Bertanya Pada Pakar: Apa Alasan Anak Muda Indonesia Masih Terobsesi Jadi PNS?

Bertanya Pada Pakar: Apa Alasan Anak Muda Indonesia Masih Terobsesi Formasi CPNS 2019

Ibu tiba-tiba mendekati saya sambil berbisik. Sebelum dia bicara pun, saya langsung paham beliau sedang Ingin bergosip. “Tahu engga, anaknya Bu Yuli ketipu Rp70 juta buat tes CPNS.”

Ibu mengajak bergosip, karena tahu betul saya tidak pernah tertarik jadi PNS. Saya masih ingat, saat itu 2014. Beberapa bulan sebelum lulus kuliah, Bu Yuli tiba-tiba bilang ke saya sebaiknya ikut mendaftar PNS saja seperti anaknya. Bu Yuli bukan satu-satunya yang bernasib nahas soal tes CPNS. Ada kawan saya kena tipu Rp50 juta di tahun yang sama dengan iming-iming diterima sebagai pegawai negeri.

Satu tahun berikutnya, saya membaca berita bila penerimaan calon pegawai negeri sipil dihentikan sementara karena berbagai faktor. Pemerintah mengakui jumlah PNS di Indonesia sudah terlampau banyak. Selain jumlah birokrasi yang gemuk, moratorium diharapan bisa menghentikan praktik percaloan di berbagai pemda.

Videos by VICE

Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnadi, menyebut rasio ideal jumlah PNS berbanding penduduk adalah 1,5 persen dari total populasi, atau setara 3,5 juta orang. Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 4,5 juta PNS, yang menyedot 33,8 persen dari total anggaran belanja negara. Jika jumlah PNS tak terkontrol, potensi beban utang pemerintah seperti yang terjadi di Yunani rasanya bukan hal mustahil. Untuk 2017, beban belanja pegawai pusat dan daerah di APBN sebesar Rp347 triliun.

Sebelum moratorium, ada 2,6 juta orang mendaftar tes CPNS untuk berbagai posisi di kementerian/lembaga. Padahal lowongan yang tersedia saat itu hanya untuk 100.000 orang. Persaingan menjadi sangat ketat, orang pun tergiur mencari jalan belakang dengan cara membayar pada orang-orang tak bertanggung jawab. Jika begini, siapa bisa menjamin ketika tes CPNS kembali digelar pemerintah, pelamar tidak akan membludak.

Karenanya saya jadi berpikir, kenapa ya minat anak muda mendaftar menjadi calon pegawai negeri tak juga menurun? Bukankah konon anak muda sekarang lebih tertarik gaji tinggi dan suasana kerja fleksibel? Kenapa justru tak sedikit anak muda Indonesia masih mau kerja kantoran delapan jam yang penuh hierarki dan aturan birokratis?

Saya menghubungi Medrial Alamsyah, Direktur Study for Indonesia Government Indepth (SIGI) sekaligus Pengamat Reformasi Birokrasi Indonesia. Salah satu jawaban yang dia berikan soal obsesi menjadi PNS ini terkait budaya nusantara yang tak kunjung padam: mengejar gengsi sosial. Alasan lain? Simak selengkapnya dalam cuplikan wawancara kami berikut ini:

Apa penyebab masih banyak orang yang ingin menjadi PNS bahkan beberapa diantaranya rela mengeluarkan segala cara untuk itu?
Medrial Alamsyah: Kalau penjelasan yang ada dari dulu secara antropologi dan sosiologi, [penyebabnya] masih persoalan feodalisme yang melekat di masyarakat. Jadi mereka menganggap bahwa jadi PNS itu adalah sebagai satu kelompok feodal, kelompok elite yang dihargai orang. Dianggap punya kedudukan terhormat di masyarakat. Ini kan sebanrnya lanjutan saja dari dulu dari budaya raden zaman kerajaan dulu, kemudian abdi dalem, kemudian baru setelah itu PNS, ketika orang-orang Indonesia mulai bersekolah. Nah sampai sekarang, ada saja orang yang (kalau) enggak disebut gelarnya marah, yang sebenarnya tidak ada hubungannya dalam pergaulan sehari-hari. Poin kedua, kecenderungan masyarakat kita kan (beban PNS) ini relatif gampang. Jadi pegawai, datang tiap hari ke tempat kerja, dapat gaji, mereka enggak peduli jiwa enterpreneurship masyarakat kita ini masih rendah. Mereka lebih memilih dapat gaji buta ketimbang berusaha dan berinovasi. Poin ketiga, mungkin juga karena pemerintahnya yang sudah terbiasa dengan sistem feudal, yang terbiasa menikmati titah dari institusi, mereka tidak berpikir kemudian bagaimana cara lapangan kerja dari sektor swasta ini meningkat. Pemerintah, terutama pemerintah daerah, tidak memikirkan bagaimana menciptakan lapangan kerja. Lapangan kerja yang mereka lihat satu-satunya mudah diciptakan adalah PNS, memperbesar ukuran birokrasi, seakan-akan satu-satunya lapangan kerja di daerah itu adalah menjadi PNS.

Porsi Belanja Pegawai di APBN kan besar ya, perlu dikurangi tidak sih?
Kalau pemerintah pusat dan daerah berani seharusnya out-of-the-box, dengan memotong jumlah birokrat yang memang tidak diperlukan. Jika (PNS) dikurangi separuh saja tidak akan memberikan dampak apapun untuk masyarakat, bisa lebih malahan (pemotongan PNS) disisakan 30 persen saja tidak ada masalah sebenarnya. Bayangkan kalau kita kurangi separuh, anggaran Pemda itu 60-70 persennya habis untuk birokrasi mulai dari gaji, maintenance gedung, listrik, bayar sopir, kendaraan. Kalau kita kurangi separuh, kan berarti dari 70 persen itu akan dapat 35 persen tambahan anggaran. Kalau satu daerah misalnya memiliki anggaran Rp500 miliar, pengurangan pegawai bisa menambah sekitar Rp150 miliar lebih per tahun. Nah uang tambahannya itu bisa dikemanakan? Bisa dipakai untuk menciptakan lapangan kerja secar riil di luar birokrasi.

Banyak kasus rekrutmen PNS berlebih sumbernya dari pemda. Apa ini karena kegagalan membuka lapangan kerja dari investasi swasta?
Pemerintah itu selalu berpikir tentang investasi. Itu kan teoretis ya. Dipikir dengan mendatangkan investor ke daerahnya kemudian dibangun pabrik akan dengan sendirinya menciptakan lapangan kerja dan manfaat lainnya. Terlalu mensimplifikasi jika bepikir seperti itu. Kita lihat sekarang di daerah-daerah industri, pasti terjadi proses pemiskinan. Ini adalah kasus pertama yag dianalisa di Lhokseumawe. Di Lhokseumawe, pemerintah Orde Baru membangun pabrik. Itu kan investasi yang dimasukkan ke sana dengan teori ketika investasi masuk maka masyarakatnya akan bisa bekerja di situ. Kenyataannya yang bekerja di situ orang luar. Karena masyarakat di sana tidak compatible dengan skill yang diperlukan. Seharusnya pemerintah daerah, ketika adanya investor pabrik apapun itu, harusnya persiapkan masyarakatnya dulu, supaya ketika investasi berdiri, yang bekerja adalah masyarakat sekitar situ. Ketika lapangan kerja tidak ada, dan pemerintah berpikir tentang investasi yang tidak relevan dengan pembangunan kapasitas masyarakatnya, otomatis pengangguran akan bertambah. Proses pemiskinan terjadi karena pabriknya pakai lahan masyarakat yang tadinya ke sawah atau ladang, mereka tidak bisa bekerja lagi.

Lalu kenapa ada stigma kalau PNS itu korup dan malas?
Bayangkan misalnya ada orang yang ingin jadi PNS itu niatnya adalah dianggap orang hebat dan terhormat. Padahal kalau secara teori, yang namanya PNS itu kan civil servant, untuk melayani masyarakat. Sementara, ada saja orang yang masuk niatnya pengen dianggap orang terhormat biasa dilayani kan. Kita tidak punya sistem yang bisa mem-breakthrough keluar dari semua ini.

Apakah instansi pemerintahan di Indonesia sudah menerapkan sistem penghargaan berbasis kinerja atau merit system?
Merit system itu enggak hanya ketika kita memilih berdasarkan tes yang terbuka kemudian itu dianggap selesai. Yang benar itu adalah dia harus merekrut orang sesuai dengan kriteria yang diperlukan. Untuk mengetahui kriteria yang diperlukan, itu kan sistem di dalam juga harus benar, sehingga pemerintah mengetahui secara persis atau bisa mendapatkan semua kriteria kebutuhan pegawai kita yang benar. Indonesia belum punya sistem yang mumpuni untuk menerapkan merit system. Salah satunya kalau kita menerapkan manajemen berbasis kinerja. Kalau kita hanya bicara tentang manajemen berbasis kinerja, pasti pejabat dan birokrat kita bilang “sudah”. Karena memang secara dokumentasi ada. Anda akan ketemu Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Nah itu kan nomenklaturnya ada, ada ukuran kinerjanya. Tetapi ukuran kinerjanya itu salah kaprah. LAKIP itu pasti yang mengisinya tiap tahun itu ngarang. Karena, desain sistemnya itu enggak mungkin orang mengisi secara benar.

Jumlah PNS sudah terlalu banyak, akan sampai kapan begini terus? Apakah moratorium penerimaan PNS di beberapa instansi sudah efektif?
Sampai pemerintah berani memotong jumlah birokrat secara radikal. Seperti saya bilang cut aja separuh. Bisa juga dilakukan bertahap misalnya begini: di-cut separuh itu tidak jumlahnya, tetapi jumlah jabatan aja. Ini juga harusnya mulai dari atas ya dari kabinet. Jadi semua ini pangkalnya adalah jumlah kabinet yang besar. Kalau Presiden memang berani, maka dia harusnya meng-cut 30 persen saja itu akan otomatis berpengaruh pada jumlah dinas. Kalau sekarang dinas kan cenderung mengikuti jumlah kementerian sesuai kabinet. Kalau sekarang ini ka pemerintah enggak berani padahal kan Jokowi-JK menjanjikan pemotongan kabinet. Ketika ada orang (PNS) yang enggak masuk, masyarakat kebanyakan terganggu enggak? Kalau enggak artinya jumlah yang sekarang enggak diperlukan. Makanya ketika tiap Menpan RB itu bicara absensi atau soal libur lebaran harus masuk tepat waktu, dan macam-macam. Itu menurut saya salah tembak semua.

Bagaimana Anda melihat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi? Apakah kementerian ini sudah mulai mengubah keadaan?
Ada bedanya. Tambah parah. Contohnya menteri-menteri sebelumnya kan yang dipersoalkan ini soal absensi, soal lebaran dan lainnya. Pertanyaannya, ini menteri apa tukang absen?! Menteri yang sekarang yang diomongin tentang yang dia akan memberi tunjangan uang lembur kepada PNS yang kerja sampai malam. Ini tukang catat lembur apa menteri? Tadi kan saya juga ngomong, orang kita kelebihan (orang), kok lembur? Kok bayar lembur yang diomongin, orang kita kelebihan (PNS) dan kelebihannya tidak sedikit. Saya bilang 50 persen di-cut (jumlah PNS) juga enggak akan ada pengaruhnya sebenarnya.