FYI.

This story is over 5 years old.

The VICE Guide to Right Now

Malaysia Ikut Berangus Hak LGBTQ Usai Pasangan Lesbian Dihukum Cambuk

Dua perempuan menjalani hukuman cambuk sebanyak enam kali sebagai hukuman karena diduga melakukan hubungan seks sesama jenis di negara bagian paling konservatif Negeri Jiran.
Foto ilustrasi pencambukan dilakukan terhadap perempuan di Aceh. Sumber Beawiharta/Reuters

Malaysia kini mengikuti jejak Provinsi Aceh di Indonesia memberangus hak minoritas seksual atas dasar syariah. Pengadilan Syariah di Trengganu, Malaysia, untuk pertama kalinya melangsungkan hukuman cambuk terhadap pasangan lesbian pada Senin (3/9). Mereka mencambuk dua orang perempuan atas tuduhan mencoba melakukan "hubungan seksual sesama jenis."

Malaysia sejak lama terkenal konservatif, sama seperti di beberapa daerah di Indonesia. Tapi adanya hukuman untuk minoritas seksual belum pernah terjadi sebelumnya. Kalangan sayap kanan beberapa tahun terakhir lebih kencang menyuarakan perlunya memerangi LGBTQ di Negeri Jiran.

Iklan

Kedua perempuan tersebut, 22 dan 32, ditahan oleh polisi Syariah setempat karena diduga melakukan hubungan seks di dalam mobil April lalu. Mereka dijatuhi denda sebesar 3.300 ringgit (Rp10,8 juta) dan masing-masing dicambuk dengan rotan sebanyak enam kali.

Malaysia memberlakukan dua sistem peradilan berbeda bagi nonMuslim dan Muslim. Pengadilan Muslim dijalankan berdasarkan hukuman Syariah. Hampir 66 persen orang Malaysia adalah Muslim. Hal ini menjadikan sistem pengadilan Islam sebagai prioritas utama dalam sistem peradilan pidana Malaysia.


Tonton dokumenter khusus VICE mengenai kehidupan warga Aceh di bawah kendali syariat:


Sistem dua jalur ini berlaku secara nasional. Akan tetapi, peraturannya jauh lebih ketat di Perlis dan Kedah yang berada di barat laut Malaysia serta Kelantan dan Trengganu yang ada di timur laut, yang baru-baru ini melangsungkan hukuman cambuk.

Sekitar 100 orang memadati pengadilan Syariah untuk menyaksikan langsung hukuman cambuk Senin kemarin. Menurut saksi, prosedurnya berlangsung selama enam menit dan tidak melukai kedua perempuan tersebut.

Pejabat Syariah setempat merasa puas karena proses eksekusinya berjalan lancar. Sallehudin Harun, ketua Bar Council Trengganu, mengatakan kepada wartawan bahwa "hukuman cambuk yang dilaksanakan hari ini sesuai dengan hukuman Syariah sebenarnya. Awalnya saya kira cambukannya harus kencang, tapi setelah menyaksikan apa yang terjadi sekarang, saya harap orang mulai mempertimbangkan kembali pengadilan Syariah dan tidak melebih-lebihkan masalahnya. Hukumannya berjalan lancar dan tidak melukai terdakwa."

Iklan

Aktivis HAM berpikiran sebaliknya. Thilaga Sulathireh, anggota LSM Justice for Stisters setempat, menyaksikan hukuman cambuk tersebut dan mengatakan bahwa pengacara seperti Sallehudin tidak memahami masalah sebenarnya. Selama ini mereka bukan mempermasalahkan seberapa keras cambukannya, melainkan pasangan yang dihukum karena melakukan hubungan seks konsensual.

"Kasus pencambukan ini menunjukkan kemunduran bagi HAM di Malaysia," kata Thilaga saat diwawancarai The Star. "Kami bukan mempermasalahkan kerasnya hukuman cambuk, tetapi segala jenis hukuman yang menyakiti fisik terdakwa."

Dalam surat pernyataannya, Amnesty International Malaysia menulis, "hukuman cambuk adalah tindakan kejam, sangat tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia dan sama saja dengan penyiksaan. Tidak ada satupun orang yang berhak hidup dalam ketakutan hanya karena menyukai sesama jenis. Pihak berwenang Malaysia harus segera mencabut undang-undang yang represif, melarang hukuman yang bersifat penyiksaan dan mengesahkan Konvensi PBB Anti Penyiksaan."

Rachel Chhoa-Howard, peneliti yang mengkaji Asia Tenggara di Amnesty International, mengkritik tindakan yang diambil pengadilan Syariah. "Kasus ini menjadi catatan buruk bagi hak LGBTI dan HAM di Malaysia. Hukuman brutal yang dijatuhkan akibat hubungan seks sesama jenis yang konsensual adalah suatu kemunduran parah bagi pemerintah yang berusaha memperbaiki catatan HAM-nya."

Iklan

Insiden pencambukan ini, dalam banyak hal, mengindikasikan pertarungan kultural yang lebih besar terkiat peranan aturan Islam kehidupan sehari-hari warga Malaysia yang kini sedang terjadi di Malaysia. Makanya, tak mengherankan jika dua perempuan itu dicambuk di negara bagian yang dikuasai oleh Partai Islam Se-Malaysia (PAS). Kader-kader PAS getol mengkampanyekan pemberlakuan hukum Syaria yang lebih ketat atau hudud—termasuk di dalamnya pelaksanaan hukuman rajam dan penggal.

“Asosiasi Penduduk Tionghoa Malaysia secara konsisten menunjukkan kekhawatiran bahwa pemberlakuan hudud akan mengganggu kehidupan sipil dan karenanya tak sesuai dengan konstitusi,” ujar Heng Seai Kie, Ketua Wanita MCA seperti dikutip oleh The Star. "Pelaksanaan hukuman pencambukan di muka publik di Trengganu di bawah pemerintahan PAS adalah contoh terbaru hukuman yang tidak sesuai dengan konstitusi.”

Homoseksualitas adalah babak baru dalam pertarungan kultural di atas, meski sejatinya punya sejarah panjang di Negeri Jiran. Sodomi sampai saat ini masih dianggap perbuatan terlarang oleh ketentuan hukum sipil dan syariah. Pelakunya bisa dijerat hukuman 20 tahun penjara. Beleid ini pada dasarnya adalah warisan hukum kolonial Inggris yang mempidanakan "hukuman kelamin yang berlawanan dengan kodrat alami manusia." Sejumlah partai politik berupaya membangkitkan beleid bermasalah tersebut meski menuai banyak kritik. (Beleid yang sama pernah berlaku di Singapura. Namun, sejak 2007 diperbarui sehingga seks anal dan oral diperkenankan bagi pasangan heteroseksual. Sayang, untuk pasangan sesama jenis, beleid tersebut tetap berlaku).

Iklan

Kondisi demikian menciutkan taji para pengkritik paling keras pemerintahan PAS untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap komunitas LGBTQ.

Heng, misalnya, perempuan yang dikenal lantang memprotes kebijakan PAS, buru-buru menegaskan posisinya dengan mengatakan “Wanita MCA tidak mendukung apalagi mempromosikan gaya hidup LGBTQ Namun, kami juga tak mendukung pelecehan terhadap kaum LGBTQ dan pelanggaran privasi individu serta stigmatisasi di ruang publik.”

Semua ini terjadi seiring dengan insiden-insiden anti-LGBTQ yang terjadi di Indonesia. Belakangan, penggeberekan klub gay, kamar hotel hingga pemukiman pribadi kerap dilakukan dengan dalih penerapan Undang-Undang Anti Pornografi dan Porno Aksi yang kontroversial dan sarat dengan pasal karet.

Di Malaysia sendiri, wakil menteri kesehatan Dr Lee Boon Chye beberapa waktu lalu mengklaim bahwa anggota komunitas LGBTQ mengidap "gangguan organik." Ironisnya, pernyataan itu keluar justru ketika Lee berusaha menampik anggapan bahwa homoseksualitas adalah bentuk penyakit mental.

Sementara itu di Penang, seorang menteri baru-baru ini menginstruksikan pencabutan foto dua aktivis LGBTQ dari sebuah pameran foto. Dalam keterangannya kepada media, pejabat itu mengatakan, "Saya sudah berulang menyatakan di depan parlemen bahwa kita tak mendukung promosi budaya LGBTQ di Malaysia." Lalu di Kuala Lumpur, polisi setempat menggerebek sebuah bar gay ternama bernama Blue Boy—penggerebekan pertama dalam kurun tiga dekade terakhir—” dengan dalih “mencegah penyebaran kultur LGBTQ di Malaysia."

Pendeknya, komunitas LGBTQ Malaysia tengah dihadapkan kondisi yang mengkhawatirkan. Numan Afifi, dari Pelangi Campaign, mengatakan kepada CNN bahwa penggerebekan dan pelaksanaan hukuman cambuk digelar untuk memicu ketakutan dalam komunitas LGBTQ.

"Kondisinya kurang nyaman" kata Numan. "Orang-orang merasa tertekan. Mereka takut karena ini kali pertama dua orang perempuan dicambuk karena melakukan aktivitas seksual. Entah apa yang akan terjadi di masa depan. Kira-kira itulah yang kami pikirkan."