mana tiap tamu yang masuk akan disapa oleh imigran asal India. Saya memutuskan masuk bangunan Chungking Mansions untuk melihat sejauh apa bangunan hotel ini berubah sejak dibuka 50 tahun lalu.
Chungking Mansions dibangun sebagai lima bangunan (ABCDE) yang saling terhubung tepat di tengah kota koloni Inggris, Hong Kong. Pada awalnya, Chungking Mansions adalah bangunan tempat tinggal. Seiring membanjirnya turis di Nathan Road, Chungking Mansions beralih fungsi. Bagian dalam bangunan ini segera memiliki fungsinya sendiri-sendiri, mulai dari hotel dengan harga miring, restoran, toko penukaran mata uang hingga tempat mengirim uang. Chungking Mansions adalah tempat murah dan bikin kerasaan yang selalu menyambut pendatang baru dari luar Hong Kong. ini alasan kenapa banyak pengusaha Asia Selatan memulai mengasah kemampuan bisnis mereka di tempat ini.
Lambat laun, Chungking Mansions jadi tempat nongkrong imigran asal India, Pakistan dan negara-negara Afrika Barat. Di saat yang sama, ada satu jenis orang asing baru mulai berdatangan ke Nathan Road untuk menghabiskan malam di Chungking Road. Mereka—saya salah satunya—adalah turis backpacker. Imbasnya, Chungking Mansions menjadi sangat beragam sampai Time Magazine memujinya sebagai simbol faedah globalisasi serta wajah Hong Kong modern yang multirasial dan multikultural
Saya masuk, menyusuri lorong, melewati kios yang menjajakan majalah bokep, kabinet berisi dildo plastik, hingga sampai ke sebuah gerbang besar. Sebelum saya benar-benar sadar di mana saya berada, seorang pria datang membantu. Dengan sangat sopan, dia berkata “Ibu, butuh tempat bermalam? Di Hotel kami saja ya. Tempatnya aman dan harganya murah.”
Saya meminta untuk melihat ruangannya dan dituntun memasuki lobby seperti labirin. Di meja resepsionis, dua orang yang terlihat seperti warga Hong Kong sedang berjaga. Kami berjalan ke kiri, kanan, kiri, mengelilingi restoran kari emas tersebut, melewati toko-toko mencurigakan yang menjual “emas murni,” toko elektronik, dan akhirnya tiba di “distrik hotel” Chungking Mansions.
Liftnya berhenti di setiap lantai. Ketika kami mencapai lantai sepuluh, saya keluar dari lift. Saya masih sangat bingung, tapi pria yang membawa saya ke sana menggesek kartunya untuk membuka sebuah pintu hotel bertuliskan “Day and Night”. Di meja resepsionis, terlihat dua orang imigran muda asal Pakistan.
Salah satu dari mereka, Guri, berumur 23 tahun adalah salah satu staf shift malam. Dia menyapa saya dengan ramah dan mengajak saya untuk melihat sebuah kamar. Kamar tersebut harganya Rp177 ribu per malam, belum termasuk 10 persen ongkos service. Dia menepuk dadanya dan mengatakan, “ini adalah kamar termurah yang kamu bisa temukan di Hong Kong.” Saya melihat-lihat. Kamarnya lebih kecil dari yang saya bayangkan. Tapi memang lumayan bersih dan rapi. Saya tengah berdiri di samping ranjang, dan dengan sedikit usaha, saya berhasil memutar badan dan melihat kamar mandi kotak berukuran 3 meter persegi. Di dalamnya ada toilet, shower, dan sebuah kipas angin elektrik. “Kecil, tapi lengkap,” pikir saya.
Setelah check-in, karena masih banyak waktu, saya ngobrol sedikit dengan Guri. Dia mendapatkan visa Hong Kong tiga tahun yang lalu. Dia mengikuti jejak pamannya yang bekerja di sana. Awalnya, dia akan bekerja di toko ponsel milik pamannya. Pernah ada masanya ketika sekitar 20 persen dari stok ponsel di negara Agrika sub-Sahara berasal dari Chungking Mansions. Pasar ini berkembang pesat hingga akhirnya sesuatu terjadi. Para pengimpor dari Afrika memutuskan untuk pergi ke Hong Kong dan bertransaksi sendiri. Tiba-tiba Guri harus mencari pekerjaan baru. Dia menemukan hotel ini dan mengambil shift malam.
Antara 85 hingga 90 persen orang yang bekerja di Chungking Mansions adalah lelaki, jelas Guri. Mereka adalah lelaki muda tidak berpendidikan tinggi, berpendapatan kecil dan tinggal jauh dari kampung halaman, jelasnya. Jadi hanya masalah waktu sebelum bisnis lain masuk ke Chungking Mansions. Para “perempuan muda” ini, begitu Guri menyebut mereka, adalah imigran dari negara seperti India, Filipina, dan Nigeria. Yang lainnya datang dari daratan Cina.
Para pekerja seks ini adalah pemandangan yang biasa ditemukan di lorong Chungking Mansions. Mereka berusaha mencari wajah-wajah dan pelanggan baru, atau bersembunyi di dekat money changer dan mengajak ngobrol siapapun yang memiliki uang.
Ada juga penduduk Chungking yang lain: para pengguna narkoba dan pengungsi. Hong Kong memiliki kebijakan imigrasi yang lumayan santai—kebanyakan pendatang hanya perlu menunjukkan passpor sekali dan diperbolehkan tinggal selama 14,30 atau 90 hari di sana. Beberapa dari mereka adalah pencari suaka yang mendaftar dengan status pengungsi, memulai proses panjang untuk menjadi penduduk tetap di AS atau Kanada.
Seiring Chungking Mansions semakin padatnya Chungking Mansions dengan penghuni, semakin banyak masalah timbul. Tingkat kejahatan menjadi masalah serius di 2013 ketika seorang murid universitas dari dataran Cina diperkosa di salah satu toilet umum di gedung Chungking. Polisi melakukan investigasi dan menemukan sang pemerkosa yang telah mengganti namanya. Ketika dia muncul di berita setempat, dia dengan santainya membuat tanda damai.
Hong Kong pecah dengan amarah. Chunking Mansions membuat sebagian besar warga negara kota itu cemas. Kini ada seorang laki-laki yang menyebut reputasi gedungnya sebagai sarang kriminal. Saat itu pemerintah Hong Kong memutuskan sudah saatnya menata ulang Chungking Mansions.
Pemerintah kota menyampaikan pada komunitas bisnis Chungking Mansions bahwa mereka harus memasang kamera keamanan di mana-mana, terutama di dalam lift. Guest house juga sekarang diberi izin legal. Dan “perempuan muda,” yang dulunya bekerja di gedung, telah ditangkap, ujar Guri.
“Perempuan-perempuan ini kini pindah ke Mirador Mansions sekitar, karena tidak seterkenal Chungkin Mansions,” ujarnya. “Lebih sepi, dan lebih tertutup.”
Ketika saya bertanya pada Giri bagaimana dia bisa tahu begitu banyak hal ini, dia hanya tertawa dan terlihat sedikit malu. “Seorang teman saya salah satu klien mereka,” ujarnya.
Hidup menjadi lebih berat bagi laki-laki India muda yang bekerja di Chungking. Si pemerkosa adalah imigran India, dan setelah tindak kriminal itu, pemilik toko memperlakukan semua laki-laki India sebagai bibit kriminal. Kata Guri, kalau ada konsumen yang komplen tentang perilaku pegawai, mereka pasti langsung dipecat.
Ini merupakan pertanda lain soal rasisme mengakar Hong Kong, ujarnya. Orang asing berkulit putih yang kemungkinan berasal dari Hong Kong, tidak bisa berbicara Bahasa Kanton, tapi tidak ada yang mendiskriminasi mereka. Tapi komunitas Asia Selatan di kota ini terus-menerus diperlakukan secara buruk. “Orang-orang berkulit putih berada di paling atas rantai, dan orang-orang non-kulit putih ada di paling bawah di sini,” ujarnya.
Itulah mengapa Guri berkata pada saya bahwa dia mencoba menghabiskan sebanyak mungkin waktu di Chungking Mansions, selagi bisa. Melangkahkan kaki ke luar pintu-pintu ini dan berdiri di Nathan Road dan seluruh dunia adalah Cina. Itu adalah dunia yang Guri tak pernah merasa terhubung. Namun di dalam Chungking, dia merasa aman.
“Setiap saya kembali, rasanya seperti pulang,” ujarnya. “Di dalam sini, saya punya teman-teman India, makanan India, teh India. Sayangnya, saya enggak punya pacar India.”
Saat itulah saya baru menyadari betapa kesepiannya hidup dalam Chungking. Tadinya adalah sebuah pulau, terisolasi oleh rasa takut dan rasa curiga dari seluruh penjuru Hong Kong. Kini tempat ini menjadi lebih bersih dan teratur, namun orang-orang yang hidup di dalamnya, para imigran dari India, Pakistan, dan negara-negara Afrika sub-Sahara, masih merasa terisolasi seperti biasanya.