Berpacu Dengan Waktu Menyelamatkan Musik Tradisional Indonesia

Cinta bisa menggerakkan seseorang bepergian menempuh jarak 14.927 kilometer. Tanya saja Palmer Keen, dari Amerika Serikat, yang sudah merasakan cinta pada pendengaran pertama, terhadap musik tradisional Indonesia.

Semua bermula dari seri rekaman bertajuk Music of Indonesia yang disusun sepanjang kurun 1991 hingga 1999, oleh musikolog AS Philip Yampolsky. Seri ini berisi arsip musik-musik asli nusantara. Jumlah keseluruhan yang berhasil dikompilasi mencapai 20-an CD. Yampolsky berupaya memetakan warisan musik Indonesia. Para pendengar yang ingin mempelajari lebih lanjut musik Indonesia dapat menggunakan telaah yang sudah disusun secara kronologis oleh Yampolsky. Anda bisa duduk manis mendengarkan rekaman kompilasi yang sudah susah payah dia susun. Atau, pilihan yang lebih baik paling baik: anda tergerak ikut mendokumentasikan musik Indonesia yang selama ini terserak tanpa arsip. Semampu-mampunya, sebaik-baiknya.

Setelah mendengar lagu-lagu dari album kompilasi susunan Yampolsky, Palmer bertekad mendatangi langsung Indonesia. Bedanya, dia tidak merekam dan mengkaji serius musik-musik yang ditemui sepanjang perjalanan di nusantara laiknya seorang etnomusikolog. Ikhtiar Palmer lebih ‘sederhana’. Dia membuat blog (serta video/rekaman pendek yang kadang diunggah di Facebook atau Soundcloud); blog itu dia beri nama Aural Archipelago. Melalui blog ini, dia menggambarkan detail bermacam genre musik tradisi yang ada di nusantara, sehingga pembaca memperoleh konteks kelahiran satu karya musik tertentu di setiap daerah.

Videos by VICE



Angklung Kebumen

Sejak mengelola Aural Archipelago, Palmer keluar dari pekerjaan lamanya sebagai guru bahasa Inggris. Dia menjadikan proyek dokumentasi musik-musik asli nusantara ini sebagai pekerjaan utamanya. Belum lama, lebih dari enam pekan dia berkeliling ke Bandung, Tasikmalaya, Banyumas, Kebumen, Yogyakarta, hingga ke Lombok mengendarai sepeda motor. Ini adalah perjalanan berburu musik bagi Palmer untuk kesekian kalinya.

Palmer meyakini sekarang adalah era bagi munculnya ‘etnomusikolog otodidak’. Proses dokumentasi dan mempelajari musik tradisi di kawasan sekaya Indonesia, bagi Palmer, tidak seharusnya cuma boleh dilakukan mereka yang makan bangku sekolahan. Palmer mengulas satu musik tradisional dari sudut pandang orang yang ‘awam’, rata-rata hanya berupa satu unggahan blog. Sangat sederhana. Justru di situlah kekuatannya.

Petualangan Palmer mengungkap sisi lain musik tradisional di Indonesia yang rata-rata mengalami persoalan alih generasi. Anak-anak muda di berbagai desa yang masih memiliki instrumen musik khas kehilangan minat mempelajarinya. Sementara generasi tua juga tak lagi punya kemampuan mumpuni merawat seni itu. Muncul ancaman kepunahan. Baik dari sisi musik tradisi tertentu maupun instrumennya.

Seusai kembali dari petualangan enam pekan itu, saya menyambangi Palmer. Kami membahas perkembangan situs Aural Archipelago hingga alasan musik tradisional Indonesia penting baginya.

VICE: Kamu berkeliling hingga kawasan terpencil di Indonesia, bertemu bermacam-macam orang. Apa yang bisa kamu pelajari dari petualangan musik ini?
Palmer: Selama tinggal di Indonesia, saya belajar menjadi rendah hati dan menaruh rasa hormat pada setiap orang yang saya temui. Orang-orang Indonesia sangat ramah dan menghormati tamu. Hal ini jelas mempengaruhi saya.

Saya dan para musisi tradisional saling menghormati. Saya sangat mengapresiasi tradisi mereka. Mereka pun menghargai upaya saya memahami serta membagikan karya musik mereka kepada khalayak yang lebih luas.

Apa cerita paling menarik selama kamu berkeliling?
Salah satu favorit saya adalah peristiwa di Banyuwangi. Saya berkendara naik sepeda motor selama beberapa hari, mencari alat musik pukul bernama Kuntulan yang suaranya luar biasa. Ketika memasuki desa yang membuat kuntulan, saya menyaksikan satu mobil pick up penuh pemain kuntulan.

Mereka tanpa henti memainkan musik di depan motor saya sepanjang jalan. Mobil itu diiringi pengendara motor serta anak-anak muda yang berjalan kaki mengumpulkan sumbangan untuk pembangunan masjid. Orang sana menyebutnya arak-arakan. Saya beruntung bisa melihat prosesi itu. Setelah meminta izin, saya bisa mengikuti rombongan mereka keliling desa. Sepanjang perjalanan, satu tangan saya sibuk mengendalikan motor, sedangkan tangan lainnya memegang kamera untuk merekam peristiwa ini, sambil berharap musik yang asyik bisa terekam.

Kamu melakukan petualangan ini sendirian. Apakah kamu pernah merasa kesepian selama enam minggu di jalan?
Selama ini saya rata-rata memang selalu bepergian sendirian. Namun karena jauhnya jarak yang ditempuh, saya tidak pernah merasa sendirian. Setiap kali menginjakkan kaki di tempat baru, saya segera dikerumuni para musisi tradisi, kawan-kawannya, dan keluarga mereka. Orang-orang ini jarang bertemu bule seperti saya. Lebih-lebih bule yang bisa berbahasa Indonesia. Seringkali saya menghabiskan berjam-jam ngobrol dengan teman-teman baru. Sampai-sampai saya sempat merindukan jalanan yang sepi, di mana saya bisa meluangkan waktu dengan pikiran sendiri, alih-alih harus melayani selfie bersama ratusan orang yang saya temui dan berulang kali menjelaskan bila orang Amerika juga makan nasi.

Seperti perjalananmu, Aural Archipelago tampaknya kamu kelola sendirian
Pada dasarnya, situs Aural Archipelago memang proyek pribadi. Sehingga saya lebih nyaman jika semua aspek dari proyek ini saya jalankan sendirian saja. Cuma, memang tidak mungkin segala sesuatu dilakukan sendirian. Tentu ada kolaborasi dengan orang-orang lain, terutama, para musisi tradisional yang saya temui di berbagai lokasi. Belum termasuk warga-warga lokal yang menjadi pemandu saya selama bertahun-tahun mencari musik-musik tradisional di Indonesia. Belakangan saya mulai mengajak beberapa kawan untuk ikut serta dalam perjalanan. Sumbangsih mereka sangat berharga untuk pengembangan proyek ini.

Alat tiup Knobe Oh dari Kabupaten Belu, NTT

Di postingan blog, kamu menyatakan sekarang adalah eranya ‘etnomusikolog otodidak’. Saya jadi berpikir, bukankan proses pengelolaan dan pengerjaan Aural Archipelago akan lebih murah dan prosesnya akan lebih mengasyikkan seandainya ada beberapa peminat musik tradisional yang kamu ajak bekerja sama?
Saya tidak bisa mengatakan bahwa cuma saya yang pantas menjalankan tugas tersebut. Apalagi mengingat status beberapa musik tradisional yang terancam punah, akan lebih baik bila lebih banyak orang segera mendengar musik-musik tersebut. Intinya saya meyakini pentingnya semangat menjalankan tugas sebagai etnomusikolog amatir.

Akan luar biasa jika ratusan orang di negara ini merekam dan meneliti serempak musik-musik tradisi yang ada di Indonesia. Tapi, bagi saya, akan lebih baik bila orang-orang yang satu visi dengan saya segera terjun langsung, menjalankan proyeknya sendiri-sendiri. Kenapa harus bergantung pada situs saya? Saya cuma orang yang berminat pada topik ini, punya kamera dan alat rekam. Siapapun bisa melakukan apa yang saya lakukan. Saya berharap lebih banyak orang, di seluruh dunia, melakukan hal yang sama seperti Aural Archipelago.

Tadi kamu menyinggung ‘musik tradisional terancam punah’ seperti apa maksudnya?
Musik tradisional, seperti spesies ataupun bahasa di muka bumi ini, bisa terancam punah. Dalam kasus musik, artinya sudah tidak ada lagi orang di suku atau etnis tertentu memainkan alat musik atau memahami notasi yang mereka miliki di masa lalu. Ada banyak faktor yang menyebabkan fenomena itu terjadi. Buat saya, kalau dibiarkan maka itu akan membahayakan keragaman budaya serta otentisitas masing-masing budaya mengekspresikan dirinya melalui musik.

Indonesia menurut saya salah satu kepulauan dengan keragaman musik paling kaya di planet ini. Namun status ini, saya kira, tidak akan bertahan lama. Banyak sekali musik tradisional di Indonesia yang terancam tidak dimainkan lagi oleh generasi muda dan akan terlupakan.

Musik-musik yang kamu dokumentasikan biasanya punya alat musik yang diwariskan turun-temurun kan?
Betul. Musik tradisi biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Masalah mulai muncul di era Suharto. Ada perkembangan budaya dan infrastruktur yang membuat generasi muda saat itu hidup di alam pikir yang sangat berbeda dari orang tua mereka. Alat musik tradisional yang dianggap penting oleh satu suku, tak lagi dihiraukan oleh anak-anak muda. Situasi seperti ini terjadi di mana-mana, tak hanya Indonesia. Maka solusi yang paling tepat adalah mendorong masing-masing komunitas secara swadaya memikirkan pelestarian alat musik dan genre musik tradisi masing-masing secara berkelanjutan.

Dari temuanmu, apa alasan anak-anak muda tak mau lagi memainkan musik tradisional? Terlalu kuno?
Jawabannya lebih rumit dari itu. Ada juga pengaruh globalisasi dan urbanisasi. Di beberapa tempat, musik tradisional dianggap ‘kampungan’. Ini istilah peyoratif dalam Bahasa Indonesia. Ketika label ‘kampungan’ disematkan, anak-anak muda ingin menjadi lebih modern, sehingga musik tradisi tidak cocok dengan alam pikir tersebut. Kuncinya, buat saya, perlu muncul kesadaran bahwa keberlanjutan tradisi ini penting bagi anak-anak muda. Selama ada kesadaran itu, bagaimana musik tradisi disesuaikan dengan situasi dunia modern itu terserah pada mereka sendiri.

Apakah kamu menemukan alar musik tradisi yang terancam punah padahal nilai artistiknya sangat tinggi?
Musik tradisi yang paling terancam sepanjang perjalanan biasanya terdapat di desa sangat terpencil. Hanya ada satu desa saja yang bisa memainkan atau memproduksi alatnya. Yang masuk kriteria seperti itu misalnya talempong botuang di Sumatera Barat atau alat tiup selober di Lombok. Dua alat musik itu tinggal dimainkan orang-orang yang sangat tua. Jika tidak ada anak muda yang segera mewarisi teknik pembuatan dan cara memainkannya, hampir pasti kedua alat musik itu akan punah dalam waktu dekat.

Pernahkah kamu merasa lelah dalam upaya menyelamatkan musik-musik tradisional ini?
Saya tidak ingin terdengar seperti orang kulit putih yang sok pahlawan menyelamatkan warisan adat istiadat bangsa lain. Yang saya yakini, penyalamatan musik tradisi hanya bisa dilakukan jika ada dokumentasi lengkap. Musik tradisi beserta lagu-lagunya, melodi, dan sejarahnya akan selalu tersimpan di benak setiap orang yang masih bersedia memainkannya. Sama seperti bahasa, jika para pemain musik tradisi itu mati, maka mati pula semua pengetahuan tentang musik tersebut. Setidaknya, jika kita memiliki dokumentasi, upaya rekonstruksi di masa mendatang masih bisa dilakukan. Saya harap yang semakin berkembang adalah kesadaran, sebab hanya itu kunci keberhasilan proyek ini, melebihi alat-alat rekam yang canggih. Perlu ada kesadaran lebih dari orang-orang di Indonesia serta mereka yang berasal dari luar budaya ini, untuk mendengar, mempelajari, dan jatuh cinta pada musik-musik tradisi.

Apakah dokumentasi musik-musik tradisi olehmu ini bisa didanai pihak lain, untuk menjamin keberlanjutannya?
Saya kurang nyaman melibatkan uang untuk menjalankan proyek yang saya sukai. Walaupun, saya kadang berpikir, uang dibutuhkan agar saya bisa tetap hidup. Saya perlu waktu menyesuaikan diri, sampai akhirnya bisa menerima saat pekerjaan dan pengetahuan saya ini dihargai dengan uang, entah bagaimana caranya. Saya masih terus berusaha mencari jalan keluarnya.