Mungkinkah krisis kabut asap akibat kebakaran hutan akan segera terulang di Asia Tenggara? Tanda-tandanya mulai bermunculan. Pemerintah Indonesia telah mengungkapkan kekhawatiran sejak awal pekan ini, mengingat pantauan satelit telah mendeteksi 170 titik bara api di hutan-hutan Sumatra maupun Kalimantan, terutama kawasan produksi Kelapa Sawit. Kebakaran hutan ini menandai awal musim kering yang sangat mungkin menghasilkan kabut dalam jumlah besar seperti beberapa insiden lima tahun belakangan. Krisis kabut terbesar terakhir kali terjadi pada 2015 lalu.
Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), titik puncak musim kemarau untuk 2017 adalah sepanjang kurun Agustus-Septembet. Pada masa-masa itu, kebakaran bisa berdampak buruk. Dari 170 titik api, 35 di antaranya terdapat di Aceh. Korban pun sudah mulai berjatuhan. Sebanyak 23 warga Aceh Barat mengalami infeksi saluran pernapasan.
Videos by VICE
Kembali munculnya titik api sebagian memang dipicu faktor alamiah. Namun tak sedikit pula titik api yang membesar akibat praktik pembakaran lahan oleh petani plasma maupun utusan perusahaan perkebunan besar. Karena tingginya tingkat kesengajaan dalam kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, Badan Nasional Metereologi, Klimatologi, dan Geogisika (BKMG) menjuluki tragedi kabut asap sebagai “kejahatan kemanusiaan dalam skala raksasa.”
Sekadar mengingatkan lagi, krisis kebakaran hutan pada 2015 menyebabkan 19 orang tewas akibat langsung dari asap, sementara 500 ribu warga sipil lainnya terkena beragam penyakit. Angka ini belum memperhitungkan jatuhnya korban di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina akibat persebaran asap dari Tanah Air. Kerugian yang dialami akibat kabut asap dan kebakaran hutan dua tahun lalu ditaksir US$16 miliar (setara Rp213 triliun). Wilayah hutan Indonesia yang hilang akibat lalapan api mencapai lima kali ukuran Pulau Bali.
Sementara untuk tahun ini, kota paling buruk terpapar asap adalah Meulaboh, kota yang dihuni lebih dari 70 ribu penduduk. Setelah muncul kabar warga Meulaboh terkungkung asap, lima provinsi lain bergegas mengumumkan status siaga. Pemerintah mengirim 18 helikopter untuk menyiramkan bom air ke kawasan hutan sedang dilalap api.
Menurut kepala BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam cuitannya di Twitter, kabut asap membuat jarak pandang di Aceh BArat tercatat hanya lima meter. Sejauh ini api belum juga dapat dipadamkan. “Heli solusi utama karena jalur darat sulit diakses,” kata Sutopo dalam cuitannya.
Titik api juga terdeteksi muncul di Riau. BNPB menemukan pola terstruktur dalam kebakaran lahan tahun ini. “Menandakan adanya oknum yang sengaja membakar lahan,” lanjut Sutopo.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur, mengatakan kebakaran tahun ini hampir pasti disebabkan pembukaan lahan sawit tak terkendali. Menurutnya sulit mengubah kebiasaan pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat dan korporasi, karena praktik pembakaran lahan lebih murah dan cepat untuk memulai musim tanam baru.
Jika skala kebakaran hutan dan kabut asap susulannya nanti memburuk, maka janji Presiden Joko Widodo segera tak terpenuhi. Sesudah tragedi kabut asap 2015 menjadi sorotan internasional, presiden meneken moratorium alih lahan gambut. Presiden juga menjanjikan sikap lebih keras, termasuk mencabut izin usaha korporasi yang terbukti membakar lahan.
Kini, ketika ratusan titik api kembali muncul bersamaan dengan musim tanam sawit, efektivitasmoratorium izin pembukaan laha Presiden Joko Widodo menjadi sorotan. Moratorium itu baru saja diperpanjang presiden hingga dua tahun mendatang.
“Jika melihat fakta di lapangan, moratorium yang dicanangkan pemerintah tampaknya belum berhasil,” kata Fatilda Hasibuan, Manajer Program Kampanye Hutan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kepada VICE Indonesia. “Banyak lahan yang berpotensi untuk terus dibuka dengan cara-cara berisiko.”
Menurut Fatilda, moratorium tersebut masih memiliki beberapa kelemahan meski terus diperpanjang. “Salah satu yang patut disayangkan adalah skema tukar menukar lahan [ land swap]. Ini hanya akan memberikan privilese kepada korporasi,” kata Fatilda.
Pemerintah Indonesia dan Singpura telah menjalin komunikasi membahas mengenai potensi adanya krisis kabut asap jilid II. Sejauh ini Singapura masih optimis, insiden buruk dua tahun lalu tidak berulang. Harapan itu disampaikan Menteri Lingkungan dan Pengelolaan Air Singapura, Masagos Zulkifli. Sang menteri melawat ke Jakarta awal bulan ini.
“Kami harap dengan lebih panjangnya musim hujan setahun terakhir, maka kabut asap bisa berkurang intensitasnya,” kata Masagos saat jumpa pers setelah bertemu kabinet Presiden Jokowi.
Walhi mencatat penyebab lain kebakaran hutan masih terus terjadi, adalah kurang fokusnya pemerintah menyikapi fakta di lapangan. Pengawasan terhadap korporasi dan masyarakat dalam praktik pembukaan lahan juga masih jauh dari kata memuaskan.
Pemerintah juga telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 6 Januari 2016, namun kejelasan kinerja badan tersebut belum terlalu terlihat. BRG menargetkan restorasi dua juta hektare lahan gambut hingga 2020. Tahun ini BRG menargetkan 20 persen restorasi atau sekitar 400.000 hektar. Hasil dari kinerja BRG kurang transparan dan terukur.
Manajer kampanye hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati mengatakan kondisi kebakaran di Sumatera sejak pekan lalu masih spekulatif, namun bukti di lapangan menunjukkan bahwa keadaan belum bisa dikatakan membaik dalam beberapa hari ke depan.
Menurut Annisa, moratorium yang baru saja diperpanjang Jokowi tidak menyelesaikan masalah karena hanya mengulang versi lama tanpa adanya perbaikan. Menurut data dari Greenpeace Indonesia, sebanyak 2.7 juta hektar lahan hilang dari peta moratorium sejak diberlakukan pada 2011 hingga 2016.
“Tidak pernah ada laporan resmi dari pemerintah terkait sejauh mana progres moratorium,” kata Annisa. “Ini akan sulit karena pemerintah tak pernah transparan soal pemberlakuan moratorium. Kebakaran tetap bakal terjadi selama manajemen lahan gambut yang baik tidak diterapkan.”