Bertemu Anggota ISIS yang Kangen Makanan Kampung Halaman

Ayman

Anggota ISIS banyak yang berasal dari negara Barat. Saat ditangkap, mereka sering memberi alasan yang mirip-mirip. Misalnya, saya dihasut untuk bergabung, diminta jadi koki, atau telah dicuci otak. Ada juga yang bergabung karena enggak tahu apa itu ISIS, enggak sengaja datang ke unit ISIS, dibius, atau sekadar ingin membantu.

Warren Christopher Clark, orang Amerika yang ditangkap pada 6 Januari di Suriah, memberi tahu NBC News sekitar dua minggu lalu bahwa alasan dia bergabung dengan ISIS yaitu karena dia penasaran pengin tahu “apa yang dilakukan kelompok [ISIS] itu.” Alasannya memang aneh, mengingat ISIS secara terang-terangan menggembar-gemborkan tujuannya membangun khilafah di media sosial sejak 2014.

Videos by VICE

“Saya ingin mempelajari ideologinya. Saya lulusan ilmu politik dan minor bisnis global. Saya suka politik, jalan-jalan dan mengikuti segala peristiwa yang ada di dunia. Itulah yang ingin saya lakukan,” katanya, seakan-akan dia sedang membicarakan soal pembangunan sekolah yang telat di India, alih-alih bergabung dengan salah satu kelompok teroris paling dikenal kejahatannya di dunia.

Tetapi dari segala perkataan yang pernah diujarkan anggota ISIS tertangkap, yang paling konyol – yang paling susah dipercaya – adalah: Aku kangen fish and chips.

Sehari sebelum wawancara NBC dengan Clark, Channel 4 News menayangkan film pendek tentang istri dan anak anggota ISIS asing dari Hajin di Suriah timur. Dalam film tersebut, seorang perempuan asal Inggris yang mengenakan burqa hitam berbicara tentang betapa dia merindukan Inggris – dan juga fish and chips.

1548677909743-dawla
Tweet dari seorang pelajar Inggris Amira Abase. “Dawla” tak lain adalah sebutan untuk ISIS.

Aku tidak tahu apakah anggota ISIS tertangkap asal Jerman mengaku kangen schnitzel, karena aku tidak bisa bahasa Jerman, dan saya juga tidak tahu apakah anggota asal Kanada mengacu pada poutine. Tapi sepertinya tidak, karena kamu harus mabuk dulu sebelum bisa makan poutine, dan ISIS tidak suka sama alkohol. Tapi fish and chips?

Ini bukan pertama kali mantan rekrut ISIS menyebut hidangan terpopuler di Inggris tersebut. Reema Iqbal asal London, yang kini berada di kamp penahanan di Suriah, berkata kepada Sunday Times: “[Saya kangen] fish and chips. Itu pilihan pertamaku, fish and chips.” Sajid Aslam dari Walsall, kota di West Midlands, berpendapat serupa, dalam sebuah email kepada jurnalis Daily Mirror, “Walsall terkenal untuk toko-toko fish and chips-nya – dan saya sering mengidamkan fish and chips!” Bahkan Alexanda Kotey, yang diduga Departemen Luar Negeri AS terkait dalam penyiksaan sandera Barat, berkata dalam sebuah wawancara, “Saya kangen fish and chips dan acar telur” – tapi ada kemungkinan dia hanya bersikap ironis.

Di Inggris, setiap hari Jumat, fish and chips menjadi makanan pilihan bagi kaum buruh. Aku sendiri mengingat ayahku yang pulang cepat dari kantor dan membawa pulang fish and chips yang dibungkus koran. Itu 30 tahun lalu, dan sejak itu aku tidak pernah memakannya lagi, karena pas aku masih kecil, aku tidak suka sama kentang lembek dan ikan yang digoreng hingga tekstur dan ukurannya menjadi seperti sepatu.

Dan aku tidak sendirian. Selama puluhan tahun, jumlah toko-toko fish and chips di Inggris terus menurun dan digantikan waralaba makanan cepat saji dan toko-toko ayam. Tapi mereka bertahan sebagai simbol keinggrisan. Makanan, sama seperti seks, serta semua ritual, ketakutan, dan kebiasaan yang mengelilinginya, mendalami esensi identitas kita. Ini, dalam beberapa cara fundamental, menjelaskan kenapa kita kagum dengan kebiasaan seks dan makan orang lain, dan kenapa apa yang kita lihat di TV sangat berfokus pada seks dan makanan.

Ini juga menjelaskan mengapa kita begitu tertarik dengan kebiasaan makan para jihadis Barat pada 2014, ketika ISIS baru mulai dikenal secara global. Di situs web ini, pada Desember tahun itu, tayang sebuah fitur berjudul “Foto-foto Pejuang Negara Islam dengan Pencuci Mulut Favorit Mereka”. Daily Mail pun meliputi hidangan makan malam seorang anak sekolah asal Inggris yang berangkat ke Suriah, Amira Abase, yang terdiri dari ayam goreng, kentang goreng, pizza, dan daging kebab. Liputan tersebut berfokus pada kemurbaan dan keakraban makanannya, yang dikontras dengan keganasan penolakannya terhadap nilai-nilai Barat. Mungkin kalau fotonya menunjukkan Abase dengan kepala-kepala yang dipenggal, takkan ada yang begitu tertarik.

Mungkin saja mantan anggota ISIS asal Inggris mengatakan mereka kangen fish and chips dengan tulus. Bisa saja mereka benar-benar kangen fish and chips: mungkin bagi mereka itu sesuatu yang mereka makan untuk memanjakan diri, seperti ganja dan seks dengan sesama jenis. Siapa tahu? Tapi itu bukan maksud mereka ketika mereka berkata mereka kangen fish and chips. Mereka sebenarnya mengakui diri mereka sebagai normal; mereka berkata kepada sesama warga Inggris – yang gaya hidupnya mereka tolak karenakorup, durhaka, dan tanpa jiwa – bahwa “kami sama seperti kalian”. Mereka berusaha menciptakan koneksi dalam upaya memancing simpati. Mereka tidak sekedar mengungkapkan preferensi makanan, mereka juga membuat pernyataan mengenai keinggrisan mereka dan permohonan untuk diterima kembali ke masyarakat Inggris.

Namun, sepertinya itu takkan berhasil. Bukan hanya karena rendahnya simpati untuk orang yang tak sabar berangkat ke kalifat ketika dideklarasikan pada 2014, dan yang mengejek pemakan fish and chips “kafir” untuk “ mati dalam kegusaran mereka”. Tapi karena fish and chips merupakan anakronisme, yang mengingatkan kita akan Inggris monokrom dahulu yang pra-multikultural. Lagian, sebagian banyak orang Inggris kini lebih memilih makan kari dan kebab.