Bumi* dan Mastur* harus menahan kerasnya rotan sabetan algojo yang mendarat tepat di punggung. Sesekali raut wajah mereka tampak menahan sakit. Mereka dicambuk di depan umum, di Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh, pada Jumat, 13 Juli 2018.
Keduanya dicambuk 86 kali. Semestinya 90 kali tapi mereka dapat potongan pengganti masa tahanan. Keduanya dieksekusi cambuk di depan umum, bukan di dalam lapas sesuai Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 yang mengatur tata cara eksekusi pelanggaran syariat.
Videos by VICE
Pangkal pencambukan kedyanya adalah penggerebekan yang berlangsung Maret lalu. Keduanya digerebek warga, dituding sedang bermesraan di salon milik Bumi.
Saat diinterogasi, Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (polisi syariat) mendapati Mastur ternyata telah memberikan uang sebesar Rp100 ribu untuk Bumi, agar mereka bisa berhubungan badan. Keduanya segera saja dinyatakan terbukti melanggar hukum jinayat pasal 26 ayat 1 tentang perbuatan liwath (bermesraan).
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Muhammad Hidayat mengatakan, pihaknya sedang memburu pelanggar-pelanggar syariat islam lainnya dan bertekad membersihkan kota Banda Aceh dari praktik maksiat, apalagi yang dilakukan para kaum LGBT.
Sementara kelompok LGBT, terutama transgender dan gay di Aceh, terus diburu, bagaimana dengan pejabat korup yang kedapatan memakan uang rakyat untuk kepentingan perutnya sendiri?
Sebagaimana diketahui awal Juli ini, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama dengan Bupati Bener Meriah Ahmadi diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi dalam operasi tangkap tangan. KPK juga menyita uang tunai Rp500 juta yang diduga ada kaitannya dengan korupsi dana otonomi khusus Aceh.
Jika kelak di pengadilan antikorupsi keduanya terbukti bersalah, akankah orang nomor satu di Aceh itu dihukum cambuk di tanah rencong? Untuk saat ini jawabannya tidak karena Aceh belum punya qanun yang mengatur tentang korupsi. Tapi apakah di masa mendatang bisa?
Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Tgk Faisal Ali mengatakan selalu ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk menggodok Qanun untuk terpidana korupsi jika memang dirasa ada kebutuhan.
Baca artikel VICE lain yang membahas tentang korupsi di Aceh
Namun, ia tidak menjelaskan secara detail bagaiamana proses Qanun itu jika dibuat. “Pembuatan qanun khusus tentang korupsi di Aceh tetap ada peluang, tak ada larangan. Karena Aceh sebuah daerah yang memiliki kekhususan, semuanya ada ruang,” ujarnya kepada VICE Indonesia.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kata dia, memberikan hak kekhususan bagi Aceh. Itu terbukti ketika lahirnya Qanun nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur tentang hukuman cambuk bagi pelanggar Syariat Islam.
Aturan itu, kata Faisal Ali, nantinya harus diselaraskan dengan peraturan nasional yang mengatur tentang korupsi, termasuk soal putusan hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku.
“Yang memiliki kajian dan memiliki kewenangan itu kan KPK, Polisi, mereka yang menghitung kerugian negara. Jika dikaitkan dengan Qanun korupsi, nanti mereka yang akan mengusulkan dan putuskan,” tandasnya.
Alhasil, sebelum ada niat bersama antara ulama didukung parlemen lokal, keadilan syariat bagi penghuni Nangroe Aceh Darusallam masih terasa timpang. Meminjam ucapan Feri Amsari saat dihubungi media, selaku Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, “Jangan sampai qanun hanya untuk zina dan lain-lain ada, tapi untuk korupsi tidak.”
*nama dua gay yang mengalami pencambukan disamarkan untuk melindungi privasi mereka