Bersediakah Kalian Menukar Kebebasan Dengan Janji Keamanan dari Negara?

Indonesia dirongrong bermacam ancaman. Begitu yang disampaikan politikus dan aparat hukum serta militer. Ada banyak sekali hal-hal yang menghantui negara ini, mulai dari terorisme, ancaman militan ISIS yang bercokol di Kota Marawi, selatan Filipina. Belum lagi gerakan yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Jangan lupa pula komunisme (bagi beberapa orang ideologi ini tak pernah mati), neoliberalisme (yang tak banyak orang tahu sebenarnya apaan maknanya), peredaran narkoba sebagai proxy (sudah seperti mantra), hingga eksistensi komunitas LGBTQ. Banyak sekali ancaman. Indonesia dalam situasi darurat.

Negara ini terancam ambruk karena sebab-sebab di atas. Sekali lagi, begitulah pernyataan para politikus, aparat, dan “pengamat” lewat media massa. Terutama mereka yang merasa peduli pada negeri ini dan selalu bilang ke banyak orang, kita sedang mengalami zaman edan, kala bendu, dan ramalan nihilis semacamnya.

Videos by VICE

Menjadi depresif atas “nasib bangsa” ini adalah satu hal. Sementara mendukung terbitnya peraturan perundang-undangan atau produk hukum sejenis yang kemudian diklaim sebagai obat mujarab untuk menghapus berbagai ancaman tadi merupakan perkara lain lagi. Tawaran dilematis inilah yang sedang diberikan pemerintah Indonesia pada warganya, melalui dua produk hukum yang disebut banyak pihak bersifat represif dan bernuansa otoritarian.

Salah satu sedang menjadi sorotan pemerintah adalah meningkatnya aksi teror bermotif khilafah menyasar aparat dan warga sipil setahun terakhir. Belum tuntasnya konflik antara militer Filipina dan militan ISIS di Marawi juga mulai memicu kekhawatiran, mengingat besarnya potensi sebagian jihadis menyeberang ke wilayah Tanah Air.

Di kalangan rakyat sipil dari spektrum sekuler dan nasionalis, masa-masa setahun terakhir juga tidak membahagiakan. Sepak terjang ormas intoleran membuat banyak orang merasa terganggu dan memutuskan tak lagi menjadi silent majority. Puncaknya adalah pemenjaraan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, akibat kasus penistaan agama yang bernuansa rasial serta sektarian.

Negara dan warganya sedang sama-sama cemas. Klop sudah. Kini pilihan ada di tangan kalian semua. Pertanyaannya bukan lagi hipotetis. Apakah kalian beredia menukar kebebasan dengan janji keamanan dan stabilitas dari negara?

Persoalan ini mengemuka dari dua beleid yang kontroversial. Pertama adalah pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017. Isinya tentang organisasi kemasyarakatan yang mengundang kritik karena membuka ruang pembubaran komunitas dan hak berserikat, hanya dengan alasan mengancam Pancasila. Selanjutnya, adalah upaya meneruskan Rancangan Undang-Undang Antiterorisme yang saat ini mandeg di DPR. Beleid antiteror ini tentu saja penuh masalah, sebab aparat diber hak menahan seseorang tanpa alasan selama satu tahun tanpa perlu menggelar peradilan yang layak.

Anak buah Presiden Joko Widodo menyatakan perppu ormas maupun RUU antiteror diperlukan untuk menjaga stabilitas negara. Namun benarkah demikian? Pakar hukum, aktivis HAM, maupun pegiat demokrasi kali ini satu suara: beleid hukum usulan pemerintah kali ini sangat bernuansa otoritarian. Bahasa yang dipakai ambigu, membuka ruang bagi pelanggaran HAM di masa mendatang apabila nekat diloloskan.

“Ukuran keamanan nasional itu harus jelas,” ujar Haris Azar, Mantan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kepada VICE Indonesia. “Jika misalkan ada wabah penyakit mematikan misalnya, kebebasan dan hak orang bisa saja dibatasi. Namun semua pembatasan tersebut harus jelas dan tidak serta merta mengorbankan kebebasan. Harus ada proses yudisial.”

Jadi produk hukum mana saja yang bernuansa represif?

Supaya lebih jelas, ada dua produk hukum yang sedang jadi sorotan. Seperti sudah disebut sebelumnya, masalah terbesar datang dari Perppu Ormas yang sudah diteken Presiden Jokowi, serta RUU Antiterorisme yang masih digodok oleh DPR.

Mari kita mulai dari Perppu Ormas lebih dulu, karena sudah diloloskan sehingga ancamannya lebih nyata. Perppu Nomor 2 tahun 2017 diterbitkan pemerintah dengan alasan ada rongrongan dari beberapa ormas yang dituding AntiPancasila. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengatakan Perppu tersebut mendesak disahkan, lantaran UU sebelumnya dianggap tak memadai buat menangkal ideologi ormas tertentu. Sasaran tembak utama pemerintahan Jokowi adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Ormas dengan ideologi khilafah Islamiyah tersebut telah resmi dibekukan organisasinya. Pembubaran inipun justru tak didukung oleh pegiat demokrasi Tanah Air, sebab HTI walaupun punya ideologi ekstrem, selama ini menjalankan kampanye dengan metode damai. Berbeda dari ormas lain yang jelas-jelas berulang kali terlibat kekerasan.

“Perppu Ormas ini melanggar kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk asas praduga tak bersalah,” kata Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun kepada VICE Indonesia.

Selanjutnya adalah calon beleid lain yang lebih otoritarian, namun belum terbukti ancamannya lantaran masih dibahas parlemen. Rancangan undang-undang ini lahir akibat serangan bom Thamrin 14 Januari 2016.

Pemerintah buru-buru menyusun draft UU anti-terorisme untuk mengganti Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Setidaknya, dari kajian awal beberapa lembaga belasan pasal dalam beleid tersebut berpotensi besar melanggar HAM. Terutama bagi mereka yang dituduh sebagai teroris.

Masih Bingung? Berikut Penjelasan Detailnya:

Perppu No. 2/2017

Perppu baru ini menghapus paling tidak 16 ketentuan pasal dari UU sebelumnya. Definisi ormas yang dilarang di Indonesia salah satunya adalah “menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.” Paling tidak ada 12 larangan bagi ormas dalam Perppu tersebut termasuk penyebaran ujaran kebencian, memicu permusuhan SARA, hingga pemakaian atribut atau lambang yang tidak sesuai.

Pada pasal 62 disebutkan bahwa pemerintah akan melayangkan surat peringatan bagi ormas yang dipandang menyimpang. Jika dalam waktu tujuh hari surat tersebut tidak diindahkan, pemerintah dapat menghentikan kegiatan atau mencabut surat keterangan terdaftar atau status badan hukum bagi ormas yang terbukti melakukan pelanggaran.

Pasal tersebut dinilai sebagai tindakan otoriter pemerintah oleh para pengamat, karena mekanisme pencabutan izin sebuah partai seharusnya melalui tahapan prosedur yang panjang hingga ke pengadilan.

Perppu baru tersebut menghapus paling tidak 16 ketentuan pasal dari UU sebelumnya. Definisi ormas yang dilarang di Indonesia salah satunya adalah “menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.” Paling tidak ada 12 larangan bagi ormas dalam Perppu tersebut termasuk penyebaran ujaran kebencian, memicu permusuhan SARA, hingga pemakaian atribut atau lambang yang tidak sesuai.

Pada pasal 62 disebutkan bahwa pemerintah akan melayangkan surat peringatan bagi ormas yang dipandang menyimpang. Jika dalam waktu tujuh hari surat tersebut tidak diindahkan, pemerintah dapat menghentikan kegiatan atau mencabut surat keterangan terdaftar atau status badan hukum bagi ormas yang terbukti melakukan pelanggaran.

Pasal tersebut dinilai sebagai tindakan otoriter pemerintah oleh para pengamat, karena mekanisme pencabutan izin sebuah partai seharusnya melalui tahapan prosedur yang panjang hingga ke pengadilan.

“Perppu tersebut rawan disalahgunakan karena mekanismenya yang cenderung dipaksakan,” kata Refly. Pemerintah seharusnya menerapkan tahapan-tahapan sebelum membubarkan ormas, mulai dari pembinaan, pemberian surat peringatan, penghentian kegiatan, hingga pembubaran.

Di kesempatan terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin mengatakan pemerintah terkesan terburu-buru menggodok perppu ini. Kemungkinan anak buah Presiden Jokowi sekadar mengejar ambisi punya dasar hukum membubarkan sebuah ormas. Menurutnya, UU Nomor 17 tahun 2013 dinilai lebih demokratis karena ada tahapan yang melindungi kebebasan berserikat.

“Karena tahapannya sulit dilalui, maka kemudian pemerintah berpikir jalan pintas mengeluarkan Perppu. Ini adalah preseden buruk dan tidak bagus untuk demokrasi kita, karena aturannya sudah jelas,” kata Irman seperti dikutip Kompas.com.

RUU Antiterorisme

Koordinator KontraS, Puri Kencana Putri mengatakan bahwa draft UU anti-terorisme hanya berfokus pada penindakan tanpa akuntabilitas dan proses keadilan yang jelas.

“Aturan hukum yang ada juga tidak jelas. Tidak ada proporsional. Kenapa para terduga teroris banyak yang tewas dalam operasi penangkapan?” tutur Puri.

KontraS menyebutkan paling tidak ada 11 pasal dalam draft UU Anti Terorisme yang berpotensi melanggar HAM dalam laporan yang baru saja mereka publikasikan. Pada pasal 12 B tentang pencabutan paspor, KontraS menilai pasal tersebut melanggar hak kewarganegaraan dan rentan disalahgunakan. Aparat harus ingat, setiap individu berhak mendapat pengakuan kebangsaan atau kewarganegaraan.

Pasal lain yang sarat pelanggaran HAM berat adalah pasal 25 tentang masa penahanan dalam tahapan penyidikan. Dalam RUU tersebut masa penahanan diperpanjang hingga 300 hari tanpa status tahanan jelas. Pemerintah tampaknya ingin mengadopsi Internal Security Act (ISA) yang saat ini dipakai di Singapura dan Malaysia. Padahal hal tersebut dapat menimbulkan risiko penyiksaan dan penyalahgunaan wewenang.

Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute mengatakan bahwa definisi tempat penahanan seseorang dalam kasus terorisme juga masih kabur. Tidak jelas apakah penahanan dilakukan di markas Brimob, fasilitas BNPT di Sentul, atau kejaksaan.

“Penahanan seharusnya hanya boleh dilakukan terhadap seseorang dengan status hukum yang jelas, apakah tersangka, terdakwa, atau terpidana,” kata Bonar.

Bukankah yang Disasar Perppu dan RUU itu penjahat serta pengacau, Kenapa Kita Harus Khawatir?

Oke. Ormas intoleran dan sel teroris simpatisan ISIS memang berbahaya. Dua masalah itu menyita perhatian publik maupun pemerintah, lantaran perlu ditangkal sejak jauh-jauh hari perilaku destruktifnya. Hanya saja, apa benar pemerintah Indonesia harus mengarah pada praktik-praktik otoriarian demi mencapai tujuan mereka? Bisakah masyarakat memberi blanko kosong pada pemerintah untuk mengamankan situasi nasional, ketika tak semua rakyat memberi mandat sejenis.

Menurut Haris Azar, baik Perppu Ormas dan RUU Anti Terorisme bakal memotong proses pengadilan dalam mekanismenya. Baik pemerintah dan penegak hukum bisa melakukan tindakan tanpa transparansi yang bisa dikawal publik.

Pengamat juga menyorot operasi anti-terorisme yang digelar Densus 88 yang selama ini tak memiliki akuntabilitas. Bahkan BNPT pun hanya memberikan informasi satu pintu yang tak mengajak partisipasi publik. Sebagian besar terduga teroris tewas di tangan aparat dalam operasi penyergapan.

Sejak awal 2000-an hingga 2016, setidaknya 121 terduga teroris tewas tanpa investigasi dan peradilan terbuka. Sampai sekarang pihak kepolisian menolak jika disebut melanggar HAM dalam perang melawan terorisme.