Betapa Sakitnya Bertahan Jadi Fans Arsenal

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

Sebagai salah satu liga sepakbola terpopuler di dunia dalam beberapa tahun terakhir, Premier League memiliki beberapa narasi diakrabi penggemar olahraga seluruh dunia. Ketika Arsenal kalah dari Watford pekan lalu pasti dikomentari banyak pengamat dan penggemar. Arsenal, klub ‘kaya’ tapi mentalnya lemah lagi-lagi dibekuk oleh tim dengan talenta terbatas tapi memiliki tekad keras.

Videos by VICE

Saking seringnya narasi ini menimpa Arsenal, tidak ada lagi yang kaget. Kalau kamu masih kaget bagaimana Arsenal bisa unggul satu gol, terlihat menguasai permainan, tapi akhirnya dipermalukan, berarti daya magis Premier League tidak cocok buatmu. Yang lebih mengejutkan dari semua ini adalah bagaimana semua orang—semua orang—sudah bisa menduga nasib sial akan menaungi Arsenal. Sebab, istilah ‘nasib sial’ memang tidak tepat.

Tidak ada drama dalam Arsenal. Semuanya konsisten. Jelek pun konsisten.

Ada beberapa kebohongan yang kerap dilontarkan komentator Premier League berulang kali—entah di stasiun TV, di koran, di wawancara telepon dengan media—tentang penampilan Arsenal sesudah 2005, paska ditinggal Patrick Vieira.

Salah satu kebohongan itu adalah Arsenal biasanya kalah dalam pertandingan yang unik. Tidak ada klub yang bisa kalah seperti Arsenal.

Justru kebalikannya: Arsene Wenger, yang saking lamanya telah memimpin The Gunners, sudah menyempurnakan setiap jenis kekalahan yang bisa dialami klub sepakbola. Mulai dari tipe kekalahan menyedihkan akibat kalah stamina (Bolton pada 2011; Wembley pada 2011; St Mary’s pada 2015; Selhurst Park pada 2017, dst), hingga dibantai dalam pertandingan besar (Anfield pada Agustus 2017, Old Trafford pada 2011; Stamford Bridge pada 2014; Anfield pada 2014, dst).

Sulit benar-benar mengatakan dengan tepat apa penyebab kekalahan Arsenal. Apakah sifat mudah puas? Gugup? Rasa takut? Kurangnya pengalaman? Yang pasti setiap kali Arsenal kalah, komentar bahwa Arsenal kalah dengan caranya yang khas selalu muncul. Ini memang membingungkan, namun juga tidak bisa dihindari, mengingat sudah lama sekali Arsenal dilatih oleh pelatih yang sama. Jangan salah, Arsenal itu tidak pernah kalah dengan cara yang sama.

Masalahnya bukan Arsenal memiliki satu cara untuk kalah, tapi karena mereka hanya sanggup meraih satu jenis kemenangan: kemenangan menunda perubahan dalam manajemen klub dan sekadar memperpanjang stagnansi. Kehancuran, malapetaka, krisis: semua ini adalah masalah yang terus menimpa Arsenal, hingga akhirnya sudah tidak aneh lagi. Menjadi penggemar Arsenal sudah tidak seru lagu. Bahkan semua rasa cemas—yang menjadi basis emosi pengalaman semua fans sepakbola—sudah hilang, akibat sifat Arsenal yang hanya berusaha bertahan sebagai klub elit stagnan dan membuat Liga Inggris membosankan. Menjadi pendukung Arsenal itu rasanya seperti mendukung tim komputer di game FIFA. Boring. Tidak menyenangkan.

Lantas kemanakah perasaan cemas dan deg-degan yang membuat sepakbola menyenangkan? Ya sudah lenyap bersama dengan keyakinan bahwa keadaan di Arsenal bisa berubah di tangan Wenger. Sepakbola itu bukan tentang stabilitas, tapi tentang harapan dan perubahan, biarpun ketika dua hal itu menyakitkan. Yang bermasalah juga bukan hanya pelatih, tapi semacam stagnansi yang menaungi seluruh bagian dari klub: dari para pemegang saham, Stan Kroenke—yang menyatakan niatnya untuk terus tidur di kursi pengemudi Arsenal selama “beberapa generasi”—hingga penggemar yang ogah-ogahan.

Pemain datang dan pergi, namun ada kepercayaan bahwa siapapun personnelnya, Wenger tidak akan mampu menciptakan hasil yang berbeda. Di tengah berbagai kegagalan dan anggota tim yang terus berubah, Wenger adalah satu-satunya faktor yang konstan. Sulit untuk melihat apa yang sesungguhnya Wenger tawarkan selain infrastruktur tim yang gagal, pemain-pemain sampah membawa pulang gaji buta, dan strategi perekrutan pemain yang ngawur.

Sulit menebak kapan kekacauan Arsenal di tangan sosok pria yang sempat dianggap sebagai sang filsuf sepakbola; seperti yang kita tahu Wenger berperan besar dalam perpindahan tim ke stadium baru dan juga turut campur dalam segi estetika dan ergonomikal Emirates. Apa iya bijak bagi seorang pelatih untuk ikut berpartisipasi dalam proyek pengembangan properti dan desain interior besar ketika tim yang sedang dilatih berusaha lolos kualifikasi Liga Champion hanya berbekal dana belanja minim?

Ya saya tidak berhak menilai, tapi mungkin saja di satu titik Wenger mulai terlalu banyak berfokus di sisi makro manajemen dan justru kehilangan detil yang penting di atas lapangan: seperti pelatihan pemain sehari-harinya, dan persiapan taktik dan motivasi. Kesan yang didapat adalah seolah-olah Wenger ngebet untuk mengendalikan terlalu banyak aspek di klub hingga dia justru tidak mengendalikan satupun, menghasilkan semacam stagnansi akibat hiperaktif.


Baca juga liputan VICE lain membahas fenomena sosial seputar sepakbola:

“Ketika melihat kesalahan kami di atas lapangan, kamu tidak bisa meragukan karakter kami,” kata Jack Wilshere merespon komentar jurnalis olahraga Deeney sebelum Arsenal bertanding melawan Red Star Belgrade di Liga Eropa, satu-satunya yang membedakan Arsenal musim ini dengan musim lalu. “Kami akan terus maju,” ujarnya. “Kami akan bertanding besok dan juga di hari Minggu [bertandang ke Everton] dan para pemain akan bangkit, kami sudah pernah melihat mereka bangkit sebelumnya.”

Wilshere keliru tapi juga ada benarnya: kita memang sudah pernah melihat Arsenal bangkit, sering bahkan, tapi “terus maju” itu beda lagi artinya. Di musim panas kemaren, banyak janji-janji yang dicetuskan—bahwa klub akan direstrukturisasi, bisnis akan langsung diselesaikan awal, bahwa keadaan akan berubah—ketika musim bergulir, Arsenal 2017/18 tidak terlihat jauh berbeda dibanding Arsenal di musim-musim sebelumnya.

Pertanyaan-pertanyaan pun terus mengalir: Apakah pemain yang ingin dipertahankan akan menandatangi kontrak dalam tiga tahun kedepan? Apakah Arsene Wenger akan terus bertahan? Apakah Mesut Ozil dan Granit Xhaka—dua playmaker paling tidak bisa diandalkan di dunia—akan terus bertahan di dalam liga sepakbola yang paling berat? Apa sih identitas Arsenal di 2017 ini selain sebuah klub yang terus menyediakan hiburan tertawa bagi anak-anak sosmed di akhir pekan?

Narasi “Wenger In-Wenger Out” masih terus diperdebatkan di internet. Tapi di titik ini, ini adalah dikotomi yang palsu. Tidak ada orang waras meyakini bahwa Wenger bisa memenangkan liga Inggris atau liga Champion musim ini, ataupun musim depan. Kini, fanbase Arsenal terpecah menjadi dua: mereka yang menginginkan Wenger cepat keluar dan mereka yang merasa berterimakasih terhadap Wenger dan memberikannya lebih banyak waktu untuk gagal lagi sebelum kontraknya habis di musim panas 2019.

Saya sadar, bagi banyak pendukung tim lain—terutama penggemar tim-tim dengan pemilik yang buruk dan masa depan tidak jelas, contohnya Blackburn, Charlton, Coventry dan Blackpool—pernyataan saya berikut terdengar absurd. Apalagi mengingat Arsenal pernah memangkan FA Cup tiga kali, sempat menghabiskan ratusan juta poundsterling membeli pemain, memiliki stadion berkapasitas 60.000 penonton, dan dinobatkan sebagai salah satu klub Eropa terbaik selama dua dekade.

Tapi semua itu relatif. Kekuasaan jangka panjang yang dimiliki Wenger membuat Arsenal menjadi kasus klub sepakbola yang unik dan aneh. Rasanya para penggemar Arsenal bukan menginginkan sesuatu yang lebih, tapi sesuatu yang berbeda. Mereka lelah dengan situasi gitu-gitu aja. Kalaupun mereka kalah, mereka ingin kalah dengan cara yang beda. Maka, mohon maaf, sudah saatnya #wengerout.