Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.
Peneliti dari Portland, Amerika Serikat berhasil menggunakan perangkat pengedit gen bernama CRISPR menghasilkan embrio manusia pertama yang telah melalui modifikasi gen. Temuan tersebut baru saja dilansir jurnal MIT Technology Review secara ekslusif pekan ini. Rekayasa genetik itu menjadi keberhasilan pertama memakai embrio manusia di Amerika Serikat. Berkat capaian ilmuwan di Portland, terbuka peluang bagi kita untuk sepenuhnya mengedit gen manusia di masa mendatang.
Videos by VICE
Sebelum lebih jauh melangkah, mari kita bahas dulu sekelumit latar belakang CRISPR. Sederhananya, itu nama perangkat yang dapat dioperasikan seperti fungsi copy-paste dalam software pengolah kata. CRISPR adalah teknik rekayasa genetik baru yang memungkinkan para ilmuwan membuat perubahan spesifik pada DNA tanaman, hewan, hingga manusia.
Karena perangkat lunak ini relatif murah dan gampang digunakan, para ilmuwan mengaku bisa memanfaatkan teknik CRISPR untuk mengobati beragam penyakit, termask HIV dan muscular dystrophy. Namun, beberapa eksperimen rekayasa genetik dengan teknik CISPR memicu kontrovesi—misalnya ketika ilmuwan di Cina malah menggunakannya untuk menciptakan seekor beagles yang sangat berotot. Pakar etika ikut mewanti-wanti tentang konsekuensi yang muncul bila kita terburu-buru mencoba merekayasa gen manusia. Fakta CRISPR sangat mudah digunakan menimbulkan kegusaran tersendiri di antara para ilmuwan. Komunitas intelejen AS misalnya pada 2016 memperingatkan ilmu rekayasa genetik berpotensi menjadi senjata pemusnah massal.
Terlepas dari ketakutan rekayasa genetik akan melahirkan upaya rekayasa bayi dan munculnya “gen-gen manusia yang aneh”, harus diakui CRISPR masih baru dalam tahap awal sekali. Kemungkinan perangkat lunak ini bahkan memiliki konsekuensi yang tak sepenuhnya kita pahami.
Rekayasa genetik dilarang di banyak negara. Namun, melihat begitu mewabahnya penggunaan CRISPR di laboratorium, sudut pandang dan aturan tentang rekayasa genetik harus segera ditinjau ulang. Awal tahun ini, US National Academy of Sciences menyatakan rekayasa embrio manusia diperkenankan selama bertujuan untuk menyembuhkan penyakit, tentunya dengan berbagai batasan di sana-sini.
Namanya ilmuwan, mana mau dikekang aturan begitu saja. Tim-tim ilmuwan dari Cina, sepanjan enam bulan terakhir, telah merekayasa embrio manusia sebanyak tiga kali. Awal tahun ini, sebuah tim di Cina melakukan terobosan: menggunakan CRISPR dalam rangka mengoreksi mutasi genetik pada tiga embrio manusia. (Test sebelum dilakukan pada embrio cacat yang tak bisa berkembang menjadi bayi. Menurut keterangan yang dirilis oleh Technology Review, tim yang melakukan percobaan rekayasa genetik di AS menghancurkan embrio hasil percobaan setelah beberapa hari dan tak memiliki niatan untuk melakukan implantasi.)
Capaian yang diraih oleh tim Cina diamati kolega mereka di AS dengan perasaan yang campur aduk; antara “kagum, cemburu dan sedikit khawatir”, seperti yang ditulis Jurnal Technology Review. Gampang diduga, ilmuwan AS sudah gatal ingin mencobanya sendiri.
Percobaan merekayasa gen terakhir kali dilakukan Shoukhrat Mitalipov dari Oregon Health and Science University, yang juga merupakan salah satu ilmuwan yang bertanggung jawab atas kera hasil kloningan pertama pada tahun 2007. Mitalipov menolak berkomentar pada artikel yang ditulis Technology Review, dan mengatakan bahwa hasil penelitiannya masih menunggu giliran diterbitkan dalam sebuah jurnal ilmiah. Mitalipov juga tidak menjawab surel berisi tawaran untuk memberikan komentar dalam artikel ini.
Technology Review tak bisa memastikan gen penyakit apa yang sedang ditarget oleh para ilmuwan AS. Salah satu sumber mengatakan embrio yang diuji coba dihasilkan dari donor sperma yang memiliki penyakit mutasi genetik. Penelitian yang dilakukan tim dari AS selangkah lebih maju dibandingkan temuan di Cina, sebab CRISPR berhasil digunakan untuk mengedit kesalahan pada gen dan bekerja dengan baik. Salah satu anggota penelitian di Portland, yang menolak disebut namanya, menyebut temuan ini “bukti bekerjanya prinsip” rekayasa genetik.
Tentu saja, para ilmuwan punya argumen kuat untuk melakukan rekayasa genetik—siapa juga yang tak gatal mencoba teknologi yang kemungkinan bisa mengobati banyak penyakit dan mencegah kematian?
Persoalannya, sains tak berada dalam ruang kosong. Bahkan niatan penelitian luhur dalam sains bisa mengarah pada konsekuensi buruk yang tak pernah kita duga. Eksperimen yang dikerjakan oleh Mitalipov dan lainnya, ambil contoh, membuka kemungkinan penyembuhan beragam penyakit di masa depan. Di saat yang sama, eksperimen itu dapat juga melahirkan para “desainer” yang bermain tuhan, memprogram kesenjangan gen antar manusia sesuai pesanan.
Ada banyak hambatan legal di negara seperti AS yang melarang pelaksanaan rekayasa genetik pada bayi manusia. Kondisinya belum tentu sama di setiap negara. Masalahnya, kita kian hari kian mahir menggunakan teknik CRISPR. Jadi pertanyaannya bukan lagi apakah bayi hasil rekayasa genetik akan benar-benar ada di masa mendatang, melainkan kapan bayi-bayi semacam itu muncul. Seperti yang ditulis dalam jurnal Technology Review, “pencobaan menciptakan manusia hasil rekayasa genetik sekarang bisa dilakukan kapan saja.”