Bencana Asap Makin Parah, Kampanye Sawit Baik ala Kominfo Tuai Cacian Masyarakat

Bencana Asap Makin Parah, Kampanye Sawit Baik ala Kominfo Tuai Cacian Masyarakat

Kampanye #SawitBaik yang dimotori Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 16 September 2019, tak ubahnya menggarami luka yang sedang menganga. Kominfo meluncurkan akun Twitter @SawitBaikID bekerja sama dengan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), didukung ratusan buzzer media sosial.

Persoalannya, momen kampanye tersebut dimulai bertepatan saat Riau dan banyak wilayah lain di Tanah Air sedang mengalami bencana asap amat parah, salah satunya dipicu kebakaran dari kawasan dekat lahan sawit. Seorang bayi dilaporkan meninggal di Sumatra Selatan akibat gangguan pernapasan karena rumahnya dikepung asap.

Videos by VICE

Sawit kembali kena sorotan negatif dalam kebakaran lahan di Sumatra-Kalimantan. Info soal keanehan pola terbakarnya lahan di kawasan Riau tahun ini, seakan api menghindari area sawit, diutarakan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. “Sudah kami lihat dari helikopter bersama Panglima TNI dan Kepala BNPB, lahan yang sudah jadi perkebunan, baik sawit maupun tanaman industri lainnya, kok tidak ada yang terbakar. Misal pun ada paling hanya sedikit dan di pinggir,” kata Tito seperti dikutip Kompas.

1568717977382-sawit
Foto udara pada 30 Juli 2019 menunjukkan lahan sawit di Kumpeh Ulu, Muarojambi, tidak terbakar, sementara hutan sebelahnya dilalap api. Foto oleh Wahdi Septiawan/Antara Foto/ via Reuters

Citra sawit sebagai tanaman monokultur tak ramah lingkungan, yang sekalipun penting bagi perekonomian Indonesia, jadi perhatian netizen. Banyak pengguna Internet merasa kampanye Sawit Baik tidak sensitif dengan bencana kebakaran hutan dan kabut asap yang sedang melanda Sumatra-Kalimantan sebulan terakhir. Dampak kebakaran tahun ini ditengarai akan menyamai efek merusak insiden pada 2015. Presiden Joko Widodo juga mengakui jajarannya lalai sehingga kebakaran lahan gambut terjadi begitu dahsyat dalam musim kemarau 2019.

“Setiap tahun sebetulnya sudah tidak perlu lagi rapat seperti ini, otomatis menjelang musim kemarau itu semunya harus sudah siap. Sebetulnya itu saja, tetapi ini kita lalai lagi sehingga asapnya jadi membesar,” kata Jokowi yang kemarin terbang ke Pekanbaru, Riau, untuk memantau langsung proses pemadaman kebakaran hutan.

Muncul kemudian respons-respons nyinyir dari netizen untuk mengolok-olok serta menyerang balik kampaye sawit baik.

Lantas, kenapa sampai muncul tagar Sawit Baik? “Gerakan Nasional ini menciptakan dukungan publik di medsos, menjawab berbagai isu negatif terhadap sawit, menyebarluaskan berbagai hal positif dari sawit, menumbuhkan kecintaan terhadap produk sawit, dan terwujudnya partisipasi aktif masyarakat dalam kampanye ini #SawitBaik,” cuit akun tersebut.

Awal pekan ini Kominfo menggelar acara “Influencer meeting #SawitBaik dan Launching Sosial Media Sawitbaik.id”. Pejabat Kominfo, Septriana Tangkary dalam acara tersebut menyatakan para influencer media sosial diharapkan mampu menyebarkan kampanye positif mengenai peran sawit sebagai kekuatan ekonomi Indonesia.

“Sawit pernah masuk dalam 5 penyumbang devisa tertinggi di Indonesia tahun 2017,” kata Septriana.

Sementara itu Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan kampanye ini adalah pertarungan opini. Menurutnya, kampanye negatif soal sawit kerap dilancarkan pihak asing untuk merongrong komoditas negara, sehingga harus dilawan, salah satunya dengan mengerahkan pegiat media sosial.

“Upaya mengkampanyekan hal-hal positif tentang sawit bisa dilakukan melalui media sosial,” kata Misbakhun dalam acara tersebut. “Saya sangat senang Kemenkominfo meluncurkan kampanye #SawitBaik. Sejatinya pertarungan lewat medsos sehingga opini bisa dilawan karena Indonesia salah satu kekuatan di dunia pengguna medsos.”

Bagi Misbakhun, salah satu bentuk kampanye negatif tentang sawit yang selama ini digaungkan adalah industri tanaman penghasil minyak itu telah menyebabkan deforestasi, kebakaran, merusak ekosistem dan gambut.

“Akibat dari kampanye negatif itu, harga tandan buah segar sawit selama beberapa waktu terakhir sangat rendah, yang berimbas terhadap kehidupan petani,” kata Misbakhun.

Kampanye pro-sawit tak cuma dilakukan di dunia maya dan dilakukan oleh Kominfo sendirian. Yang menarik, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telang melarang peredaran produk konsumen berlabel “Bebas Minyak Sawit” sejak Agustus lalu. Maka jika ada barang berlabel Palm Oil Free ditemukan di pasaran, BPOM bilang itu ilegal. Langkah itu juga diambil demi membela daya saing produksi sawit di Indonesia.

“Kami membangun kesepakatan dan komitmen untuk membangun upaya perlindungan terhadap daya saing perdagangan kelapa sawit, dan khususnya menghentikan penggunaan label ‘Palm Oil Free’ yang akan menurunkan daya saing industri kelapa sawit Indonesia,” ucap Kepala BPOM, Penny K Lukito.

Di saat Indonesia tengah mengalami darurat kabut asap, kampanye itu harus diakui melupakan masalah mendasar. Ini bukan persoalan sawit itu baik atau buruk, tapi bagaimana agar mengelola sawit secara bertanggung jawab dari hulu ke hilir. Pemerintah seolah menutup mata dari fakta bahwa sawit tak selamanya membawa kebaikan.

Menurut organisasi Sawit Watch, selama ini pemerintah sulit mengakui bahwa kebakaran hutan terjadi akibat pembukaan lahan sawit. Maryo Saputra Sanudin dari Sawit Watch mengatakan kerap melaporkan fakta dari lapangan terkait ekspansi kebun sawit, namun pemerintah justru menuduh organisasi itu melakukan kampanye hitam.

“Pemerintah kadang susah mengakui bahwa kebakaran lahan itu terjadi untuk kebutuhan lahan sawit,” kata Maryo.


Tonton dokumenter VICE soal industri sawit yang ekstraktif di Indonesia:

https://www.youtube.com/watch?v=7xOPKl169SU

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seharusnya berbicara lebih banyak dari sekadar cuitan influencer dan kampanye Kominfo. Dalam kurun 2015-2017 Indonesia kehilangan 1.6 juta hektare buat ekspansi perkebunan. Dari total itu, 19 persennya hilang akibat konsesi lahan sawit. Luas lahan sawit di Indonesia saat ini lebih dari 14 juta hektare menurut data Kementerian Pertanian, dengan target produksi mencapai 40 juta ton pada 2020.

Alasan kenapa pemerintah Indonesia melancarkan kampanye sawit agaknya mudah ditebak. Pemerintah merasa menjadi korban kampanye hitam anti-sawit yang dilancarkan Uni Eropa dan aktivis. Sejak awal 2018, Uni Eropa bakal meratifikasi “Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources”.

Politisi Uni Eropa berniat membatasi dan akan melarang penggunaan bahan bakar dari makanan dan tanaman yang dianggap sebagai penyebab penggundulan hutan dan kenaikan harga pangan. Konsumsi CPO untuk biofuel atau Bahan Bakar nabati (BBN) akan dibatasi hingga 2023. Selanjutnya, konsumsi CPO untuk biofuel akan dihapuskan secara bertahap hingga menjadi nol persen pada 2030. Tak lupa, September ini Uni Eropa telah memberlakukan bea masuk anti subsidi (BMAS) sebesar 8-18 persen buat produk bio-diesel impor.

Indonesia jelas berang. Sebab Uni Eropa adalah salah satu pengimpor terbesar sawit asal Nusantara. Administrasi Joko Widodo berpendapat bahwa aturan tersebut bersifat diskriminatif dan hanya menguntungkan industri negara-negara Uni Eropa. Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan gugatan ke World Trade Organization (WTO).

Pengamat dari Sawit Watch Andi Indah Patinaware berpendapat pemerintah gagal paham dalam menghadapi ‘perang dagang’ dengan Uni Eropa. Menurutnya keputusan Uni Eropa tersebut adalah kritik supaya tata kelola sawit di Indonesia menjadi lebih baik ke depannya.

“Sebenarnya diskriminasi sawit oleh negara Eropa adalah kritik bagi negara ini sehingga tata kelola sawit harus diperbaiki pemerintah ke depan,” kata Andi pada VICE. “Selain masalah lingkungan, penyelesaian konflik dan redistribusi lahan harus diselesaikan karena itu bagian dari tata kelola sawit.”

Pemerintah mungkin bisa ngeles. Toh, mereka telah memberlakukan moratorium pembukaan lahan sawit sejak era SBY dan ikut kelompok Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak 2004. Tapi para aktivis berpendapat, dua hal tersebut terbukti tak menyelesaikan masalah.

Pemerintahan Jokowi, yang meneruskan program warisan SBY, sudah melakukan moratorium berjilid-jilid sejak 2015, tapi hasilnya tidak bisa diukur jika tak mau dibilang gagal lantaran kurangnya evaluasi. Lembaga lingkungan non-profit Greenpeace mencatat 2.7 juta hektare lahan justru hilang selama pemberlakuan moratorium.

Sementara RSPO, yang punya misi buat menghentikan eksploitasi HAM, menghentikan deforestasi, dan menyetop konversi gambut, telah dinilai gagal dalam menyelesaikan setumpuk masalah terkait konflik antara korporasi dan masyarakat.

Pemerintah jadi terkesan delusional ketika meluncurkan kampanye medsos tersebut. Alih-alih berkaca dan membenahi karut marut sektor perkebunan sawit, pemerintah dianggap aktivis abai terhadap fakta dan melancarkan kampanye yang tak cuma salah waktu, tapi juga melupakan persoalan mendasar.

Pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah sebelum berani berkampanye bahwa sawit itu baik. Selama segudang permasalahan itu belum dituntaskan, minyak sawit Indonesia adalah kotor. Tanaman Sawit memang baik lah, selama sistem manajemen pengelolaannya terhadap lingkungan sekitar juga dikawal dengan baik.