Pengadilan Distrik Den Haag memutuskan tentara kolonial Belanda bersalah atas eksekusi mati 11 orang pejuang kemerdekaan di Sulawesi Selatan selama kurun 1946-1947. Bersama dengan vonis yang keluar Rabu (25/3) tersebut, pengadilan juga mewajibkan Kerajaan Belanda memberi ganti rugi kepada 12 orang anggota keluarga korban, yang terdiri dari delapan janda dan empat anak korban.
Mereka semua dieksekusi mati atas perintah Raymond Pierre Paul Westerling, kepala pasukan khusus Belanda di masa agresi yang kerap membunuh rakyat sipil tanpa proses peradilan. Para korban dituduh sebagai ekstremis atau perampok yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
Videos by VICE
Total ganti rugi yang harus dibayarkan antara 10 ribu sampai 123 ribu Euro, atau setara Rp177 juta hingga Rp2,1 miliar. “Pengadilan menyatakan telah terbukti sebelas pria ini dibunuh secara keji oleh tentara Belanda, sebab vonis [mati] mereka diputus tanpa menjalani pengadilan yang adil,” demikian bunyi putusan pengadilan dilansir Japan Times.
Juru bicara pengadilan, Hakim Jeanette Honne, mengatakan nominal ganti rugi terbesar bakal diberikan kepada seorang laki-laki yang masih 10 tahun saat menyaksikan langsung ayahnya dibunuh tentara Belanda, meski tidak disebutkan secara spesifik angkanya.
Pihak pengadilan menyatakan, mereka sadar betul nominal ganti rugi ini emang terlalu kecil dan tidak layak kalau dibandingkan dengan rasa sakit dan derita orang akibat pelanggaran HAM tersebut. Tapi menurut mereka, ganti rugi ini dimaksudkan sebagai kompensasi materiil, bukan imateriil. Penghitungannya dilakukan dengan memperkirakan penghasilan para suami yang meninggal pada masa itu, yakni sebesar 100 euro per tahun.
Sebelum vonis ini, di tahun 2011 dan 2013, pengadilan distrik Den Haag pernah memberi vonis yang sama untuk korban dan keluarga korban Agresi Militer dari Jawa Barat, yakni para janda insiden pembantaian Rawa Gede Bekasi, serta pembantaian lain di Sulawesi Selatan. Vonis ini juga tak akan menjadi yang terakhir karena tuntutan-tuntutan sejenis masih menumpuk di pengadilan Belanda.
Selama enam puluh tahun, pemerintah Belanda tak pernah mau mengakui terjadi pelanggaran HAM berat dalam perang kemerdekaan Indonesia. Pengakuan itu baru datang lewat menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot pada 16 Agustus 2005, ini sekaligus berarti Belanda mengakui bahwa Agresi Militer I dan II yang dilancarkan selama 1945-1949 sebagai kejahatan perang.
Kata maaf atas kejahatan perang di masa lalu dari pemimpin tertinggi akhirnya terucap ketika Raja Belanda Willem-Alexander dan istrinya, Ratu Maxima, melakukan kunjungan diplomatik ke Indonesia bulan ini.
“Sejalan dengan pernyataan sebelumnya oleh pemerintah saya, saya ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu,” ujar Raja Willem-Alexander di Istana Bogor, 10 Maret 2020, seperti dikutip BBC Indonesia.
Sejarawan Belanda Marjolein van Pagee tidak terlena oleh permintaan maaf ini. “Saya kaget, tapi tak sepenuhnya syok [bahwa permintaan maaf] hanya untuk [periode] 1945-1949, bukan untuk keseluruhan masa kolonisasi. Dan, ia juga tak menyebut sama sekali soal pengakuan legal [atas kemerdekaan Indonesia] tahun 1945,” kata Marjolein kepada BBC Indonesia.
Di sisi lain, sejarawan Indonesia Asvi Warman Adam menyambut baik permintaan maaf ini. Menurutnya, ini adalah kemajuan dan menunjukkan sikap kenegarawanan. Yang paling penting, menurutnya, pada permintaan maaf ini kerajaan Belanda tidak lagi bilang korban pembunuhan adalah warga negara Belanda, sebagaimana seperti yang sebelumnya diklaim.
“Jadi menurut saya suatu kemajuan ini tidak ditegaskan ini warga Belanda, tapi korban tentara Belanda tahun 1945 sampai 1949,” kata Asvi kepada Kompas.