Jalan Terjal Menyelamatkan Arsip Film Klasik Indonesia

Salah satu ruang penyimpanan rol Sinematek. Foto oleh penulis.

Pemandangannya mirip adegan film bencana alam. Ratusan kopi film, beberapa di antaranya karya klasik sutradara masyur Usmar Ismail dan Teguh Karya, disimpan berdesakan dalam rak-rak bawah tanah yang lembab. Salah satu pendingin udara ruangan itu tak berfungsi dan tak pernah diperbaiki. Suhu ruangan mencapai 13 derajat celcius—tiga kali lipat suhu yang direkomendasikan untuk menyimpan rol film. Kondisi beberapa rol film jenis 35mm sangat menyedihkan, gambarnya tak henti bergoyang ketika diputar hingga kurang layak tonton, atau tak bisa dipindai tanpa melewati proses reparasi yang makan banyak dana. Banyak rol ditumpuk begitu saja di lantai.

“Ruangnya ya cuma ini doang,” ujar Firdaus sambil menunjuk flim-film yang dibiarkan tergeletak di lantai ruangan. Firdaus adalah perawat film yang selalu bersikap sangat sopan pada setiap orang yang dia temui. Dia dibayar di bawah UMR bersama satu orang kolega, ditugaskan mengurus arsip-arsip film itu. Mereka berdua bahu-membahu membersihkan 2.700 rol film yang memadati basement Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail tanpa bantuan alat memadai. Tugas Firdaus paling utama membersihkan debu dari rol yang longgar maupun kaleng wadah film tempat rol 35mm disimpan. Di hari-hari tertentu, Firdaus akan membawa kertas biru tipis—sebutannya A-D Strip—menaruhnya di permukaan film buat mengecek tingkat keasamannya.

Videos by VICE

Firdaus menunjukan sepucuk A-D Strip. Besarnya seukuran kertas confetti dan warnanya biru tua. Dia membuka salah satu kaleng film, menunjukkan contoh rol yang telah membusuk (itu rol film Heboh karya Usmar Ismail). Firdaus lantas menempelkan kertas biru di atas rol. Seketika warnanya berubah. Itu pertanda jelek. Artinya rol film ini sudah termakan sindrom cuka—kanker asam yang akan menghancurkan film 35mm tua. Ujung nasib film yang kena penyakit ini adalah selamanya tak bisa ditonton.

“Saya ngalamin zaman Pak Misbach,” tutur Firdaus. “Itu suhu aja, dia minta tujuh (celcius). Suhu naik delapan, besoknya dipanggil, dimarahin Pak Misbach.”

Misbach Yusa Biran, sutradara sekaligus pengarsip film sempat menjabat sebagai ketua Sinematek Indonesia.

Basement ini berfungsi sebagai gudang Sinematek Indonesia—satu-satunya lembaga pengarsip film populer di Indonesia. Lembaga nirlaba tersebut didirikan pada 1975 oleh Misbach dan S.M Ardan sebagai kelanjutan proyek yang digagas Dewan Kesenian Jakarta. Gubernur Jakarta kala itu, Ali Sadikin, mengendus rencana para seniman, lantas menyediakan pendanaan dari kas Pemerintah DKI untuk mewujudkannya. Dukungan semacam ini bukan suatu yang aneh di zaman Ali Sadikin. “Menurut Ali” kata Alex Sihar, eksekutif produser sebuah rumah produksi SA Films, mengutip ulang pemikiran mantan gubernur DKI legendaris itu, “kota yang makmur itu punya banyak museum.”

Sinematek beberapa tahun belakangan berada di ujung tanduk, setelah terjadi perubahan peraturan yang menghapus penyedia sumber dana utama operasional lembaga itu: pemerintah. Alhasil seluruh koleksi film yang disimpan di basement Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, begitu terbengkalai. Arsip terbaik warisan film negara kita menghadapi satu nasib menyedihkan: terancam hilang begitu saja.

Firdaus memamerkan poster film klasik yang dimiliki Sinematek. Foto oleh penulis.

Enam tahun lalu, jurnalis film JB Kristanto bersama rekan editor Lisabona Rahman membuat situs berdasarkan buku Katalog Film Indonesia 2008—sebuah katalog yang awalnya disusun Kristanto, mencatat semua film Indonesia yang dirilis sepanjang kurun 1926 hingga 2008. Suatu ketika Philip Cheah dari Museum Nasional Singapura menawarkan dana bantuan menerjemahkan buku JB Kristianto ke dalam bahasa Inggris. Alih-alih memanfaatkan dana itu mengalihbahasakan buku mereka, Kristanto dan Lisabona menggunakannya sebagai modal membuat situs.

Selanjutnya, Cheah ingin memutar sebuah film indonesia yang bersifat restrospektif. Kristanto lalu memilih karya klasik Usmar Ismail yang dirilis pada 1954, Lewat Djam Malam—film Indonesia terbaik sepanjang masa versi JB Kristanto setelah menelusuri ulang katalognya.

Lisabona menemukan satu kopi film legendaris itu di Sinematek. Lewat Djam Malam ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Bermacam jenis kerusakan menimpa rol film ini. “Ada beberapa kerusakan dalam elemen filmnya, mulai dari goresan, jamur dan tanda-tanda, bagian yang hancur parah, frame yang hilang dan sindrom cuka, bentuk pembusukan khas pada film yang disimpan di tempat yang lembap,” tulis Lintang Gitomaryo dari Yayasan Konfiden dalam booklet Lewat Djam Malam yang hasil restorasinya dirilis kembali pada 2012.

Kenyataan tersebut sangatlah ironis. Salah satu film paling penting dalam sejarah sinema Indonesia—koleksi penting dalam warisan seni bangsa kita—dibiarkan membusuk di basement sebuah bangunan yang namanya didasarkan pada sang sutradara legendaris itu sendiri.

“Waktu lihat reel Lewat Djam Malam, [saya] tidak syok karena saya tidak tahu bagaimana,” ujar Lintang. “Paling kaget gara-gara bau asamnya cukup menusuk hidung. Setelah baca catatan perawatan Sinematek dan laporan inspeksi lab Bologna [L’immagine Ritrovata] , saya baru tahu kalau yang saya lihat itu reel yang tidak sehat.”

Lewat Djam Malam yang mengulik kondisi psikologis seorang pejuang pasca peperangan merebut kemerdekaan, adalah mahakarya di awal-awal tumbuhnya industri perfilman Indonesia. Usmar berhasil merekam sisi-sisi gelap di balik perang kemerdekaan melalui rol 35mm, selamanya mengubah lanskap sinema Indonesia. “Sejarah perfilman Indonesia tak bisa ditulis tanpa menyertakan biografi Usmar Ismail,” ucap Asrul Sani, sutradara dan penulis skenario Lewat Djam Malam.

Tim pencari akhirnya menemukan semua kopi negatif Lewat Djam Malam, meski kopi suara sempat tak kunjung ditemukan. Tak satupun rol film yang ditemukan layak putar. Butuh waktu nyaris delapan bulan, disokong dana sebesar $148.000 (hampir Rp 2 miliar) sampai akhirnya film bersejarah ini selesai direstorisasi. Proses restorasi Lewat Djam Malam dikerjaan oleh L’immagine Ritrovata, sebuah laboratorium restorasi kesohor yang pernah ‘memulihkan’ arsip film Buster Keaton dan film laga Hong Kong dari dekade 1980-an. Biaya restorasi Lewat Djam Malam pada akhirnya ditanggung oleh Museum Nasional Singapura bersama World Cinema Foundation bentukan sutradara Amerika Serikat, Martin Scorcese.

L’immagine Ritrovata belakangan kembali menangani karya klasik Usmar Ismail lainnya, memberinya resolusi 4K, Tiga Dara. Kali ini, proses restorasi memakan waktu 17 bulan serta dana sebesar $260.000 (setara Rp3,5 miliar)—L’immagine Ritrovata kali ini hanya fokus dengan tugas merestori. Sementara digitalisasi Tiga Dara ditangani PT Render Digital Indonesia. Tiga Dara dirilis ulang Agustus 2016. Di akhir agustus, film klasik ini sudah meraup 26.373 penonton—capaian yang luar biasa dibandingkan penonton hasil restorasi Lewat Djam Malam (hanya 5.000 penonton). Tetap saja, jumlah itupun belum bisa menutup biaya restorasi.

Alex Sihar ambil bagian dalam kedua proyek restorasi tersebut. Dia membagikan pengalamannya dalam satu sesi konferensi TEDx Jakarta. Alex mengatakan film adalah bagian dari sejarah Indonesia. Yang menarik, presentasi Alex berlangsung tak lebih dari satu menit.

Dia sekadar memamerkan sebuah seluloid keriting dalam kondisi mengenaskan. Sambil menarik nafas berat, dia melontarkan sebuah pertanyaan “Itu kan sejarah gue. Kok begitu bentuknya?”

Restorasi Film adalah kerja yang merepotkan sekaligus melelahkan. Merujuk Panduan Preservasi Film yang diterbitkan oleh National Film Preservation Foundation yang bermarkas di San Fransisco, AS, proses restorasi film mencakup “perbandingan semua sumber material yang bisa ditemukan, menyusun semua footage dari berbagai sumber film berdasarkan catatan produksi dan sejarah penayangannya. Dalam beberapa kasus, proses ini mencakup perbaikan suara dan gambar guna mengimbangi bagian yang rusak di masa lalu.” Singkatnya, bagi banyak orang, restorasi adalah kuncian terakhir menyelamatkan film yang hampir ditelan sejarah.

“Restorasi itu kayak operasi jantung nyet,” ujar Alex. “Ngapain lo kerjain kalau lo gak butuh?”

Pertanyaan lanjutannya lebih penting lagi: Buat apa-apa repot menghabiskan banyak uang melakukan restorasi jika penonton film Indonesia malas menonton hasilnya? Film lokal terlaris pada 2016 adalah Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1, sebuah daur ulang sekaligus penghormatan terhadap seri komedi klasik Warkop, yang berhasil menjual 6,8 juta tiket. Ongkos restorasi Tiga Dara tak lebih dari seperlima anggaran produksi Warkop DKI Reborn. Nyatanya restorasi film komersil Usmar Ismail itu tetap jeblok di pasaran.

“Di satu sisi, yang kami sedang kerjakan juga melakukan eksperimentasi atas pembiayaan restorasi,” tutur Alex. “Waktu kita (mengerjakan) Lewat Djam Malam, kami belajar logika funding grant internasional buat restorasi. Kami pelajari keterbatasannya, masalah rights, segala macem.”

Proses digitalisasi Darah dan Doa — juga karya Usmar Ismail—dua tahun lalu memperoleh pendanaan penuh dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan. Namun, ada masalah signifikan terkait skema restorasi yang dibiayai oleh pemerintah.

“Gak bisa dikomersialkan,” kata Alex. “Terus buat apa lo bikin terus gak bisa ditonton orang?”

Alhasill, Alex mengubah strateginya saat menangani Tiga Dara. Kali ini, Dia berpaling pada investor dan sponsorship.

“Sekarang gue udah ngerti logikanya tiga jenis pembiayaan itu,” katanya.

Ada alasan di balik pemilihan Tiga Dara. Terutama karena film itu semacam bentuk kompromi malas-malasan Usmar terhadap pasar film arus utama di masanya. Tiga Dara gampang dinikmati, temanya sederhana dan sangat menyentuh.

Di titik ini, jelas belaka bahwa ungkapan “kami gak cuma pengen nyari untung” bukanlah sebuah kalimat pemanis bibir belaka. “Bahwa ujungnya bukan untuk menghasilkan uang, gue setuju.” jelas Alex. “Tapi komersialisasi bukan berarti untuk menghasilkan laba. Buat nutup modal. Komersialisasi kan cuman metode.”

Lisabona Rahman, inisiator proyek restorasi Tiga Dara lebih suka menyerahkan segala prosesnya ke pemerintah. Sebab baginya itu opsi yang pasti diamini pula oleh mendiang Misbach. Pendanaan publik dapat memastikan bahwa film yang direstorasi “bukan hanya film-film komersil, tapi juga film yang secara estetis keren dan penting bagi sejarah Indonesia.”

“Selain itu,” lanjut Lisabona, “kalau institusinya publik, ada tuntutan transparansi dalam manajemennya. Tidak seperti sekarang, apa yang terjadi di dalam Sinematek Indonesia (SI) dan kebijakan-kebijakan yang diambil tidak terpantau oleh publik meskipun dalam kenyataannya ada banyak judul di dalam koleksi SI yang merupakan hak milik publik, yaitu film-film yang dibuat sampai dengan tahun 1960-an.”

Lantas, akankah bangsa Indonesia merasa kehilangan jika film-film yang dianggap penting itu tak diselamatkan? Sinematek memiliki katalog film-film yang penting bagi budaya Indonesia. Namun mengingat beragam masalah yang dihadapi pemerintah, apakah usaha menyelamatkan film-film klasik pantas mendapatkan pendanaan dari negara?

Ketua Sinematek Adisoerya Abdi percaya banyak pihak di negara ini belum menyadari pentingnya usaha penyelamatan sejarah sinema di Indonesia.

“Biasanya, restorasi film adalah kebutuhan negara yang sudah mapan, dengan penduduk yang sudah mapan. Tuntutan kepuasan berikutnya adalah hal-hal yang menyangkut tentang apa dan siapa diri mereka pada masa lalu,” katanya. “Karena mereka sudah tidak lagi terjebak dengan persoalan bagaimana saya makan, bagaimana saya bekerja, bagaimana saya mempunyai rumah. Tapi kan negara kita masih kadang-kadang tiba tiba tersadar oh iya ini perlu, tapi yang lain lebih perlu. Ya itu persoalannya.”

Lisabona memiliki pendapat berbeda. Baginya, budaya dan sejarah sangat menentukan corak identitas nasional suatu bangsa. Jika karya sutradara sekaliber Usmar Ismail dibiarkan hilang atau rusak, maka raib pula bagian sejarah yang bicara tentang ketakutan, keragu-raguan, harapan dan mimpi-mimpi pada suatu masa.

“Sejarah dan budaya itu kebutuhan rohaniah dasar manusia dari kelas manapun karena ini yang mendefinisikan identitasnya. Selain itu negara Indonesia ini perekonomiannya cukup stabil, tapi belum efisien pengelolaannya.”

Saya mendadak teringat film Darah dan Doa karya Usmar yang berkisah tentang Sudarto, seorang letnan Divisi Siliwangi yang sedang melakoni long march ke Jawa Timur. Film ini dianggap sebagai film “Indonesia” pertama, selain membuktikan ketrampilan teknis Usmar membuat film, karya tersebut sekaligus menunjukkan kepekaannya terhadap realitas sekitarnya—masa sementara yang kelak menjadi sejarah Indonesia. Di sebuah artikel Majalah Intisari yang terbit 1963, sang sutradara menulis, “Saja tertarik kepada kisah Sudarto, karena mentjeritakan dengan setjara djudjur kisah manusia Indonesia dengan tidak djatuh mendjadi film propaganda jang murah.”

Kutipan esai Usmar berputar-putar di kepala saya—cerita macam apa yang bisa menarik perhatian seorang jenius? Apa pentingnya buat kita sekarang? Saya bertanya kepada Alex, “Setelah pusing, (mengalami banyak) masalah, ngeluaran biaya, kok lo masih mau sih??”

Dia terdiam sejenak. Lalu dia balik bertanya pada saya, “Lo orang mana?”

“Indonesia.”

“Keluarga lo orang mana?”

“Dari Indonesia.”

“Identitas Indonesia lo dari mana?”

“Tanah kelahiran gue, bahasa yang gue ngomong, KTP yang ada di dompet.”

“Tanah lo ilang, lo mau ngapain?”

Saya menjawab balik, tapi sepertinya kurang meyakinkan. “Take it back?”

“Why? Udah rugi loh.” Lalu Alex memberikan jawaban pamungkasnya. “Yang bikin definisi kita sebagai Indonesia kan barang-barang itu semua,” imbuhnya. “Kita tuh generasi pemulung sejarah, kita dikasih pecahan-pecahan yang kita musti rangkai sendiri, tebak-tebakan tentang ‘kita itu siapa’.”

Hening yang menyelinap di antara percakapan kami bertambah panjang.