Berlumur Darah Bersama Ratu Gore Indonesia Kumalasari Tanara

Di dalam lemari Kumalasari Tanara, tertata rapi benda-benda koleksi yang mencolok itu: potongan anggota tubuh, tong penuh bahan kimia, dan jeriken-jeriken berisi “darah segar.”

Dia mempunyai koleksi penggalan kepala yang sudah babak belur, beberapa dus bertuliskan “mini skulls,” (tengkorak mini) dan “old wounds” (borok). Biarpun begitu, Kumalasari – yang bertanggung jawab atas efek khusus di rumah produksi Pabrik Darah – merasa bukan seorang maniak kekerasan dan hal-hal sadis.

Videos by VICE

“[Membuat film] gore bukan berarti kita freak maniac yang nonton-nya cuman gore,” kata Sari. “Kita menghargai seninya aja sih sebenernya.”

Kumalasari, biasa dipanggil Sari, adalah perempuan yang bertanggung jawab atas banyak adegan sadis, menjijikan, sekaligus penuh darah di film-film Indonesia yang meramaikan bioskop kita beberapa waktu belakangan. Dia mampu memvisualisasikan hidung patah agar terkesan sungguhan, dan dia tahu cara terbaik membuat efek mata bengkak. Sari – untuk memperjelas portofolionya – adalah orang di balik efek kepala yang terpancung dalam Rumah Dara, muka babak belur karakter The Raid, dan adegan penyiksaan dalam Killers. Lucunya, karir Sari dalam dunia penuh darah ini bermula dari obsesinya terhadap produk kecantikan milik sang ibu.

Ketika masih belia, Sari sering mengutil makeup ibunya dan bereksperimen dengan bermacam warna. Sari kadang merias wajah dan temannya agar terlihat babak belur guna menakuti para tetangga.

Kumalasari Tanara berpose di depan lemari berisi darah palsu. Semua foto diambil oleh Ilyas Lawrence

“Seru banget bikin makeup untuk bocah-bocah [lain], kesannya [mereka] jadi kayak memar-memar gitu,” seru Sari. “Teriak-teriak rusuh orang pikir kecelakaan jatuh.”

Sari belajar dari para ahli-ahli gore: Tom Savini (pencipta Night of the Living Dead) dan Rick Backer (pemenang Academy Award untuk film An American Werewolf in London) sebelum akhirnya pindah ke Jerman memperdalam keterampilan merias wajah, mencakup beauty makeup, prostetik, hingga efek spesial.

“Gua soalnya orangnya engga jijikan,” kata Sari.

Pada 2008, Sari diperkenalkan kepada sutradara Timo Tjahjanto yang sedang mencari seniman efek khusus untuk membantu produksi Rumah Dara. Film ini merupakan cerita mengerikan tentang sebuah keluarga kanibal, mengingatkan kita pada plot klasik “wisatawan dalam bahaya” seperti film-film horor Amerika Serikat di era 1970-an.

Timo ingin adegan sadis yang tidak terkesan main-main di filmnya. Ambil contoh, di Rumah Dara, kepala Arifin Putra benar-benar tercabut dari tubuhnya, Julie Estelle bermandikan darah, dan tubuh Dendy Subangil habis dicincang.

Sari pada akhirnya mengerjakan efek khusus film ini seorang diri. Perempuan kelahiran 12 Desember 1983 itu sempat kesulitan mendapatkan bahan kimia dan material ideal untuk mewujudkan visi-visi sadis sesuai permintaan Timo. Di hari-hari tertentu, kadang Sari dibantu dua orang asisten mencari formula kimia memakai prinsip DIY yang pas, mencari pengganti bahan-bahan yang tidak tersedia.

“Gua awal mulainya aja repot,” ujar Sari. “Dari toko chemical satu ke chemical yang lain, muter-muter. They don’t sell this stuff.”

Menciptakan darah palsu yang pas – tidak kelihatan murahan saat direkam – adalah salah satu keterampilan paling sulit dipelajari. Darah untuk film harus mempunyai kadar warna merah spesifik dan konsistensi yang tepat supaya tidak pudar ketika proses syuting berlangsung lama.

“[Darahnya] sengaja gua bikin lebih kentel,” ungkap Sari. “Kalo enggak kita jaga continuity-nya setengah mati, dan dia [akan] terlalu cepat ngalir kan? Yang ada bleber dong, belum ngapa-ngapain udah berantakan semuanya.”

Darah palsu, menurut Sari, tak bisa memakai bahan sungguhan karena tak tahan lama dipakai syuting.

Sari menolak rumor yang mengatakan sebagian film laga dan horor Indonesia menggunakan darah binatang. Sari membeberkan sebetulnya mustahil menggunakan darah sungguhan saat syuting. “[Darah beneran] itu amis, bau, dilalerin. No, that’s disgusting,” ujarnya.

Sari menghabiskan waktu berjam-jam ketika melakukan riset untuk sebuah proyek. Dia harus berulang-ulang kali bereksperimen dengan model mayat dan hasil autopsi sebelum akhirnya bisa mulai meracik detail adegan sadisnya agar tampak meyakinkan.

“[When] you’re in the industry for so long, lo [jadi] biasa ngerjain kayak gitu,” ujar Sari. “Orang itu belum paham kalo misalnya effects tuh gak yang cuman asal jadi, ada proses panjang yang harus kita lakukan.”

Sari sedang menyiapkan efek luka terlihat sungguhan.

“Pernah ada yang minta [kenang-kenangan]?” kata saya menimpali, tentang hasil kerjanya yang sebetulnya cukup layak dikoleksi. Sari baru saja menyelesaikan proyek Headshot, film terbaru dari Timo. Rencananya Headshot akan tayang pada Desember 2016.

“Film yang kemaren ada yang minta sih,” ujar Sari sambil tersenyum. “Yang minta mamanya malah. Aku nyetak muka cewe, mirip dia. Terus [dia] kayak ‘Ah kita beli aja, kita buat takutin papa kamu’ so…okay… (tertawa). Ancur juga nih, mamanya rusuh.”

Keadaan industri perfilman Indonesia yang sedang berkembang membuat Sari tidak pernah kehabisan pekerjaan. Padahal film-film Hollywood mahal di AS kini memilih menggunakan efek komputer (CGI), daripada menerapkan efek khusus gaya lama untuk menghemat budget. Sebaliknya, tren menggairahkan terjadi di industri perfilman Indonesia yang sedang ramai-ramainya – terbukti dengan kemampuan film-film produksi lokal menembus rekor box office dalam negeri – sepuluh tahun terakhir.

Kendati demikian, anggaran dan keterbatasan lain yang dialami banyak film lokal membuat produser tidak berusaha menghindari industri perfilman Paman Sam. Secara tidak langsung, talenta Sari adalah kompromi terbaik bagi pelaku film Indonesia untuk mendapat efek visual yang tak kalah dari CGI.

“[Kita] masih jauh, karena budget untuk CGI lebih mahal daripada practical effects, sesederhana itu saja,” ujar Sari. “Kadang-kadang buat effects pun masih susah juga budgetnya.”

Ketika tidak sibuk membuat adegan sadis di film, Sari bekerja sebagai konsultan tata rias wajah. Pekerjaan sampingan itu caranya menyeimbangkan sisi aneh sekaligus cantik dari pekerjaannya. “Lo bisa dapet model orang kulitnya ancur banget, tapi lo harus bikin [dia terlihat seperti] natural beauty.

“Beauty makeup pun gua bilang ada challengenya tersendiri,” ujarnya.

Sari sangat menikmati seni rias yang tampaknya bertolak belakang. Dan dia berniat terus menjalaninya beriringan. “Seru kalau kita bisa nyiptain sesuatu dan kita bisa share sama orang lain.”