Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.
Waktu itu saya berumur 26 tahun. Saya menyaksikan kompleksi warna kulit saya berubah gelap menjadi abu-abu, kemudian hitam. Daging saya lepas dari kulit, jatuh ke tanah dan diserap oleh bumi. Kemudian saya hanya tersisa tulang. Lalu, tulang saya pun keropos menjadi bubuk yang hilang disapu angin. Saya sudah tidak ada lagi di sana. Tubuh saya telah menjadi satu dengan bumi.
Videos by VICE
Ini adalah sebuah panduan meditasi kematian, dipimpin oleh seorang biksu Buddha, yang saya hadiri di awal 2000-an. Reaksi saya saat itu sangat kuat. Jijik. Cemas. Takut. Dan dalam level tertentu, saya tidak paham. Saya masih mudah, sehat dan cantik, dan saya yakin saya tidak akan meninggal dalam waktu dekat. Kalaupun ada kemungkinan, paling karena sebuah kecelakaan yang brutal. Saya tidak akan menyaksikan proses pembusukan tubuh saya menjadi satu dengan bumi secara perlahan-lahan.
Saya menganggap pengalaman saya tersebut sebagai hal yang aneh dan melupakannya dari pikiran, sama seperti apa yang kita lakukan dengan pikiran tentang ajal kita sendiri. Gak dipikirin kan? Paling yang dipikirin unsur logistik dan hukumnya: Siapa yang akan mewarisi harta saya? Yang ngurusin kucing-kucing nanti siapa? Proses pembusukan tubuh kita bukanlah urusan kita. Biar saja para ahli profesional yang mengurusnya secara kimia.
Namun faktanya, tubuh kita mengalami proses pembusukan secara konstan. Kita selalu bergerak ke satu arah: menuju kematian. Manusia belum menemukan cara untuk bergerak ke arah yang berlawanan. Ini berlaku bagi kita semua. “Dua kesamaan yang kita semua miliki adalah kehidupan dan kematian,” ujar guru meditasi saya, Susan Piver, pendiri Open Heart Project. “Namun kedua hal ini—dilahirkan dan meninggal—tetap menjadi aspek kehidupan yang paling misterius dan luar biasa.” Misteri kehidupan yang paling mendalam, dengan kata lain, adalah justru yang paling umum, dan maka dari itu mudah diabaikan ketika mereka tidak menimpa kita atau seseorang yang kita sayangi.
Namun sama seperti banyak hal lainnya yang kita hindari, budaya kita yang cenderung menghindari pemikiran tentang kematian justru tidak membantu sama sekali. Faktanya, ini justru merugikan kita. Bukan berarti kamu akan berpeluang lebih besar mati apabila memikirkan tentang kematian, malah ironisnya, memikirkan tentang kematian bisa membuat kamu lebih bahagia.
Sebuah penelitian dari University of Kentucky menemukan bahwa “memikirkan tentang kematian membuat kamu berorientasi ke stimuli yang menyenangkan secara emosional.” Penelitian yang dilakukan oleh C.Nathan DeWall dan Roy F. Baumeister tersebut menemukan bahwa “ini terjadi di luar kesadaran kita, fakta yang berkontribusi terhadap kegagalan seseorang memprediksi seberapa cepat mereka akan pulih dari kejadian yang tidak menyenangkan. Kami telah membuktikan bahwa respon yang umum terhadap perenungan kematian adalah orientasi tidak sadar terhadap pemikiran yang menyenangkan.”
Bahasa gampangnya: Kita berpikir bahwa merenungkan kematian akan membuat kita galau, tapi faktanya, ini malah justru bisa membuat kita merasa lebih bahagia. Namun pikiran kita tidak menyadari hal ini, jadi kita secara sadar kita selalu menghindari pemikiran tentang kematian.
Norma kultural ini tidak universal. Warga Bhutan, yang sering didaulat sebagai orang-orang paling bahagia di planet bumi, memikirkan kematian lima kali sehari. Dan praktek meditasi kematian ini sudah umum di kalangan penganut agama Buddha. Ini disebut Maranasati, atau menurut pengakuan Buddha, “Dari semua jejak kaki, milik gajah adalah yang paling unggul. Mirip dengan itu, dari semua meditasi kesadaran, kesadaran kematian adalah yang paling unggul.”
“Saya merasa meditasi kematian bisa membuat kita semua lebih bahagia,” ujar guru meditasi Buddha dan penulis buku best-seller Sharon Salzberg, “Kita bisa merasa terbebas dari berbagai gangguan dalam hidup dan kagum akan keajaiban kehidupan dan waktu yang kita miliki. Kalau kita menyadari betapa percumanya berusaha bersikeras, kita bisa merasa lebih harmonis dengan alur perubahan.” Kita bisa melawan kecenderungan masyarakat bahwa ‘kita harus selalu berusaha mengontrol semuanya setiap saat,’ ujarnya.
Dalam sebuah sesi meditasi yang dipimpin oleh Haiyan Khan dari Swan River Community Center di New Orleans, kami diminta untuk membayangkan seperti apa rasanya menerima pesan bahwa kami akan meninggal dalam waktu setahun, enam bulan, satu bulan, dan satu hari. Kami diminta untuk berkontemplasi tentang apa yang akan kami lakukan dalam sisa waktu tersebut, dengan siapa kita akan menghabiskan waktu, dan ke mana kita ingin pergi.
Usai meditasi tersebut, saya merasa baru saja mengalami cek realitas. Saya menjadi sadar bahwa bukan saja saya tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang kapan saya akan meninggal, tapi merenungkan kemungkinan saya bisa mati kapan saja mengubah prioritas saya besar-besaran. Apabila diberikan waktu setahun untuk hidup, saya ingin mengunjungi banyak tempat, mengucapkan pamit ke semua orang, dan mengubah hidup saya secara dramatis. Apabila diberikan satu hari, saya ingin berjalan-jalan di samping sungai bersama anjing saya dan menikmati kehidupan yang saya miliki.
“Ketika dihadapkan dengan kematian, kamu melihat segala sesuatu dengan perspektif baru,” ujar Lisa Cohen, seorang profesor klinik psikiater di Mouth Sinai Beth Israle. “Ini membantumu melihat apa yang benar-benar penting dan mana yang tidak. Hal yang berhubungan dengan status, harga diri, atau penanda status menjadi tidak penting dan kamu berfokus ke hal yang benar-benar menjadi prioritas. Ini biasanya hubungan dengan sesama, menemukan makna hidup, dan berkontribusi ke masyarakat. Ada manfaat dari mengkonfrontasi kematian dalam takaran tertentu.”
Cohen langsung mengkoreksi pernyataan ini: “Terlalu tergesa-gesa untuk berpikir bahwa mengkonfrontasi kematian secara otomatis menghasilkan pengembangan diri dan tanpa efek negatif. Realitanya, kematian itu mengerikan.” Dan biarpun warga Bhutan mungkin menemukan kebahagian dengan cara mengkonfrontasi kematian, Cohen mengatakan bahwa kebahagiaan didapat dengan cara yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Kita mungkin tidak bisa sekedar meniru praktek budaya yang jauh berbeda dengan milik kita sendiri dan mendapatkan hasil yang sama.
Meditasi kematian Buddha tradisional, misalnya, kadang melibatkan visualisasi pembusukan dari tubuh kita. Bagi banyak orang lain, ini adalah konsep yang asing. Kita tidak memiliki pengalaman melihat proses pembusukan tubuh manusia. Ada juga meditasi kematian Buddha tradisional lainnya yang lebih tidak ekstrem. Dalam Meditasi Kematian Sembilan Titik Kadampa, pelaku pelan-pelan merenungkan kepastian kematian sebelum memikirkan kepastian kematian sendiri. Ini bisa berlangsung selama beberapa sesi, dan memberikan praktikus waktu untuk menerima kematian.
Setelah menyadari bahwa kematian adalah hal yang pasti, kamu merenungkan ketidakmungkinan mengetahui kapan ajal akan menjemput, kemudian melakukan meditasi kesadaran spiritual karena menyadari itu adalah satu-satunya hal yang mungkin bisa “membantumu” melalui kematian. Meditator dipandu untuk bisa menerima kematian mereka sendiri dan waktunya yang tidak bisa diprediksi dan masuk ke ranah pelatihan spiritual sebagai alat untuk melalui semua itu. Pengalamannya berubah dari teoretis menjadi praktis.
Namun tetap saja, meditasi kematian bisa berbahaya secara psikologis bagi beberapa orang. Anak kecil, jelas Cohen, tidak memiliki konteks untuk mengerti konsep kematian. Dan baik Piver dan Cohen setuju bahwa kontemplasi kematian harus dihindari oleh mereka yang mengidap trauma atau ketidakstabilan psikologis.
Biarpun meditasi kematian bisa menjadi praktek yang transformatif, ini bukan sesuatu yang bisa kita lakukan tanpa pertimbangan matang-matang. Mungkin tidak ada waktu yang tepat untuk mati, tapi ada waktu yang lebih dan kurang tepat untuk merenungkannya.
Kalau kamu merasa siap dan terbuka dengan konsep ini, berikut panduan perenungan kematian dengan tingkat trauma rendah. Saya menggunakan pengalaman saya sendiri dengan meditasi kematian sebagai panduan untuk menulis ini.
Ambil buku catatan atau komputermu ke tempat di mana kamu memiliki akses ke orang-orang tapi juga sedikit privasi. Misalnya taman atau kedai kopi, atau bisa juga kamar sendiri ketika ada orang lain di rumah. Kondisi semi-privasi ini sangat penting apabila kamu mulai menjadi cemas. Praktek ini bukan sepenuhnya meditasi. Kamu tidak harus duduk tegak dan membayangkan mayatmu sendiri. Ini adalah latihan untuk membantumu lebih menerima realita.
Lengkapi kalimat-kalimat berikut:
– Kalau saya memiliki satu tahun tersisa untuk hidup, saya akan…
– Kalau saya memiliki enam bulan tersisa untuk hidup, saya akan…
– Kalau saya memiliki satu bulan tersisa untuk hidup, saya akan…
– Kalau saya memiliki satu minggu tersisa untuk hidup, saya akan…
– Kalau saya memiliki satu hari tersisa untuk hidup, saya akan…
Baca responmu dan jawab pertanyaan-pertanyaan ini:
– Bagaimana prioritas dan aktivitasmu berubah seiring waktu yang tersisa berkurang?
– Apa yang secara konsisten penting bagimu dari semua waktu tersebut?
– Apa yang kamu lakukan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak masuk jawaban?
Kalau kamu ingin melakukan meditasi kematian Buddha tradisional, kamu sebaiknya lakukan ini dengan bantuan seorang pemandu atau guru. Untuk mensimulasi meditasi ini, temukan tempat yang nyaman dan penuh privasi di mana kamu bisa duduk atau berbaring. Matamu boleh tertutup atau terbuka. Fokus ke pernapasan dan lakukan ini selama beberapa menit. Kemudian, visualisasikan banyaknya orang yang menghuni planet kita. Sadari bahwa setiap orang ini akan meninggal. Ini tidak bisa ditawar. Lalu, bayangkan seseorang yang kamu kenal dan sayangi. Sadari bahwa mereka juga akan meninggal. Ini tidak bisa ditawar. Perhatikan dan biarkan dirimu mengalami emosi meningkat, tapi biarkan emosi ini lewat.
Kemudian, bayangkan realita bahwa kamu juga akan meninggal. Ini tidak bisa ditawar. Kamu tidak tahu kapan atau bagaimana ini akan terjadi. Perhatikan dan biarkan dirimu merasakan emosi yang meluap. Ambil waktu sejenak untuk memikirkan bagaimana kamu bisa menggunakan informasi ini untuk memperbaiki hidupmu.
Buka matamu dan berhenti bermeditasi. Ambil beberapa menit untuk melakukan refleksi, entah dengan cara menulis atau hanya berpikir tentang responmu terhadap realita kematian. Apakah rasanya menakutkan? Apa kamu punya penyesalan yang besar? Ketika dihadapkan dengan realita kematian, apa yang terasa penting? Pikirkan bagaimana kamu bisa menggunakan pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kamu sudah mempunyai prioritas yang sesuai? Apa yang bisa kamu lakukan agar prioritas menjadi sesuai? Bikin daftar berisikan tiga hal. Pilih yang terpenting dan lakukan segera. Besok mungkin saja sudah terlambat.