FYI.

This story is over 5 years old.

Syariat di Aceh

Ormas Makin Garang, Jangan Harap Praktik Hukuman Cambuk di Aceh Berubah

Rencana pemerintah provinsi Aceh memindah hukum cambuk ke dalam lapas bakal sulit terealisasi. Ormas-ormas Islam di Aceh, termasuk FPI yang kian berkembang, menuntut konservatisme kaku dipertahankan.
Seorang laki-laki dicambuk di Aceh, Masjid Lueng Bata Banda Aceh, Jumat 20 April. Foto oleh Hendri Abik.

Pekan lalu, media sosial di Indonesia dikejutkan foto seorang perempuan Aceh dihukum cambuk di depan khalayak, sambil disaksikan ratusan perempuan lain. Ia ditengarai berprofesi sebagai pekerja seks. Karena dianggap bersalah melanggar hukum perzinahan, perempuan itu dianggap layak mendapat 11 kali cambukan di punggung. Pada cambukan kelima, ia mengangkat kedua tangannya, menunjukkan ketidaksanggupan menahan perih. Petugas lalu beranjak memberinya minum sejenak, sebelum pencambukan berlanjut lagi.

Iklan

Pemandangan ini begitu ironis, karena di hadapan perempuan itu, ratusan kamera merekam wajah si pesakitan serta seluruh proses pencambukan. Lampu kilatnya menyala. Sebagian ‘penonton’ tampak antusias, sedang sebagian lain tampak memandang penuh tatapan miris. Walau begitu, kamera tetap siap sedia. Fotonya lantas merebak cepat di unggahan media sosial.

Pelaksanaan hukum cambuk yang dilakukan di hadapan publik sesungguhnya menuai pro dan kontra—bahkan di Aceh sendiri. Bagi yang sepakat, proses ini sesuai Syariat Islam, karena sesuai tuntunan agama semua jenis hukuman caranya memang dipertontonkan di depan masyarakat luas agar muncul efek jera. Sedangkan mereka yang tidak sepakat secara tegas menyebut pelaksanaan hukum ini melanggar hak asasi manusia.

Pemerintah Aceh terkesan bakal melunak, ketika mengumumkan wacana pemidahan hukum cambuk ke ruang tertutup. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sampai mewacanakan pemindahan hukuman cambuk ke penjara untuk "menjamin hak terpidana", karena sebelumnya digelar di tempat umum dan dilihat anak-anak. Alasan lain yang mendorong wacana ini adalah demi meredam isu Islamofobia. Ia tak ingin pelaksanaan hukum cambuk lantas mengganggu hubungan pemerintah Aceh dengan pihak luar, salah satunya dalam hal investasi. "Agar investor tidak fobia untuk menanam saham di Aceh. Ini juga dapat membantu peningkatan dan lajur ekonomi di sini," kata Irwandi Yusuf, sebagaimana dikutip BBC Indonesia.

Iklan

Perubahan ini dikemas dalam Peraturan Gubernur nomor 5 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukuman Acara Jinayat dilaksanakan di dalam area lembaga permasyarakatan, atau rumah tahanan negara di seluruh wilayah Provinsi Aceh.

Beleid anyar itu, berkaca pada insiden pekan lalu, tampaknya akan sulit dijalankan. Aturan gubernur langsung menuai protes dari organisasi masyarakat (ormas) berbasis keagamaan yang ada di Negeri Serambi Makkah.

Seorang perempuan mengangkat tangan tak kuat dicambuk. Ia divonis bersalah atas kasus zina. Pencambukan berlangsung di depan Masjid Lueng Bata Banda Aceh, Jumat 20 April lalu. Foto oleh Hendri Abik

Ratusan orang dari berbagai ormas Islam, seperti Gerakan Rakyat Pembela Syariat (GRPS) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pekan lalu mendatangi kantor Gubernur Aceh. Massa meminta agar pemerintah tidak merusak aturan syariat Islam yang sebelumnya telah berjalan di Aceh sejak 1999, dan hukum cambuk di muka umum yang telah berlangsung sejak 2006. Sempat terjadi kericuhan singkat ketika massa menuntut hukuman cambuk terus digelar di ruang publik.

Balasan dari kelompok konservatif ini menunjukkan adanya perubahan konstelasi politik di Aceh. Makin banyak organisasi masyarakat Islam berlomba-lomba menjadi yang terdepan dalam pelaksanaan syariat. Salah satu ormas dengan peran semakin besar menggiring opini publik di Aceh adalah Front Pembela Islam (FPI), yang justru datang dari luar.

“Sejak Qanun pertama keluar pada 2004, [persekusi] meningkat hingga sekarang.”

FPI tidak berkembang begitu saja, walau keberadaan ormas ini tercatat pertama kali pada 2004, tak lama sesudah tsunami meluluhlantakkan Aceh. Dari ratusan relawan, Ketua FPI Aceh Tgk Muslim at-Thahiry kepada VICE mengklaim jumlah pendukung ormasnya sudah mencari ribuan di berbagai kota di Aceh. “Alhamdulillah sudah 10 ribu lebih lah,” ujarnya.

Iklan

Bukan cuma FPI yang mendorong konservatisme kaku tetap dipertahankan di Aceh. Selain ormas pimpinan Rizieq Shihab itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh, yang tergabung dalam Aliansi Peduli Syariat Islam, turut tak setuju hukum cambuk dipindah ke lapas. “Pernyataan Gubernur Aceh itu tidak nyambung,” kata Mirza, ketua HMI Aceh saat dihubungi VICE. “Sebab, tidak ada hubungannya investor dan hukuman cambuk,” ujarnya.


Tonton juga liputan VICE tentang praktik pencambukan di Aceh terhadap pasangan LGBT:


Mirza menilai jika dipindah, Pemprov malah melanggar aturan yang berlaku. Pasalnya, ketentuan soal hukum cambuk sudah tertuang dalam Pasal 262 ayat 1 Qanun (Perda) Nomor 7 Tahun 2013 tentang hukum acara jinayat, di mana dalam peraturan itu hukuman cambuk dilakukan di depan umum, bukan di tempat tertutup.

Hal itulah dasar sikap HMI dalam hal pemindahan hukuman cambuk di lapas “Kami selalu siap mengawal syariat islam tetap berjalan secara kaffah di Aceh, dengan cara menolak pihak-pihak yang menginginkan Syariat Islam tidak berjalan di Aceh,” katanya.

Jika Aceh secara de facto maupun de jure sudah melaksanakan syariat Islam, kenapa ormas-ormas ini masih merasa pelaksanaan hukum agama tidak berjalan di Aceh? Jawabannya, setidaknya menurut FPI cabang Aceh, adalah karena ada "tangan-tangan asing." Definisinya adalah semua pihak yang ingin mengganggu pelaksanaan syariat. Selain itu, Muslim beralasan polisi syariat alias Wilayatul Hisbah, kekurangan dana untuk memantau semua wilayah. Itu sebabnya FPI berusaha "membantu."

Iklan

“Kita membantu polisi Syariat mencari informasi. Kita tidak mengambil peran mereka. Kalau mereka tidak bertindak, baru kita libatkan masyarakat,” kata Muslim.

Lantas, apa saja contoh "gangguan" terhadap syariat di Aceh yang sangat agamis itu? Menurut Muslim, bukti nyata adalah masih digelarnya perayaan tahun baru. Dalam konvoi yang dikawal ratusan personel Polres Lhokseumawe, Muslim bersama 300 anggota FPI setempat menyerukan pelarangan untuk merayakan Tahun Baru dengan berbagai macam pesta dimeriahkan pesta kembang api. “Itu bukan syariat Islam,” ujarnya. Begitu pula saat muncul kabar pelaksanaan hukuman cambuk diwacanakan akan dipindah ke lapas, Muslim menilai itu adalah bagian dari upaya pihak luar untuk mengganggu syariat Islam.

“Itu bentuk intervensi asing,” kata Muslim.

Semakin kakunya sikap ormas, baik yang asli berkembang di Aceh maupun datang dari luar seperti FPI, berjalan seiring dengan maraknya persekusi masyarakat. Sifat dari dasar hukum syariat itu berdasarkan pantauan Human Rights Watch (HRW), sejak awal, mendorong orang untuk main hakim sendiri atas dasar moral.

“Sejak Qanun pertama keluar pada 2004, [persekusi] meningkat hingga sekarang,” kata Andreas Harsono, peneliti HRW untuk Indonesia.

Namun harus diakui muncul anomali, setidaknya terkait meroketnya popularitas FPI beberapa tahun belakangan di Aceh. Dulu, rekam jejak FPI yang bercirikan vigilante lantas membuat organisasi ini mendapat citra buruk di mata masyarakat Aceh. Hal itu misalnya disampaikan Azhari, penulis sekaligus budayawan di Banda Aceh. Dia menyebut FPI sampai sekarang masih dipandang cukup negatif di kota-kota besar.

Iklan

“Pandangan negatif FPI ada di Banda Aceh dan beberapa kota lain di mana sedikit kelas menengah liberal tinggal,” kata Azhari.

Peneliti LIPI Wasisto Jati yang lama meneliti penerapan syariat Islam, menilai meningkatnya peran ormas beberapa tahun belakangan di Aceh menunjukkan adanya kekosongan peran dari aparat hukum. “Posisi polisi menjadi lebih lemah dibanding ormas. Lalu dengan mengatasnamakan agama, massa merasa layak menghakimi orang lain,” kata Wasisto.

Analisis lain disampaikan Ian Wilson, peneliti dari Asia Research Centre, Murdoch University. Dia telah mendalami FPI selama bertahun-tahun. Pembangunan citra politik baik di tingkat lokal maupun nasional, adalah alasan utama FPI berupaya keras perannya terlihat di media andai pencambukan batal digelar di ruang tertutup. Semua berita terkait pencambukan cenderung cepat disorot oleh media di Tanah Air.

"Apabila pencambukan berhasil dipertahankan di ruang terbuka, maka FPI akan sukses mengesankan diri sebagai pembela syariat sejati," kata Wilson. "Dalam praktik riilnya, padahal, belum tentu FPI bergerak sendiri mendorong hukuman cambuk tetap dipertahankan seperti sekarang."

Tidak semua warga Aceh berminat menyerahkan kendali pelaksanaan syariat kepada ormas-ormas tersebut. Hendrik, warga Banda Aceh, merasa ormas macam FPI bukanlah representasi sejati masyarakat setempat. Dia melihat ormas intoleran membenarkan pelanggaran hukum dengan dalih moral. Contohnya saat terjadi kerusuhan di kafe Ratu, Desa Aceh Besar. Simpatisan FPI Aceh Barat M Riski (30), tahun lalu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penertiban kafe yang berujung bentrok dan perusakan.

“Padahal dalam Islam kan cinta damai serta menghargai,” ujarnya.