Tulisan ini tentu harus dimulai dari pembahasaan video viral beberapa hari lalu. Alkisah, Tavipuddin (54) memutuskan untuk kabur saat mobilnya ditilang Bripka Eka karena parkir sembarangan di trotoar Jalan Pasar Minggu Raya, Jakarta Selatan. Tidak mau kena denda bukti pelanggaran (tilang), Tavip memundurkan mobil sebagai ancang-ancang dalam skenario pelarian diri.
Sadar akan niat Tavip, Eka langsung naik ke atas kap mobil Honda Mobilio tersebut supaya Tavip nggak lepas. Tavip yang tetap ngotot menginjak pedal gas membuat Eka harus tengkurap di kap mobil sambil berpegangan agar tidak jatuh. Maka terjadilah insiden yang akan terus dikenang ini.
Videos by VICE
Mobil melaju 200 meter dengan posisi horor demikian sebelum akhirnya berhenti dan menabrak mobil lain. Surat tilang yang harusnya diterima Tavip berubah menjadi ancaman pidana kekerasan terhadap aparat akibat peristiwa itu. Untung, pada akhirnya kasus berakhir damai setelah Tavip menyampaikan permohonan maaf terbuka kepada masyarakat dan Eka memaafkannya.
“Saya meminta maaf kepada masyarakat khususnya kepada Bripka Eka yang telah mungkin menjadi korban walaupun tidak terluka….Saya minta masyarakat untuk tidak meniru apa yang sudah saya perbuat. Apa yang saya lakukan adalah salah. Saya minta maaf sedalam-dalamnya dan sebesar-besarnya,” ujar Tavip sembari menangis, dilansir Detik.
Apa yang dilakukan Eka bukanlah yang pertama kali terjadi. Terobosan baru cara menangkap pengemudi bandel ini sebelumnya sudah dilakukan Brigadir Natan Doris, polantas Bandung, secara tidak sengaja. Saya bilang tidak sengaja karena waktu itu Natan emang ditabrak oleh pengemudi yang mau kabur sehingga berada di kap mobil sambil berpegangan, bukan sengaja memosisikan diri di atas kap.
Cara absurd menghindari penilangan juga dilakukan pemuda berumur 20 tahun bernama Muhadi alias Ohang asal Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Namun, bukan kabur cara yang dipilih Ohang untuk menyelamatkan motornya dari penyitaan polisi, melainkan dengan membakarnya. Mungkin Ohang berpikir kalau memang ia ditakdirkan tidak bisa memiliki motornya, orang lain juga tidak boleh.
Kejadian terjadi Sabtu minggu lalu (14/9) saat Ohang mengendarai motor Yamaha Vega tanpa plat sembari berboncengan dengan temannya yang tidak menggunakan helm. Setelah diberhentikan, ternyata diketahui Ohang juga tidak memiliki SIM dan STNK.
Orang tua Ohang, yang memang sedang jalan beriringan bersama Ohang saat itu, melihat anaknya ditilang dan memutuskan meminggirkan kendaraan untuk berkomunikasi dengan polisi terkait penilangan. Nah, saat polisi sibuk berkomunikasi dengan orang tuanya inilah Ohang mendekati motornya, mencabut karburator sehingga bensin berceceran, dan menyulutnya dengan korek api. Saat dimintai keterangan apa visi-misinya melakukan hal tersebut, Ohang mengaku impulsif karena bingung dan panik.
Selain kabur atau melakukan hal ekstrem, ada juga kasus pengendara tertilang yang mencoba peruntungan mengelabui polisi. Di Jakarta Pusat, Rahmat memutuskan menguji coba bakat aktingnya dengan berpura-pura pingsan untuk menghindari penilangan. Ceritanya, saat kena razia kelengkapan surat, Rahmat yang diperiksa mengaku sedang terburu-buru karena ingin pulang kampung.
Tentu alasan ini tidak digubris polisi. Paham rencana A gagal, ia lantas menjalankan rencana B: Kabur dari tempat razia lewat manuver-manuver ala pembalap. Sial, saat eksekusi, keseimbangannya goyah dan ia terjatuh. Saat jatuh itu Rahmat lantas mendapat ilham untuk menjalankan rencana C: pura-pura pingsan.
Polisi, yang tidak termakan akting busuk itu, langsung menggiring Rahmat ke pos polisi untuk melanjutkan proses penilangan. Pada pemeriksaan, Rahmat mengaku takut ditilang karena tidak memiliki SIM. Dalih terburu-buru mau pulang kampung tadi juga cuma akal-akalan.
Masih banyak lagi tingkah laku absurd pengendara menghadapi kepanikan akibat razia polisi lalu lintas: mulai dari membanting-banting motor sampai rusak, memaksa meminjam motor polisi ketika motornya disita, sampai memaksa polisi mengganti earphone seharga Rp700 ribu yang rusak saat bertengkar dengan polisi. Tapi, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para pengendara tanpa surat lengkap ini. Pasalnya, polisi sendiri punya masalah sistemik yang mengakar dalam lembaganya sendiri.
Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada Oktober dua tahun lalu, di dalam tubuh kepolisian banyak sekali praktek pungutan liar (pungli) dan suap. Ia sampai membentuk tim khusus untuk memberantas penyakit turunan di wilayah-wilayah terjangkit seperti tempat pembuatan SIM, STNK, dan BPKP.
“Sudah saya tindak itu, sudah ada penindakan. SIM yang di Bekasi, yang di Tangerang, ada empat kami gali,” kata Tito kepada Tirto. Praktek “nembak” SIM dan STNK dengan harga hampir dua kali lipat malahan sudah diketahui, dan mungkin dimaklumi, oleh seluruh lapisan masyarakat, deh.
Dari laporan Ombudsman tahun 2016, Polri, khususnya polantas, adalah lembaga negara dengan angka pungli dan suap tertinggi, dicirikan dengan mengulur-ngulur pengungkapan kasus dan maladministrasi yang jumlahnya mencapai 51 persen.
Pengukuran kinerja yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia mengatakan, lembaga kepolisian mendapat nilai buruk pada prinsip akuntabilitas, kompetensi, efektivitas, dan keadilan. Hanya prinsip responsif, perilaku, dan transparansi polisi yang memperoleh skor baik. Barangkali survei ini bisa menjelaskan mengapa orang nekat merusak kendaraan atau membiarkan polisi gelantungan di kap mobilnya, daripada kena tilang.