FYI.

This story is over 5 years old.

LGBTQ

Gender Ketiga India Yang Dipuja Sekaligus Dicerca

Di India, transgender, interseks, dan kaum “kasim” sering dicari untuk memberkati kesuburan seseorang. Tapi mereka juga didiskriminasi, tak leluasa beraktivitas di ruang publik.
Narendra Hutomo
Diterjemahkan oleh Narendra Hutomo
Semua foto oleh Ana Singh.

Ratusan foto anak-anak berjejeran di Kuil Shri Buhacharaji Matai, Gujarat, India. Tatapan mereka mencolok di balik laminating plastik, tiap kelopak mata anak-anak itu teroleskan cat asap. Jika pertama kali berkunjung ke sana, seorang turis bisa saja berasumsi jejeran foto tersebut merupakan semacam memorial mengenang anak yang telah berpulang. Padahal foto-foto itu semacam perayaan. Anak-anak tersebut merupakan buah hati dari pasangan yang dulunya dianggap mandul, tak akan sanggup memiliki keturunan. Tiap foto tadi dikirim dari tempat-tempat jauh untuk mengucapkan rasa syukur kepada dewa ibu Hindu, Bahuchara Mata. Sementara umat yang datang tanpa membawa foto di kuil itu punya satu tujuan: Mencari pemberkatan dari seorang hijra, anggota dari kaum gender ketiga India. Kaum Hijra, yang di kebudayaan lain akan dianggap transgender, dipercayai memiliki jalur hubungan langsung dengan dewa kesuburan.

Iklan

Ketika para pasangan telah berhasil memiliki keturunan, mereka kembali untuk menempelkan foto bayinya di dinding kuil, semacam testimoni pelanggan. Kehadiran anak yang dinanti-nantikan itu menjadi bukti kekuatan sang dewa dan kepercayaan para pasangan orang tua baru tersebut terhadap keajaiban yang telah diberikan oleh sang hijra.

Hijra sebetulnya tidak pas juga apabila sekadar dianggap transgender. Konsep transgender agak kebarat-baratan. Hijra mewakili berbagai kelompok gender ketiga, mulai dari transgender, kaum interseks, dan orang-orang yang disebut sebagai “kasim.” Seorang Hijra akan dipanggil dengan kata ganti feminin dalam Bahasa Hindi, namun tetap diidentifikasikan sebagai kelompok yang terpisah dari kelamin lelaki ataupun perempuan. Adnon Hossain antropolog yang telah bertahun-tahun meneliti ras dan keberagaman gender di India, berusaha menyederhakan penjelasan tentang komunitas Hijra. “Hijra adalah ikon dari non-konformisme sex/gender di Asia Selatan. Mereka orang-orang ‘berbadan pria’ yang diidentifikasikan sebagai perempuan dan mengorbankan kemaluan lelaki mereka kepada seorang dewa perempuan dengan balasan kesuburuan spiritual.”

Ini contoh foto anak dari orang tua yang akhirnya berhasil mengandung berkat restu dari para Hijra. Foto-foto itu dipasang di dinding kuil Shri Buhacharaji sebagai bentuk syukur.

Hijra dulunya merupakan sebutan yang menjadi penanda identitas. Namun seiring waktu, kata ini berubah negatif maknanya, malah sebagian orang India menganggapnya nista ataupun hina. Supaya bisa diakui sebagai hijra, orang-orang dari gender ketiga tak bisa sekadar memakai atribut, bersolek, atau berperilaku seperti Hijra. Mereka harus melakoni operasi ganti kelamin yang dijalankan hijra lainnya, sebagai penanda kelahiran kembali. Praktik operasi kelamin ini dituliskan Gayatri Reddy dalam karya etnografinya yang terbit 2005 With Respect to Sex: Negotiating Hijra Identity in South India. Tujuan dari operasi kelamin itu adalah, “mengangkat derajat mereka … menuju kesucian aseksual yang mutlak.”

Iklan

Operasi ganti kelamin ala Hijra ini biasanya dilakukan tanpa anestesi, sehingga oleh pemerintah India sering dianggap ilegal dan membahayakan. Beberapa pemerintah daerah di India sampai memberikan alternatif medis lainnya kepada kaum Hijra secara cuma-cuma jika ingin operasi ganti kelamin. Pelaksanaan operasi ini selalu dirahasiakan dari mereka yang bukan anggota komunitas Hijra, sehingga sulit dipantau pemerintah. Penyembuhannya pun pelan dan menyakitkan, rata-rata butuh 40 hari lamanya sampai si pasien sembuh. Para hijra baru biasanya diminta makan dengan diet spesial. Selama menyembuhkan diri, mereka akan melakoni ritual semi-pengasingan. Setelah pulih dari operasi, hijra baru ini akan didandani seperti pengantin perempuan, mengikuti sebuah upacara khusus diberkati dengan kekuatan Dewi-Dewi. Sejak operasi berhasil, mereka akan memperoleh nama dan identitas baru.

Di kuil Shri Buhacharaji Matai, saat aku tiba di sana, dua hijra bersender di dinding kuil. Mereka menepuk kedua tangan, memanggil lalu-lalang pemuja yang telah datang jauh-jauh meminta diberkahi kesuburan oleh kaum gender ketiga India. Chaya-de termasuk hijra yang masih muda. Dia mengenakan anting emas besar yang melingkari telinga atasnya, rangkaian sari ungu dengan seikat bunga yang bersulam di sekitarnya. Selama di kuil, dia tidak mengenakan alas kaki.

Umat yang datang bersujud kepada Chaya-de, lantas memberinya beberapa lembar rupee. Sebagai balasan, dia menyapu tangan ke kepala mereka dengan semacam gerakan pemberkatan, mengusir roh jahat, lantas memberkati mereka dengan apapun yang mereka inginkan: kesuburan, kekayaan—atau mungkin tempat tinggal yang lebih baik, seperti sebuah apartemen. Senja mulai datang. Setelah seharian berdiam di tempat tersebut, Chaya-de akan segera kembali ke perkampungan tempat dia tinggal.

Iklan

Chaya-de berjam-jam duduk di luar kuil sepanjang hari, menanti umat datang meminta pemberkatan.

Para hijra menjadi bagian dari masyarakat India selama ribuan tahun. Namun, mereka baru mendapatkan pengakuan hukum sebagai warga negara sah, pada 2014. Putusan itu keluar ketika Mahkamah Agung India menciptakan kategori “gender ketiga”, di bawah golongan Kelas Sosial Terbelakang (OBC), dipengaruhi adanya kasta dalam masyarakat Negeri Sungai Gangga. Beberapa tahun sebelumnya, yakni pada 2011, sensus pertama untuk menghitung jumlah hijra di india dilakukan. Hasilnya, di seluruh negeri, diperkirakan ada 490.000 orang Hijra. Di Kota Delhi sendiri, jumlahnya sekitar 30.000 orang.

Sebagian besar hijra hidup dalam komunitas yang dipimpin seorang “guru spiritual”, yang memimpin dan mengatur cara dari tiap-tiap Hijra agar bisa mengelola rumah tangga dan menghidupi diri sendiri. Sejak umur 12 atau 13, Hijra akan meninggalkan keluarganya untuk bergabung ke kelompook-kelompok semacam ini. Sejak pindah, biasanya Hijra muda tak akan lagi menjalin kontak dengan keluarga. Sebagai gantinya, sang guru berperan sebagai orang tua, guru, dan bos sekaligus. Seperti yang dituliskan Reddy, para guru diharap dapat memperlakukan tiap hijra dalam komunitasnya, “bagaikan anak perempuan sendiri, memberi mereka rasa kasih sayang dan menolong setiap Hijra di bawah asuhannya bila mereka kesusahan.”

Komunitas ini hidup dalam kondisi sangat terkucilkan dari masyarakat. Mereka seringkali dijauhi dari keluarganya dan hidup hanya karena belas kasihan pemerintah. Chaya-de sepenuhnya mengandalkan jasa pemberkahan mistik kepada orang yang dia temui di jalanan atau di kuil untuk menyambung hidup. Umat itulah satu-satunya penopang ekonomi para Hijra. Keyakinan umat pada kekuatan spiritual para hijra yang dianggap bisa mengatasi impotensi, memberikan kesuburuan bagi mereka yang berjuang untuk mendapatkan kandungan, akhirnya akan berbuah imbalan ala kadarnya. Hossain menuliskan, latar belakang religius seputar para hijra sebagai sesuatu yang kompleks. Hijra tidak otomatis Hindu. Hossain menyebutnya, “tradisi naratif yang secara kreatif mencampuradukkan ajaran Hindu dan Islam.”

Iklan

Dupa yang terbakar di pelataran kuil.

Sebagian besar hijra tinggal di perkotaan. Sebab hanya di kota mereka bisa memperoleh peluang lebih besar mendapat pekerjaan tanpa harus mengandalkan pemberkatan. Chaya-de belum tertarik merantau ke kota besar. Setidaknya, dia masih memperoleh bayaran lumayan dari arus orang-orang yang mencari restunya. Pukul 10.30, keesokan harinya, Chaya-de sudah kembali di tempatnya di luar kuil, menyambut mereka.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, hijra tak lagi memiliki kelamin. Mereka impoten. Tapi karena itulah, masyarakat India percaya mereka bisa memberkahi orang lain dengan kesuburan. Padahal, di masyarakat umum India, impotensi dianggap sebagai hal negatif. Sebaliknya, Hijra yang impoten, menurut penjelasan Reddy, "memiliki kekuatan ritual dan legitimasi kesucian."

Dalam kepercayaan Hijra, kekuatan mereka mendatangkan kesuburan datang dari kerja sama Dewa Ibu ajaran Hindu yang berkolaborasi dengan malaikat suci ajaran Islam. Kaum intersex, laki-laki impoten dan transgender rata-rata percaya, mereka memang sejak awal terpanggil oleh dewa menjadi Hijra. Jika ada calon Hijra yang sengaja mengabaikan panggilan ilahiah tersebut, mereka bakal membayar balasan yang berat, yaitu mengalami impotensi selama 7 kali kehidupan selanjutnya di bumi tiap melakoni reinkarnasi.

Shoba Bimla Kinnar, salah satu hijra yang tinggal di Ahmedabad, tumbuh sebagai seorang interseks. Pada usia 13, setelah bertahun-tahun menjadi bahan olokan, dia meninggalkan orang tua dan keluarga besar untuk selamanya. Dia kemudian tinggal di komintas hijra lokal. “Orang-orang melihat ku sebagai ‘kekurangan,’” ujarnya. Olok-olok itu membuatnya makin yakin untuk pergi. “Aku kemudian berpikir: Aku tidak akan dihargai oleh masyarakat, dan aku tidak akan dihargai di dunia. Lebih baik aku menjauh saja dari semua itu.”

Iklan

Shoba kini berusia 60-an, tinggal satu atap dengan tujuh hijra lainnya, dalam rumah bedeng pinggiran jalan yang berdebu. Hijra lain yang tinggal bersamanya sedang pergi berkerja di jalanan Ahmedabad untuk mengemis, menari, menyanyi, atau memberikan pemberkatan kepada yang tidak memiliki anak. Meski hijra lainnya sedang tidak ada, masih ada tanda-tanda bahwa mereka hidup bersama: Yaitu setengah lusin pakaian dalam, putih dan yang berwarna pucat, yang menggantung pada cantolan di dinding kamar mandi.

Shoba Kinnar, dalam rumah kontrakan yang dia huni bersama tujuh hijra lainnya.

“Dulu, warga masih sering mengundang Hijra menjadi penampil acara untuk menyanyi dan menari,” kata Shoba. “Kami biasanya diundang meramaikan pernikahan atau untuk memeriahkan acara syukuran dan semacamnya. Kita akan ditemani oleh sebuah band yang sangat megah dan berjalan mengitari kampung. Akhir-akhir ini, kami sudah hampir tidak pernah dipanggil lagi.”

Dulu, para pemuja hijra sering memberi hadiah mewah seperti sari dan cincin, mengharapkan balasan agar impiannya (baik itu sebuah rumah baru atau seorang anak) dikabulkan. Akhir-akhir ini, mayoritas Hijra tidak bisa lagi mengandalkan pemujaan spiritual masyarakat. Akhirnya, mereka harus melakoni bermacam-macam pekerjaan mulai dari membersihkan rumah, atau mengurusi orang-orang lansia. Hijra sebetulnya tak suka menjadi pekerja seks, namun prostitusi juga alternatif bagi hijra yang tergencet kebutuhan sehari-hari. Para Hijra cenderung membenci prostitusi. Shoba, saat ngobrol bareng saya, cepat-cepat menjelaskan bahwa dia tidak pernah “berbuat nakal.” Padahal di perkotaan, para hijra akan lebih sering terlihat di pelukan pria dibanding di sekitar kuil seperti dialami Chaya-de.

Iklan

Di daerah pedesaan, orang-orang masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap kemampuan hijra memberikan keajaiban. Namun tidak demikian dengan masyarakat Hindu yang lebih sekuler di perkotaan. Kaum urban India tidak tertarik lagi mengundang mereka ke pernikahan atau memeriahkan acara lainnya. Dampaknya, sebagian besar hijra makin merana, apalagi sampai sekarang mereka tak kunjung memperoleh perlindungan dan jaminan hak dasar dari negara. Hijra tidak dapat memiliki properti sendiri, tak punya hak suara dalam pemilu, tak bisa menikah, dan tak diizinkan mengurus paspor. Di tengah berbagai tekanan sosial dan diskriminasi tadi, sejumlah kecil hijra setidaknya mulai muncul di hadapan publik sebagai model, aktris atau presenter televisi.

Rumah tempat tinggal Shoba sejak memutuskan menjadi Hijra puluhan tahun lalu.

Alhasil, gender ketiga di India terjebak dalam dilema tanpa akhir. Di satu sisi, sebagian orang Asia Selatan mulai mendukung positif kehadiran Hijra. Kalangan progresif India, misalnya, mendorong kaum gender ketiga itu agar bisa mendapat hak dasar. Sebagian kelompok religius bahkan menuntut pemerintah dan masyarakat agar menghormati Hijra—memastikan mereka memang bisa terus berprofesi sebagai tokoh spiritual. Di sisi lain, jika usulan-usulan itu dituruti, pilihan mereka mencari nafkah akan terbatas. Komunitas internasional sekilas menganggap pengakuan hukum bagi Hijra sebagai kemajuan. Masalahnya, menurut Hossain, ada risiko pengakuan sebagai warga negara bisa meningkatkan peluang mereka didisikriminasi oleh aparat maupun masyarakat umum.

Di luar hiruk pikuk politik, Shoba memilih tak peduli. Dia melakoni sebanyak mungkin pekerjaan yang bisa dia lakukan. Sebagian orang di kampungnya masih menghubungi dia secara khusus, meminta diberkati dengan kesuburan dan keberuntungan. Tapi Shoba sudah menua. Usia membuatnya semakin sulit untuk mengikuti tuntutan mereka. Selama kaki masih bisa diajak melangkah, Shoba tak akan keberatan. Dia akan senang hati memberkati siapapun yang bisa diberkati. Khususnya pasangan yang memang sejak lama mendambakan hadirnya anak dalam keluarga mereka. Sebagai ganti berkat yang dia berikan, Shoba berharap dewata terus memberinya keberuntungan.

“Menurut pandanganku,” kata Shoba, “jika kamu tidak mendapatkan sesuatu di kehidupan yang sekarang, Tuhan pada akhirnya akan memberikan rezeki dan anugrah kepadamu pada kehidupan berikutnya.”

Follow Natasha di Twitter