FYI.

This story is over 5 years old.

Rank Your Records

Jacob Bannon Menyusun Delapan Album Converge Terfavoritnya

Sosok vokalis hardcore legendaris ini meninjau kembali 27 tahun sejarah band-nya, Converge, dari era awal yang sederhana hingga saat mereka dianggap sebagai nama terbesar jagat hardcore.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Dalam Rank Your Records , kami mengajak para musisi untuk mengevaluasi karya mereka sendiri setelah rentang karir panjang serta mendorong mereka menilai kedekatan personal dengan album-album tertentu.

Album Converge favorit Jacob Bannon ternyata belum didengarkan siapapun. Ketika vokalis hardcore legendaris ini menelpon saya untuk memberikan daftar ranking album-album Converge sebelumnya, dia baru saja menyelesaikan rekaman track vokal untuk album studio ke sembilan band Deathwish tersebut. Dia benar-benar baru melangkah keluar dari studio ketika menelpon saya.

Iklan

"Saya lumayan puas dengan hasilnya," kata Bannon, tidak memberi terlalu banyak detil tentang album barunya, tapi juga mengatakan bahwa rilisan baru nanti adalah langkah berikutnya dari evolusi Converge. Bagi anda penggemar Converge, anda pasti tahu bahwa Bannon selalu melihat jauh ke depan. Dia menghabiskan hampir 30 tahun hidupnya bersama Converge, salah satu band paling inovatif dan berpengaruh yang sukses mengaburkan batas antara hardcore, metal, punk dan banyak sub-kategori genre-genre tersebut. Bannon juga banyak menemukan sukses dalam banyak area lain. Mulai dari visual art yang memenuhi banyak cover album dan galeri seni rupa—dan buku barunya, Dunedevil—hingga menjalankan label hardcore tahan lama Deathwish Inc., Bannon selalu menjadi yang terdepan. Oh, gue udah bilang belum tahun ini dia merilis dua album bareng proyek lainnya, Wear Your Wounds? Yup, dia segitu produktifnya.

"Saya berada di titik dalam proses kreatif dimana saya mencoba menciptakan yang terbaik," katanya sebelum kembali mawas diri, "Saya tahu saya bukan penyanyi yang hebat, bukan juga punya teriakan paling keren. Saya gak peduli. Yang penting itu emosinya. Yang penting saya menjadi representasi terbaik dari kemampuan saya." Gabungan dari kerendah hatian, kejujuran dan kesadaran diri inilah yang menjadi ciri khas Bannon. Dia tahu, secara teknis, dia bukan penyanyi terbaik di dunia, tapi dia berhasil mengubah limitasi diri menjadi sebuah aset. "Ada banyak luka dan kerusakan yang membuat suara saya seperti ini, tapi saya bangga dengan keadaan ini."

Iklan

Jelas terlihat bahwa Bannon selalu memajukan diri, mencoba mencari cara baru untuk mengekspresikan diri lewat medium pilihannya. Inilah kenapa, ketika dia meranking katalog album Converge, dia melakukannya secara kronologis. "Musik kami yang terbaru selalu menjadi representasi paling akurat dan tajam tentang kami sebagai sebuah unit," katanya soal Converge. Inilah sebabnya karyanya yang terbaru akan selalu menjadi karya favoritnya. Tapi siang itu, kami mencoba meninjau kembali diskografi Converge dan bagaimana dia menilainya sekarang.

8. Halo in a Haystack (1994)

Noisey: Bagi banyak band hardcore, album pertama atau kedua mereka biasanya menjadi favorit pendengar dan sering membayang-bayangi rilisan berikutnya. Tapi ini tidak berlaku untuk Converge.
Jacob Bannon: jawabannya iya dan tidak. Sikapku ini banyak hubungannya dengan umur kami ketika kami menulis lagu-lagu di album tersebut. Kami masih bocah mencari pelampiasan kreatif. Ini adalah titik yang langka, terutama dalam hal dokumentasi. Banyak band masih muda ketika mereka mulai bermusik, mungkin 20an awal, tapi ketika kami merekam lagu-lagu ini, kami masih berumur 15-18 tahun. Kami bahkan belum lulu SMA. Intensi kami memang baik, dan banyak emosi di lagu-lagu ini, tapi kami masih mencari tahu identitas kami. Kami berusaha mencari cara untuk bisa berkolaborasi.

Kamu juga mesti ingat bahwa band pertama kamu biasanya berisikan orang-orang dari daerah yang sama ketika kamu masih bocah. Ini sebelum lingkaran sosial dan kreatif kamu mulai meluas. Saya bahkan baru punya SIM ketika berumur 21 tahun. Jadi saya juga tidak bisa menyetir keluar kota untuk bertemu orang lain. Jadi ya kamu ngeband sama orang-orang yang deket aja. Kami ketemu drummer dan bassis pertama karena kami semua hobi skateboarding dan main BMX, selain tentunya suka dengan musik hardcore dan metal.

Iklan

Album ini mengingatkan saya era ketika kami masih berusaha menemukan identitas. Kamu juga mesti ingat, saat itu musik ekstrem masih muda umurnya. Baru ada genre-genre yang basic. Waktu itu udah ada scene metal, death metal, thrash metal, tapi bahkan death metal saat itu masih tergolong baru. Sekarang orang melihat era tersebut sebagai era keemasan death metal. Hardcore dulu belum dikenal sebagai metallic hardcore seperti sekarang. Metalcore? boro-boro ada. Belum ada gaya vokal nyanyi-selang-seling-teriak saat itu.

Jadi setiap album yang baru keluar saat itu memulai sub-genre baru ya?
Iya, dan waktu itu semua belum terlalu dikomersialisasi. Sekarang mah metalcore lebih mirip musik pop, dengan editan, proses dan auto-tune yang berlebihan. Dulu ketika kami menulis lagu yang emosional, kami berusaha meniru band-band yang kami suka, seperti Born Against, Moss Icon, Universal Order of Armageddon, Heroin, Mohinder yang sulit ditebak. Setiap ada suara teriakan yang pecah, kamu tetep masukin dalam rekaman, karena kami tidak bisa mengulang atau mengedit. Industri rekaman belum seperti sekarang. Kami harus merekam satu album dalam satu dua hari. Waktu itu, semuanya masih raw.

Waktu itu tidak ada band-band lain seperti kami. Mungkin yang terdekat adalah Overcast, teman kami hingga sekarang. Tapi mereka lebih metal soundnya. Kami punya pengaruh musik yang berbeda.

Saat itu, Converge seperti anomali dalam dunia hardcore. Ini bikin stres atau justru bangga?
Bagi kami, hingga sekarang kami masih seperti itu. Kami lumayan sadar apa yang terjadi di luar sana, di dunia musik agresif. Kami tahu kami berbeda. Kami tidak pernah mencoba meniru gaya tertentu. Bahkan ketika kami masih berlima, bareng Aaron Dalbec [Bane], Aaron lebih sering mendengarkan musik hardcore straightedge. Dia lebih suka melodic hardcore, dia tidak mendengarkan Drive Like Jehu. Dia tidak mendengarkan banyak band noise-rock yang Kurt [Ballou, gitaris Converge] dan saya mulai dengarkan, atau musik hardcore DC yang kami gilai. Jadi ada anggota band yang memiliki pengaruh musik yang berbeda. Ini bisa kamu dengar dalam lagu-lagunya. Lagu-lagu kami terdengar berbeda karena kami semua memiliki pengaruh yang berbeda.

Iklan

7. Petitioning the Empty Sky (1996)

Album ini menarik karena berisikan banyak sesi rekaman yang berbeda, gaya musik yang berbeda, tapi mulai terdengar lebih kohesif.
Kami masih bocah, tapi sudah mulai lebih mengerti. Saya ingat menulis "The Saddest Day" di kamar apartemen Kurt di Boston University. Saya ingat dia memiliki kamar mandi yang besar. Saya juga ingat dia menunjukkan ide riff dasar lagu itu. Kami mulai merasa nyaman sebagai sebuah band.

Awalnya, kami hanya ingin merilis vinyl 7". Kami waktu itu menulis beberapa lagu dan kepikiran untuk merekam mereka. Kami belum mulai berpikir untuk merekam album. Tapi ketika kami dikontrak Equal Vision, mereka melempar ide untuk menggabungkan beberapa EP dan merilisnya sebagai album kompilasi. Ya itulah Petitioning the Empty Sky.

Ketika saya mendengarkan ulang album ini, saya masih bisa mendengarkan sesi-sesi rekaman yang berbeda, tapi saya juga punya banyak ingatan yang positif tentang album ini. Saya ingat sesi rekaman vokal album ini bersama Brian McTernan dilakukan jam 1 atau 2 pagi di studio tuanya di Watertown, Mass. Ini adalah salah satu momen pertama ketika saya merasa puas dengan hasil rekaman. Hasilnya hektik dan lepas, sesuai dengan keinginan. Memang butuh waktu kali ya? Saya ingat ketika naik sepeda pulang dari studio, kegirangan karena merasa baru menciptakan sesuatu yang spesial. Saya tidak memikirkan bagaimana albumi akan mempengaruhi orang lain atau apabila album ini akan diterima. Sampe sekarang pun saya masih sering berpikir begitu. Tapi saya suka dengan lagu-lagu dari album ini.

Iklan

Beberapa lagu di album ini, seperti "The Saddest Day," masih sering dimainkan di atas panggung. Lagu-lagu dari album ini masih mendapatkan reaksi yang positif ya dari penonton?
Menarik memang. Kami sudah lama ngeband, dan setiap harinya, lagu-lagu kami bertambah tua. Buat saya, Jane Doe juga sudah tua banget. Album itu kami rilis di 2001, 16 tahun yang lalu, itu udah lama banget. Saya merasa beruntung orang-orang menyukai karya kami. Dari sekian banyaknya musik di luar sana, fakta bahwa orang mendedikasikan waktu untuk kami—band hardcore berisik—rasanya sangat positif. Ini tidak akan berubah. Saya merasa sangat beruntung.

Nah kalo ngomongin lagu-lagu di Petitioning, banyak momen yang keren sebetulnya. Banyak momen keren juga di Unloved and Weeded Out, EP yang kami rekam sebelum Petitioning. Lagu-lagu kami mulai terasa penuh, dan tidak terdengar seperti gabungan fragmen. Ini karena kami mulai belajar cara menulis lagu. Ketika masih muda, kami tidak terlalu peduli tentang transisi. Kami nulis sebuah riff dan menggabungkannya dengan riff keren lainnya dengan time signature seusai kemauan. Semua ditabrak-tabrak aja gitu. Banyak band-band sekarang masih gitu. Semuanya jadi per bagian per bagian gitu. Kami menghabiskan banyak waktu dan usaha agar tidak melakukan ini dalam 15 tahun terakhir. Lagu-lagu kami mungkin kadang hyper dan rusuh, tapi selalu terdengar kohesif. Saya masih bisa mendengar bagian tabrak-tabrak di rilisan ini, tapi juga mendengar awal kami mulai berkembang keluar dari itu.

Iklan

6. When Forever Comes Crashing (1998)

Kamu mengatakan album ini terasa seperti album pertama Converge yang layak. Kenapa gitu?
Ketika menulis album ini, kami belum punya label. Tidak ada label yang peduli. Dulu keadaan belum seperti sekarang. Label punya banyak sumber daya yang penting, tapi sekarang kamu bisa menjalankan band sendiri secara independen. Dulu, banyak tantangan untuk bisa membuat orang mendengarkan karyamu dan agar toko musik mau menjual rilisanmu. Dan kami menginginkan semua itu. Kami ingin bisa tur, ingin didengar. Kami membutuhkan label untuk bisa melakukan ini semua. Steve Reddy [pemilik Equal Vision] menonton kami manggung di Western Massachussets. Dia mengaku belum pernah mendengarkan band seperti kami. Dia belum pernah melihat anak-anak culun berkaca mata memainkan musik agresif seperti ini. Dia terbiasa menonton musik hardcore New York yang memiliki presentasi yang berbeda, lebih stereotipikal dan macho. Tidak semata-mata satu dimensi, tapi lebih mudah untuk dipahami. Kami lumayan berbeda.

Saat kami dikontrak oleh labelnya, When Forever adalah album yang selalu kami ingin rilis. Fakta bahwa Petitioning juga dirilis adalah bonus yang menyenangkan, tapi album pertama kami yang layak adalah When Forever Comes Crashing. Kami tidak merasa tertekan untuk menulis lagu, dan semuanya terasa lebih alami dan kohesif.

Kamu sempat mengatakan orang-orang sulit menggabungkan musik yang Converge mainkan dengan penampilan kalian yang 'tidak sesuai'. Ini juga terlihat di artwork album kalian yang terlihat seperti album grindcore rilisan Earache Records. Seberapa pentingkah elemen visual yang unik bagi Converge agar tidak terlihat seperti album hardcore lainnya?
Ini selalu menjadi bagian besar dari karya kami. Kami suka band yang memiliki estetika yang kohesif dengan musiknya. Biarpun visualnya akan berkembang dan bermutasi, semuanya harus tetap kohesif. Sekarang, saya mendesain banyak artwork untuk band kami sendiri, tapi juga terus bekerja sama dengan seniman dan ilustrator luar. Yang penting presentasinya tetap kohesif. VIsual Converge tidak pernah terasa 'maksa'. Banyak band sering mengganti logo, dan banyak band yang tidak pernah puas dengan karya awal mereka. Padahal mungkin logo awal mereka bagus. Saya selalu ingin menciptakan logo yang dapat berevolusi. Bukan seperti Metallica yang sering memotong-motong art mereka, tapi memiliki estetika yang tetap saling berhubungan. Artwork Petitioning tidak terlihat seperti Jane Doe, tapi kamu bisa melihat hubungan antara keduanya. Saya tengah menggambar visual untuk album baru kami, dan rasanya seperti kelanjutan dari album sebelumnya. Saya ingin band memiliki cerita visual. Saya tidak mau melihat band yang merilis artwok yang sama.

Iklan

5. Jane Doe (2001)

Ini mungkin album Converge paling ikonik—terbukti dari penampilan live album ini yang akhirnya dirilis terpisah dengan nama Jane Live. Ini album yang pribadi ya?
Penting untuk saya katakan bahwa album ini tidak lebih pribadi dari yang lain/. Musik memang subyektif, dan begitu kamu merilis karya, semua orang bisa bebas menemukan interpretasi mereka sendiri. Tapi pendekatan saya akan penulisan lagu dan penulisan lirik memang selalu pribadi, bentuk dokumentasi dari kehidupan saya, entah secara spesifik atau metaforikal. Bahkan ketika masih bocah di Halo in a Haystack, pendekatan saya tetap sama. Ini tidak berubah. Di album Jane Doe, kamu bisa mendengar pendekatan dan tingkat agresi yang semakin matang, dan presentasi yang semakin kohesif. Album-album sebelumnya belum nyampe sini.

Kapan kamu menyadari banyak orang menyukai album ini? Seinget saya, popularitasnya tidak seketika.
Kayaknya hampir semua karya kami gak ada yang instan dampaknya. Kami masih sering ketawa kalo inget baca-baca ratusan resensi tentang album Jane Doe. Sekitar 60 atau 70 persen menilai album ini buruk. Lucu ya. Tapi memang banyak orang yang menulis resensi ini tidak pernah mendengarkan musik hardcore punk yang berisik. Bahkan di dalam sub-genre tempat kami bernaung, tidak ada band yang terdengar serupa dengan kami. Ada band-band yang memiliki kemiripan seperti Dillinger Escape Plan, Botch dan Cave In era awal, tapi semuanya memiliki kelebihan dan nuansa sendiri-sendiri yang berbeda. Orang-orang yang menulis review album kami kemungkinan tidak pernah mendengarkan Rorschach atau Born Against atau Starkweather atau The Accused. Mereka tidak mengerti musik kami, jadi dari awal langsung mencoret kami, seakan mengatakan "Njir, ini musik apaan sih?"

Iklan

Anak-anak death metal melihat kami dan mengatakan, "Rambut elo gak panjang, dan vokalnya liar, tapi kurang low dan growly." Anak-anak hardcore melihat kami dan mengatakan, "Ini mah bukan hardcore." Kami tidak terdengar seperti tipikal band hardcore di era itu. Semua anak punk mengatakan lagu-lagu kami terlalu ribet untuk bisa disebut punk, dan karena tidak ada elemen sosiopolitikal, kami juga dianggap bukan band punk. Kami sudah biasa mendengar hal-hal seperti ini. Sampe sekarang pun masih. Tapi dulu, kurang lebih kritik utamanya seperti itu.

Saya ingat menyelesaikan artwork untuk album Jane Doe. Prosesnya lumayan panjang—seluruh sesi rekaman dan aspek-aspek lainnya—dan saya ingat ketika menyerahkan hasilnya ke Equal Vision. Mereka mengatakan, "Apaan nih? Liriknya tidak bisa dimengerti dan tidak ada tulisan apapun selain kredit di liner notes." Lalu saya mengatakan, "Ya itu tujuan saya. Saya berusaha menciptakan representasi seni rupa dari emosi dalam lagu-lagu kami. Nuansa musiknya memang gila, jadi saya menyajikan tipografi kinetis yang susah dibaca. Vokal saya juga sulit dimengerti, jadi saya menyajikan karya seni yang sesuai." Mereka tidak bisa mengerti ini. Saya harus bersusah payah meyakinkan mereka untuk merilis album ini.

Wah.
Mereka 100 persen tidak mau merilis album ini. Tapi ya gpp juga. Wajar kalau tidak semua orang mengerti. Kami bukan mau ngaku-ngaku sok jenius atau gimana, tapi ketika kamu menyajikan karya kreatif yang tidak dimengerti oleh pihak promosi, karena mereka beum pernah terekspos dengan dunia seperti itu, sangat wajar mereka menolaknya. Ini seperti berbicara dengan bahasa yang berbeda.

Iklan

Pengerjaan album ini adalah titik awal saya mulai menyadari bahwa mungkin Converge terlalu berbeda untuk bisa bekerja sama dengan sebuah label. Kami merasa sudah memenuhi tanggung jawab kami untuk label tersebut. Ini bukan hal yang negatif, tapi kami mulai bergerak ke arah yang berbeda. Waktu itu rasanya tidak ada yang bisa mengerti band kami secara keseluruhan. Tapi seiring waktu, akhirnya kami menemukan jalur sendiri.

Akhirnya kalian bekerja sama dengan Epitaph selama lebih dari satu dekade. Tapi formasi band berubah, Aaron Dalbec meninggalkan Converge setelah album ini.
Kepergian Aaron diputuskan saat…ya, waktu itu kombinasi dua gig berbeda yang jaraknya sekitar tiga minggu satu sama lain. Kami manggung dengan nama Jane Doe, bareng Isis di The Middle East. Kami sengaja tidak mengumumkan acara itu, karena orang juga belum tahu nama albumnya. Kami cuma ingin memainkan lagu-lagu baru live. Seru banget karena kami belum pernah melakukan itu sebelumnya. Nah ketika kami melakukan ini, moral kami dipengaruhi penciptaan album Jane Doe. Kami berempat semakin kompak dalam proses kreatif dan Aaron mulai sibuk dengan banyak hal lain, termasuk Bane. Saat itu Bane mulai menjadi band full-time, dan kami sadar saat sesi rekaman bahwa kami mulai saling menjauh. Kami berempat semakin kohesif tapi Aaron tidak bisa berkontribusi sebesar yang kami inginkan. Akhirnya kami meminta dia untuk mundur. Kami menggelar pertemuan seminggu kemudian dan memutuskan bahwa gig terakhir bareng Aaron adalah acara perilisan Jane Doe.

Iklan

Sayang sekali memang karena saya sangat sayang dengan Aaron, tapi hubungan kami tidak bisa benar-benar pulih semenjak kejadian ini. Kami masih berteman, tapi berat rasanya. Sangat emosional meminta seseorang untuk meninggalkan bandmu, biarpun kalau kamu merasa ini demi kebaikan banyak pihak. Dan saya percaya ini keputusan yang benar. Akhirnya dia bisa fokus di passion utamanya, Bane, bukan band kami.

Apakah sempat ada kekhawatiran bagaimana Converge akan maju terus, mengingat kalian baru merilis album baru dan harus bertransisi dari dua gitar menjadi satu saja?
Kami tidak mempunyai pilihan. Kami sudah dijadwalkan untuk pergi tur seminggu setelahnya. Kami tur bareng Playing Enemy, pertama kalinya manggung berempat aja. Kami gak tau turnya akan seperti apa. Tapi saya ingat bersemangat melakukan semuanya. Kami menemukan cara untuk menggunakan satu gitar tanpa terdengar kosong. Sekarang kami sudah menguasai teknik itu, tapi dulu, ini hal yang baru buat kami, dan rasanya sangat seru. Kami suka tantangan, dan ini memberikan nafas baru bagi band, sama seperti Ben [Koller, drummer] bergabung dengan band kami awalnya.

4. You Fail Me (2004)

Album ini memulai era modern Converge. Kalau saya tidak salah dengar, album ini sempet tertunda?
Iya, tapi gak ada hubungannya sama proses kreatif. Penulisan musik dan proses rekamannya selesai lumayan cepat. Kami memang berada di bawah tekanan waktu saat itu, isu utamanya adalah perselisihan dengan Equal Vision. Mereka merasa kami adalah properti mereka dan kami tidak menyelesaikan kewajiban kami terhadap mereka. Mereka merasa kami ngutang album.

Iklan

Ketika kami dikontrak awalnya, perjanjiannya adalah 2 album dan satu album optional. Dan kami masih bocah ketika menandatangani perjanjian. Saat itu kami masih berumur 20an awal—ini bukan alasan, kami sampai memperkerjakan seorang pengacara untuk menangani—jadi kelewat semangat. Equal Vision merasa Petitioning the Empty Sky tidak bisa dihitung sebagai sebuah album sehingga kami masih berhutang rilisan terhadap mereka. Kami merasa sudah memberikan mereka dua album dan satu album optional: Petitioning, When Forever dan Jane Doe. Tapi mereka mengatakan, "Eh kita belum selesai. Kalian belum boleh pergi." Saya mengerti mentalitas dan sudut pandang mereka, tapi kami memiliki perspektif yang berbeda. Tadi di atas saya sempat menyebutkan bagaimana mereka tidak mengerti Converge sepenuhnya dari sisi kreatif, itu jugalah alasan kami merasa ini saatnya untuk pergi.

Kami kami tidak tahu harus kemana. Saat itu, Epitaph masih dikenal sebagai label pop punk. Era The Offspring, Bad Religion, Rancid dan band-band sejenisnya. Tapi mereka juga mencoba keluar dari pakem dan mendiversifikasikan diri. Mereka menghormati kemandirian dan karakter unik kami. Mereka tidak mau menggabungkan kami dengan band-band baru di roster mereka saat itu, yaitu band-band yang terlihat seperti Nikki Sixx tapi memainkan musik pop punk. Mereka tahu kami punya karakter sendiri, dan mereka menghormati itu.

3. No Heroes (2006)

You Fail Me memiliki elemen ambient dan lebih terbuka, sementara album ini rasanya kembali ke sound yang lebih ekstrem.
Album ini lebih metal, jelas. Tapi sebetulnya album ini semacam evolusi alami dan meneruskan beberapa ide lagu dari You Fail Me. Lagu "Bare My Teeth" itu salah satu yang idenya udah muncul dari lama. Tapi sama seperti band lain, kami selalu menulis ide-ide lagu baru. Kami menyebutnya bank riff, tempat kami menampung rangka-rangka ide. Beberapa riff ini akhirnya masuk di No Heroes.

Iklan

Saya juga merasa Kurt, sebagai seorang sound engineer, semakin percaya diri. Ini adalah pertama kalinya dia mengatur dan melakukan mixing album Converge secara penuh. Dia akhirnya me-remix dan me-master ulang You Fail Me,tapi dengan bantuan engineer luar. Kami berada dalam tekanan waktu ketika mengerjakan You Fail Me karena ada tenggak waktu dari label. Dan saat itu juga, studio Kurt sempat mati lampu beberapa kali saat proses mixing. Parah sih. Pernah kami sudah menyelesaikan dua atau tiga lagu, kemudian mati lampu, dan kami harus mengulang lagi dari awal keesokan hari.

Di No Heroes, Kurt akhirnya bisa mewujudkan visi lagu-lagunya dengan sukses. Album ini sangat menyenangkan dan memuaskan untuk dibuat. Saya senang dengan hasilnya.

2. Axe To Fall (2009)

Menarik saat memperhatikan setelah merilis album mandiri seperti No Heroes, kalian justru banyak berkolaborasi di Axe To Fall. Mulai dari Stephen Brodsky, Steve Von Till dari Neurosis atau bahkan Genghis Tron. Apa inspirasi untuk mengajak pihak luar?
Kadang sulit untuk mencoba mengerjakan semuanya sendiri. Kurt kadang muncul dengan ide lagu, dan dia merasa lagu itu cocok dengan gaya vokal yang spesifik. Atau bisa juga kami sedang tur dan bertemu seseorang yang kami ingin ajak kerja sama. Kayaknya keren aja ngerjain lagu-lagu kami bareng orang lain. Tapi sebetulnya sih album ini gak bisa dibilang album kolaborasi penuh juga. Kami sudah merekam semua lagunya terlebih dahulu dan meninggalkan bagian yang kami ingin diisi oleh orang lain. Jadi sebetulnya tidak banyak input dari pihak luar. Mungkin satu-satunya lagu yang benar-benar kolaboratif adalah "Wretched World," karena Genghis Tron main bareng dengan kami. Mereka band yang penuh talenta dan bekerja sama dengan mereka sangat menyenangkan. Merekam lagu kolaborasi seperti itu sangat epik dibanding karya-karya kami sebelumnya.

Nah, kalo ngomongin tamu yang lain, Steve Von Till itu brilian. Dia itu teman, rekan musik dan seseorang yang saya puja semenjak saya remaja. Jadi kedatangan dia di lagu kami sangat luar biasa. Semua vokalis tamu di album ini keren banget dan memberikan cita rasa mereka sendiri. Kami ingin ini menjadi album yang menyenangkan.

1. All We Love We Leave Behind (2012)

Bagaimana kamu terus menemukan cara untuk mendorong Converge terus maju dan mengeksplor ruang baru dalam punk, hardcore, metal atau apapun itu?
Ya, hidup memang kompleks kan? Saya gak tau kamu gimana, tapi semakin saya bertambah tua, ternyata saya tetap tidak mendapat jawaban atau kedamaian. Hidup saya telah berevolusi dalam banyak cara, dan banyak hal positif yang saya dapatkan. Tapi tetap saja banyak kegelapan. Banyak hal kompleks yang mesti dipecahkan. Kayaknya semua orang mengalami ini, bukan hanya pekerja kreatif.

Saya beruntung karena bermain di sebuah band heavy yang emosional dan intens, jadi saya punya outlet untuk mengekspresikan emosi dan beban hidup. Saya selalu memasukan elemen-elemen ini ke dalam lagu. Bagi saya, ini pengalaman yang positif dan rasanya dialami oleh banyak orang yang ngeband. Mereka menggunakan band sebagai cara untuk keluar. Saya juga begitu. Bukan keluar dari hidup, tapi keluar dari kegelapan yang dirasakan.

Saya sekarang 40 tahun, dan hidup saya sudah jauh berbeda dibanding ketika saya 20 tahun. Tapi saya masih berhadapan dengan banyak isu yang sama yang saya alami ketika berumur 12 atau 10 tahun. Banyak hal yang belum terselesaikan. Kadang saya menghadapi isu-isu ini dengan cara menulis lagu, dan saya bersyukur memiliki kesempatan ini.

Album ini diterima publik sangat positif, bukti bahwa kamu masih berhasil menciptakan album hebat setelah bertahun-tahun eksis sebagai band. Gimana rasanya tahu bahwa Converge punya banyak penggemar loyal?
Menciptakan musik itu sangat egois, dan menciptakan seni itu juga egois. Biarpun anda bagian dari komunitas, dan ada orang yang mendengarkan musik anda kemudian merasa tersentuh, saya tidak pernah memikirkan aspek ini. Satu-satunya hal yang saya pikirkan ketika menciptakan seni—dan mungkin ini waktu yang bagus untuk membahas ini karena saya baru menyelesaikan vokal di album baru tadi. Saya hanya memikirkan cara menangkap emosi dan intensi dari konten lirik saya. Saya tidak mencoba menciptakan lagu heavy agar terdengar heavy, atau lagu keras agar terdengar keras. Saya hanya berusaha menangkap emosi di dalam tulisan saya. Ini adalah proses yang jujur. Saya tidak duduk dan berpikir, "Wah, hari ini nulis lagu ah. Tentang apa ya?" Saya menulis kalau lagi terinspirasi, dan ketika kami mulai menciptakan musiknya, baru saya mulai memikirkan sajak-sajak yang saya tulis yang mungkin cocok dengan nuansa emosi lagu tersebut. Saya harus merasa nyaman dengan musik yang kami buat sebelum mulai direkam.

Sekarang, berumur 40 tahun, saya ingin semuanya sesempurna mungkin. Saya sudah bermain di band ini dalam waktu yang lama. Saya tidak main masuk ke studio terus ngomong, "Ok, asik. Saya tinggal masuk, teriak-teriak, terus beres." Saya ingin—dan ini bukan berarti yang saya lakukan itu sempurna ya. Kita semua memiliki kekurangan dan itulah alasan kita semua unik. Inilah nuansa individual musisi dan seniman. Salah satu hal yang seniman coba lakukan adalah untuk menarik diri keluar dari seni yang mereka buat, karena biasanya hasil karyanya tidak sesuai dengan intensi. Kamu memiliki visi di pikiran, tapi hasilnya tidak pernah sama persis. Tapi inilah yang membuatnya spesial. Selama kami terus berkarya menggunakan mindset ini, saya puas.

David Anthony bisa diajak ngobrolin hardcore lewat Twitter.