Dalam kolom Sex in Our Strange World , sejarawan seks Dr. Kate Lister dari Leeds Trinity University , mengeksplorasi cara-cara orang dari seluruh dunia mendekati cinta, seks dan pernikahan.
Dalam mitologi Yunani, amazon adalah nama suku perempuan petarung yang pantang hidup dengan laki-laki. Guna mempertahankan populasinya, setahun sekali perempuan-perempuan Amazon ini keluar dari sarangnya, menggunjungi tetangga mereka, suku Gargarean, untuk melakukan hubungan seks dengan anggota mereka.
Videos by VICE
Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, anggota sukua Amazon akan mencampakan pasangan seperti tisu kamar kecil dan kembali ke sarang mereka—harapannya mereka akan segera hamil. Sembilan bulan kemudian, suku Amazon akan memelihara anak-anak perempuan hasil hubungan singkat mereka dengan lelaki Gargarean.
Bagaimana jika yang lahir anak laki-laki? Bila nasib mereka bagus, bayi-bayi ini akan dikembalikan ke ayah biologis mereka. Sebaliknya, jika bernasib buruk, bayi laki-laki akan ditinggal begitu saja di sisi bukit agar segera menemui ajalnya. Brutal!
“ketika perempuan berkuasa, semua orang menikmati kehidupan yang lebih baik—dan tentunya seks menjadi jauh lebih enak.”
Bagi sebagian besar dari kita, frasa “masyarakat matriarkal” menerbitkan imaji tentang perempuan Amazon galak yang doyan membully laki-laki sekehendak hati mereka. Tentu, anggapan itu salah kaprah. Sekelompok antropolog sudah dari jauh-jauh hari menekankan bahwa matriarki tak harus diposisikan sebagai lawan dari patriarki. Dalam masyarakat yang menganut sistem matriarki, perempuan tak harus selalu berkuasa atas laki-laki.
Sederhananya, masyarakat matriarki ialah masyarat yang tak memanang sebelah mata perempuan karena mereka perempuan. Dalam masyarakat seperti ini, kuasa dibagi secara adil di antara gender sementara seorang ibu menempati posisi sentral dalam kebudayaan matriarki. Perrcaya atau tidak, masih ada masyarakat matriarki masih bisa ditemukan hingga kini.
Heide Göttner-Abendroth adalah sosok penting dalam kajian tentang masyarakat matriarki. Pada 1986, Heide mendirikan International Academy for Modem Matriarchal Studies and Matriarchal Spirituality. Menurutnya, masyarakat matriarki beroperasi dalam empat ranah: ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Di ranah ekonomi, masyarakat matriarki tak mewariskan kekayaan lewat garis keturunan ayah, sebaliknya, mereka berbagi kekayaan dan seorang ibu dari sebuah klan mengatur distribusi kekayaan pada seluruh anggotanya.
Dalam ranah sosial, masyarakat seperti ini menempatkan motherhood dalam posisi sentral—hingga lelaki dalam masyarakat matriarki tahu apa yang dibutuhkan untuk memenuhi peran ibu. Anak-anak dibesarkan secara kolektif, karena semua orang bisa berperan sebagai ibu mereka.
Perempuan diberikan keleluasaan dalam praktek politik sehari-hari dalam masyarakat penganut sistem matriarki. Dengan demikian, perempuan dan laki-laki punya andil yang sama dalam pengambilan keputusan yang penting bagi masyarakat mereka. Dalam ranah budaya, suku matriarki menyembah dewi-dewi dan memandang alam liar sebagai seorang perempuan.
Lalu bagaimana seks dalam masyarakat seperti ini? Syukurlah bila kalian penasaran akan hal yang saty ini. Dalam masyarakat patriarki, kekayaan sebuah keluarga diwariskan lewat jalur keturunan seorang arah. Guna memastikan kuasa dan kekayaan diturunkan dari seorang ayah ke anaknya, seksualitas dan sistem reproduksi alami perempuan benar-benar dikontrol dengan ketat. Alhasil, seksualitas perempuan yang diperlihatkan secara blak-blakan ditabukan.
Sebaliknya dalam masyarakat matriarki, pewarisan kuasa dan kekayan lewat jalur keturunan ayah tidak dikenal. Plus, karena anak-anak diasuh secara kolektif, identitas ayah biologis mereka tak begitu penting lagi. Jadi, bisa dibayangkan begitu berbedanya masyarakat seperti ini memandang perempuan yang doyang ngeseks dari cara pandang yang umum kita jumpai di sekitar kita.
Suku Mosuo yang mendiami provinsi Yunnan dam Sichuan, Cina, kerap dianggap sebagai masyarakat matrilinial terakhir di Tiongkok. Kendati jumlah anggotanya masih merosot, suku Musuo punya sejarah panjang di daratan Cina.
Cikal bakal suku ini bisa disusuri sampai tahun 750 sebelum masehi saat penulis sejarah Cina kuno mencatat kawasan yang didiami suku ini sebagai “nu kuo” atau “semesta para perempuan.”
Tonton dokumenter VICE soal suku matriarki terakhir di Tiongkok:
Perempuan-perempuan Mosua tidak menikah, mempunyai sebanyak kekasih yang mereka inginkan, dan tidak memiliki kata untuk ‘suami’ atau ‘ayah’. Pasangan kekasih tidak pernah tinggal bersama; para perempuan mengundang laki-laki datang ke asrama mereka pada malam hari. Pengaturan ini disebut sebagai ‘pernikahan berjalan’, dan hanya dianggap sebagai urusan pasangan yang terlibat. Pernikahan berjalan dapat berlangsung pada jangka panjang atau pun semalam saja, tapi tak ada yang berharap akan mempunyai hanya satu pasangan seumur hidup.
Putus hubungan juga tidak merepotkan – perempuannya hanya perlu berhenti mengundang laki-lakinya ke asramanya, atau laki-lakinya hanya perlu berhenti mendatanginya. Adat datang usia penting adalah saat seorang ibu memberi kunci asrama kepada putrinya, agar ia bisa mulai mengundang kekasihnya untuk menginap—jauh lebih mending daripada dikasih buku Usborne Facts of Life dan disuruh latihan memakai kondom pada timun.
Kaum Khasi tinggal di India Timur Laut dan terdiri dari sekitar 1 juta warga. ‘Kha-si’ artinya ‘dilahirkan seorang ibu’, dan masyarakat ini telah hidup di bawah matriarki selama ribuan tahun. Milik klan ini diwariskan dari ibu ke putri, anak-anak mengambil nama ibunya, dan lelaki yang sudah menikah tinggal bersama istrinya di rumah mertuanya, atau hanya mengunjunginya pada malam hari untuk bercinta.
Perceraian itu sederhana; kedua pihak hanya perlu menyatakan bahwa mereka tidak ingin bersama lagi. Karena ini, perempuan-perempuan Khasi akan mempunyai sejumlah suami.
Meskipun banyak komunitas matriarkal memiliki akar kuno, ada beberapa contoh yang lebih baru. Di Brazil Tenggara, misalnya, kota kecil Noiva do Cordeiro dihuni sekitar 300 orang dan dipimpin perempuan. Kota ini didirikan pada 1891 ketika pendirinya, Maria Senhorinha de Lima, diasingkan dari kampung halamannya dan gerejanya setelah ia meninggalkan suaminya demi kekasihnya.
Lantaran dianggap pelacur dan pezina, Maria pun mendirikan sebuah komunitas perempuan bersama pekerja seks lokal yang juga diasingkan gereja. Kini, para perempuan meneruskan hidup mereka dalam sebuah komun dan menjual sayur-sayuran dan kerajinan tangan, alih-alih seks. Meskipun sejumlah perempuan di kota ini sudah menikah, suami-suami mereka bekerja di luar kota.
Kampung Alapine di Alabama adalah komunitas perempuan yang didirikan pada 1997 sebagai komun lesbian. Alapine merupakan salah satu komunitas lesbian yang lahir pada tahun 1970-an ketika sekelompok perempuan revolusioner mendirikan sebuah perkemahan di pantai di St Augustine, Florida, AS. Kampung Alapine kini menempati 44 hektar dan dihuni 17 perempuan.
Penghuni Alapine bertani pada pagi hari dan mengadakan kegiatan komunal, seperti pembacaan puisi, dan ‘lingkaran bulan purnama’ pada malam hari. Kalau ada yang tertarik, Kampung Alapine selalu mencari rekrut baru – asal kamu tidak mempunyai kromosom Y, tentunya.
Beyoncé pernah menyanyi bahwa perempuan ‘menguasai dunia’, dan meski itu belum dinyatakan, masyarakat-masyarakat matrilineal ini membuktikan bahwa perempuan mampu menguasai dunia di tempat tertentu.
Dengan membangun komunitas berdasarkan nilai-nilai keibuan berbasis kebutuhan masing-masing, daripada kekuasaan dan dominasi itu tidak mustahil. Apalagi, ketika perempuan berkuasa, semua orang menikmati kehidupan yang lebih baik—dan tentunya seks menjadi jauh lebih enak.
Dr Kate Lister adalah sejarawan seks, penulis, dan guru besar di Leeds Trinity University. Ia juga menjalankan blog Whores of Yore . Ikuti dia di Twitter .
Artikel ini pertama kali tayang di Amuse.