“Mbak Nasti makan, jangan foto-foto ...”
Gurauan itu mengundang gelak tawa ibu-ibu yang sedang berkumpul di pusat kebudayaan British Council, Senopati, Jakarta. Si ibu yang melontarkan candaan gatel melihat polah Nasti Nukramawati. Saat semua ibu anggota Dialita dan panitia asyik makan, ia malah sibuk mengabadikan momen dan suasana memakai kamera ponsel.
Dinasehati begitu, Nasti terkekeh-kekeh. Makan-makan berlanjut kembali. Hari itu, Minggu 10 Desember, semua yang urun tenaga menyiapkan Konser Perempuan Untuk Kemanusiaan: Lagu Untuk Anakku sedang asik menikmati hidangan nasi dengan lauk utama ayam jeruk. Bagi ibu-ibu Paduan Suara Dialita, ayam itu adalah “hadiah” karena sudah separuh jalan melatih pertunjukan lagu Salam Harapan ciptaan eks tahanan politik yang pernah dipenjara di Bukit Duri, Zubaedah Nungtjik dan Murtiningrum- satu dari sekian banyak lagu yang akan dibawakan di konser nanti.
Mereka berkumpul dengan maksud menunaikan Gladi Kotor. Maklum, konser tinggal tiga hari lagi. Gladi berlangsung ceria, walau kala itu hujan baru usai. Ceria, walau lagu-lagu yang dinyanyikan paduan suara yang terbentuk pada 4 Desember 2011 itu memendam cerita yang kelam. Seluruh tembang yang mereka nyanyikan adalah lagu-lagu yang pernah hidup di penjara-penjara. Dikarang oleh mereka yang jadi korban prahara politik yang datang seiring gelombang pembasmian orang-orang yang dicap kiri 1965-1966.
Saat dipenjara dulu, tak banyak cara bagi tahanan mengekspresikan perasaan. Menulis tak bisa karena alat tulis diharamkan. Lagu kemudian jadi sarana menjaga kewarasan, tempat para tahanan mengadu sekaligus merawat harapan. Paduan Suara Dialita, kependekan dari Dia Atas 50 Tahun, terdiri dari para perempuan yang peduli dan terkena dampak kekerasan sejarah 1965-1966. Sebagian di antaranya malah pernah dipenjara. Lagu-lagu yang mereka latih di hari persiapan gladi kotor lalu, meski sentimentil, tapi jauh dari kesan cengeng atau lembek hati. Simak saja lagu “Ujian” yang ditulis Siti Jus Djubariah dari balik jeruji besi penjara Bukit Duri
“ …Dari balik jeruji besi
hatiku diuji
apa aku emas sejati
atau imitasi … ”
Videos by VICE
Meski gladi berlangsung ceria, kadang ada juga yang tak kuat menahan haru. Ketika Endah Widiastuti melatih lagu berjudul “Ibu,” saya melihat ia sekali dua kali mengusap mata. Ketika musisi Kartika Jahja melantunkan “Ujian” secara gembira,gelegar tepuk tangan mengangkat kelabu seketika. Lalu ibu-ibu berdiri, menyanyikan lagu “Salam Harapan,” setelah Sita Nursanti dan Bonita usai menyanyikan bagiannya.
Konser Perempuan Untuk Kemanusiaan: Lagu Untuk Anakku yang digagas oleh Institut Ungu merupakan alasan Dialita berkumpul pada Minggu sore itu. Pada 13 Desember 2017, mereka menyanyikan lagu-lagu yang ditulis oleh para tapol dan dikompilasi oleh Dialita. Setahun sebelumnya, atas sokongan seniman dan musisi dari Yogyakarta, Dialita meluncurkan album berisi 10 lagu berjudul Dunia Milik Kita. Sejumlah musisi seperti Cholil Mahmud, Frau, Sisir Tanah, dan Keroncongan Agawe Santosa urun tenaga mengaransemen ulang dan menyanyikan lagu yang dikumpulkan Dialita. Tahun ini, giliran musisi dan pihak lain dari Jakarta yang turun tangan membuatkan konser.
“Karena ‘siapa,’ maksudnya Dialita, penyintas (dan keluarga penyintas) menyuarakan pandangan-pandangan mereka dalam lagu, kan sangat menarik,” kata Cholil Mahmud, pentolan band Efek Rumah Kaca ketika saya tanya apa yang membuat ia tertarik untuk mengaransemen beberapa lagu dalam Dunia Milik Kita. “Lagu-lagunya juga sangat kuat. Enak, penuh makna dan sikap, juga ideologis.”
Menyanyikan lagu-lagu itu 50 tahun lalu tentu beda rasanya dengan zaman sekarang. Menurut Uchikowati atau bu Uchi, jika Anda bersenandung lagu “Resopim” — gubahan pidato Sukarno yang berarti Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional — maka harus siap-siap menuai peringatan dari orang sekitar. “Tetangga, RT pasti bilang jangan nyanyi itu.” Sukarno meninggalkan banyak jejak juga dalam lagu-lagu yang lirik dan partiturnya disimpan bu Utati (adik ipar Pramoedya Ananta Toer) dan ditemukan oleh bu Uchi saat ia berkunjung ke rumahnya pada 2000: “Viva Ganefo,” misalnya, ditulis Asmono Martodipoero mengenai pesta olahraga besutan Sukarno; Sudharnoto menulis “Asia Afrika Bersatu” mengenai Konferensi Asia Afrika pada 1955.
Beberapa tahun kemudian, para ibu berkumpul untuk saweran membantu para penyintas dan eks-tapol yang hidup berkesusahan karena berbagai kesempatan memperbaiki hidup lumat ditelan stigma (adik bu Uchi misalnya mengalami tekanan ketika ia bekerja di sebuah rumah sakit negeri).
“Kami kan membawa buah tangan, awalnya dari kocek kami, saweran, mengumpukan baju bekas atau barang bekas, dijual kembali, dan hasilnya untuk membantu orang tua,” kata bu Uchi ketika kami berkesempatan untuk mengobrol seusai gladi kotor. “Ketika kami menyeleksi barang bekas, kami sambil bernyanyi-nyanyi dari situ muncullah ide untuk membentuk paduan suara. Diberi nama Dialita, Di Atas Lima Puluh Tahun.”
Bu Uchi mengenal banyak penjara sejak usia 13 tahun. Satu di LP Bulu, Semarang, di mana ibunya ditahan selama 7 tahun. Yang lain di LP Mlaten dan penjara-penjara di Yogyakarta, Cilacap, dan Ambarawa, di mana ayahnya ditahan selama 15 tahun. Wartawan-wartawan juga sudah menanyakan hal ini, mengorek luka lama itu. Namun baginya, bernyanyi bersama Dialita adalah wujud pemulihan.
Tapi mengapa melalui musik?
“Ketika saya bernyanyi, kemudian bermusik bersama teman-teman, mendirikan Dialita, itu sebenarnya mendokumentasikan lagu-lagu yang sudah dikumpulkan, ditulis oleh ibu-ibu dan bapak-bapak dari dalam penjara. Awal-awalnya itu. Kami tidak, ‘wah saya mau mendirikan Dialita untuk berjuang, tidak. Saya mau mendirikan Dialita untuk terkenal,’ tidak,” katanya.
Adanya paduan suara Dialita seolah memberi kesempatan kedua bagi suara dari dalam jeruji yang sempat terbungkam. “Itu sebuah sejarah. Kita gak usah ngomong soal 65. Lihat Dialita, ibu-ibu, nenek-nenek rambutnya sudah pada putih, sudah ada yang pakai tongkat, berdiri di panggung. Lalu orang bertanya, ‘itu siapa sih? Kok lagu-lagunya aneh ya,’” ujar bu Uchi.
Ada dua rencana Dialita di masa mendatang dipaparkan oleh bu Uchi. Salah satunya adalah pemenuhan undangan di acara-acara seperti di Gereja Komunitas Anugerah, Jakarta untuk perayaan misa Adven. Lalu lebih lanjut, Dialita merencanakan untuk menorehkan sejarah lagu-lagu dari dalam penjara ke dalam sebuah buku—mengundang pihak-pihak lain untuk memberikan umpan balik terhadap proyek tersebut.
Namun yang paling dekat adalah konser ini, konser yang sudah direncanakan sejak awal sejak tiga tahun belakangan. Latihan dimulai dari awal 2017 di beberapa tempat seperti di Jalan Pertani, Jakarta atau di kediaman bu Mega, Ciracas, salah satu anggota Dialita.
Itu saja sudah mengundang was-was, mengingat alergi oknum-oknum terhadap gerakan perawatan ingatan atau, menurut mereka, apapun yang dapat membangkitkan hantu komunisme — seperti yang terlihat di pengepungan kantor Yayasan Lembagan Bantuan Hukum Indonesia September lalu.
Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, membenarkan bila bu Uchi dan anggota-anggota Dialita lainnya memiliki alasan kuat untuk khawatir. “Memang seringkali terjadi aksi-aksi pelarangan atas kegiatan yang menghadirkan penampilan mereka. Kasus pelarangan terakhir terjadi di Hotel Harris, Tebet,” katanya. “Kedua, tahun-tahun yang terakhir ini, pengelola TIM melarang kegiatan yang melibatkan mereka.”
Sepulangnya dari gladi kotor, saya tidak teringat kekhawatiran ini. Saya teringat tebaran senyum dari para ibu yang sedang berlatih lagu encore semisalnya diminta nanti. “Lagi, lagi, lagi!” teriak mereka. Terngiang juga komentar dari bu Uchi yang mengingatkan saya bahwa tiket sudah terjual habis, rangkaian latihan sudah hampir selesai, konser akan terus berjalan: “Kami selalu punya harapan bahwa hari itu, entah kapan, itu akan terjadi sebuah perubahan.”