Suasana Jalan Sukabumi, dekat Jembatan Pasar Rumput Jakarta Selatan, ramai dua hari menjelang Idul Adha. Warga menggelar bazaar sejak sore, difasilitasi Kelurahan Pasar Manggis. Keramaian dalam hitungan menit berubah mencekam, setelah jarum jam melewati pukul 19.30 WIB. Gerombolan remaja mengendarai sepeda motor, mereka datang dari arah Kampung Menteng Tenggulun. Tuas gas mereka putar seakan tiada hari esok, membuat motor membunyikan suara meraung-raung. Lalu batu pertama dilempar ke arah bazaar, disusul batu-batu berikutnya, kemudian kembang api ditembakkan horizontal dari jalur Transjakarta, meluncur ke arah kerumunan. Pengunjung bazaar memanggil bala bantuan, melibatkan bocah SD sampai tukang ojek, ganti menyerang balik rombongan pengendara motor.
Pecahlah tawuran malam itu, Senin 20 Agustus, di Jembatan Pasar Rumput. Polisi datang satu jam kemudian, membawa pasukan gabungan. Tawuran dipungkasi setelah aparat menembakkan gas air mata. Insiden di sekitaran Pasar Rumput-Manggarai ini menuai kecaman pengguna Internet. Indonesia sedang menjadi tuan rumah Asian Games 2018, namun penduduk perkampungan padat di Jakarta Selatan itu terus berulah. Tindakan warga makin dicap memalukan, lantaran hanya dalam hitungan hari hari raya Idul Adha akan tiba.
Videos by VICE
Satu hal yang orang-orang lupa. Tawuran adalah identitas yang terpaksa diterima warga sekitaran Pasar Rumput-Manggarai. Kejadian Senin malam adalah tawuran kesekian kalinya, yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Pemicunya adalah rivalitas antar kampung, yang sebetulnya kadung meletihkan warga sekitar.
“Kalau enggak dipertahanin bisa-bisa kampung kami dihancurin, dibakar. Mereka bawa parang, ngelempar batu, petasan, sampai molotov,” kata Mulyadi kepada VICE. Mulyadi adalah pengemudi ojek motor berusia 41 tahun. Sejak masa mudanya, warga Menteng Jaya, Pasar Rumput ini sudah biasa menghadapi serangan mendadak kampung sebelah. Tadi malam, dia ikut melempari balik rombongan bocah bermotor pakai batu. “Kami sebenernya udah capek tawuran. Udah bosen. Tapi kami diserang terus. [Sebelum insiden Senin malam] sudah dari Sabtu kami diserang.”
Kepada awak media, Lurah Pasar Manggis Purwati menyatakan pemicu tawuran terakhir adalah remaja yang saling ejek lewat Facebook. Aktor utamanya adalah remaja tanggung, usia SD-SMP, dari Menteng Tenggulun. Total yang terlibat tawuran mencapai 100 bocah. “Ini ada anak kata-kataan di media sosial Facebook. Ada yang marah karena tersinggung. Kebetulan warga Pasar Manggis tawuran sama Menteng Tenggulun,” kata Purwati saat dihubungi awak media.
Lurah Menteng Agus Sulaeman, turut terjun langsung meredam situasi. Dia menuntut warganya yang memprovokasi penduduk Pasar Rumput membubarkan diri, memakai pengeras suara. “Kita semua umat Islam akan merayakan Idul Adha. Jangan Hari Raya Idul Adha dicederai oleh hal-hal yang buruk dan menyakitkan,” ujarnya.
Mereka yang saling serang membubarkan diri. Tidak tercapai perdamaian malam itu. Kapan saja kekerasan dapat meletus lagi.
Ketika VICE tiba di lokasi sehari sesudah tawuran selesai, pecahan botol terserak di beberapa sudut. Sisa kertas petasan masih terlihat di sekitaran jembatan pasar rumput.
Jembatan pasar rumput yang terletak di kelurahan Menteng tersebut telah menjadi saksi bisu perseteruan tak berujung antara warga Menteng Jaya dan kampung sekitaran Manggarai. Di jembatan itulah tawuran warga terjadi sejak puluhan tahun lampau. Dekat jembatan, terdapat sebuah musala kecil berwarna hijau yang dikelola oleh Forum Komunikasi Betawi (Forkabi). Hanya ada tiga orang di dalam musala yang sedang beristirahat sambil menghindari teriknya matahari. Ada juga pos polisi permanen, niatnya mencegah intensitas tawuran antar warga sekitaran Manggarai-Pasar Rumput.
“Awalnya pos polisi cuma dibikin dari kontainer, yang jaga juga dua orang. Baru beberapa minggu belakangan pos polisi tersebut dibangun permanen,” kata Zaenuddin Anwar, 25 tahun, pemuda lulusan SMA yang sehari-hari berjualan bensin eceran. Anwar sejak kecil berusaha menghindari tawuran. Apa lacur, rivalitas antar kampung terlanjur mendarah daging. Jika tak ingin terseret budaya tawuran, anak muda sepertinya harus mengurung diri. Jangan terlalu sering bergaul dengan kawan sebaya. “Warung bensin saya tutup sore, kalau udah gitu saya langsung pulang, enggak ikut nongkrong-nongkrong,” tandasnya.
Semua narasumber yang kami temui tidak mampu menjelaskan detail kapan dan apa pemicu tawuran pertama kali berlangsung. Namun mereka sepakat, perseteruan antar kampung mulai rutin terjadi sejak dekade 1970’an. “Di sini tawuran udah kayak dijadwal, kalau enggak tengah malem ya menjelang subuh,” kata Aminah, 34 tahun, pemilik warung kelontong dekat Jembatan Pasar Rumput.
Tonton dokumenter VICE mengenai diskriminasi rasial terhadap penduduk Maluku yang membuat mereka terjun ke bisnis abu-abu penagihan utang:
Sosok yang tawuran di sekitaran Manggarai-Pasar Rumput tidak selalu sama. Namun jika dipetakan, maka kelompok paling rutin berseteru terkonsentrasi di Menteng Jaya, Tambak, Manggarai Bawah, dan Bukit Duri. Khusus untuk insiden 20 Agustus, Agus selaku Ketua RT 05 Menteng Jaya menyatakan anak-anak kampungnya punya dendam kesumat terhadap bocah dari Menteng Tenggulun. “Tawuran memang selalu spontan berganti seperti musim panca roba di daerah sini,” ujarnya.
Penghuni kampung-kampung tersebut rata-rata dari ekonomi menengah ke bawah, seringkali bekerja di sektor informal. Misalnya mengelola warung kelontong kecil, menjadi buruh bangunan, sopir tembak, tukang ojek, atau mengelola parkir di sekitaran terminal bus dan stasiun kereta Manggarai.
Kombinasi kepadatan penduduk dan kemiskinan berujung pada maraknya geng. Dari aktivitas geng ini mulai ada kebanggaan terhadap kampung, berujung pada gesekan antar warga ketika mencari penghidupan. Berebut penumpang ojek dan lahan parkir sekitaran stasiun, atau saling ejek di medsos saja bisa menyulut kembali konflik.
Berdasarkan catatan Sosiolog Imam B. Prasodjo dari Universitas Indonesia, saat diwawancarai TEMPO, kawasan sekitaran Manggarai-Pasar Rumput memiliki 35 geng anak muda. Itu baru yang tercatat resmi ketika didatangi tim penelitiannya pada 2015. Dua geng yang paling terkenal adalah aliansi penghuni ‘gang tuyul’ dari kawasan Tambak-Tenggulun, serta ‘Gemstas’ atawa Gembel Stasiun yang membangun markas dekat rel Manggarai. Itu baru perseteruan warga yang rumahnya sebetulnya berdekatan. Belum lagi faktor lain yang bikin persoalan makin rumit, lantaran ada faktor alumni sekolah. Sebagian penduduk Manggarai dulu sekolah di STM Boedi Utomo atau biasa dijuluki Boedoet. Sementara penghuni Gang Bedeng atau mereka yang berada di seberang rel bersekolah di STM Karya Guna. Rivalitas sekolah turut menambah panas konflik yang sedari awal sudah rumit sekali.
“[Pelaku tawuran] itu sudah dibangun kebanggaan identitas kelompoknya yang sudah mengkristal dan selalu memandang kelompok lain sebagai musuh. Itu sudah tersosialisasi,” kata Imam. Sikap fatalistik ini diperparah frustrasi warga sekitaran Manggarai-Pasar Rumput terhadap ketimpangan ekonomi yang mereka rasakan.
Pendapat itu dibenarkan Aminah. Tawuran sudah terlanjur diwariskan ke generasi baru. Bocah SMP sekitaran Menteng Jaya pasti terlibat tawuran, jika kakak, sepupu, atau orang tuanya dulu aktif berkelahi menghadapi kampung lawan. Sejak kecil mereka dididik untuk menganggap semua orang yang datang dari Tenggulun sebagai musuh. “Yang ikut tawuran ya anak muda sampai orang tua, siapa aja yang mau tawuran ya tawuran,” kata Aminah.
Agus bahkan melihat banyak bocah di daerahnya serius memikirkan taktik provokasi, berkelahi, dan melarikan diri saat terkepung. “Memang seperti itulah seni anak muda zaman sekarang. Seni berperang,” ujarnya.
Bahkan Mulyadi, yang usianya sudah menginjak kepala empat, tidak sudi mencari solusi meredam permusuhan tanpa alasan jelas ini. Selain masih ikut terjun langsung dalam tawuran, dia menganggap identitas dan keamanan kampung sebagai hal terpenting. Baginya, perseteruan melawan Tenggulun adalah zero sum game—kalau musuh dibiarkan, maka dirinya jadi korban. Tak ada jalan lain. “Kalau kampung lawan sudah berhasil masuk melebihi jembatan, kampung kami bisa masuk dalam bahaya,” ujarnya. “Kami enggak mau nanggepin, tapi gimana kami harus mempertahankan diri.”
Dari berbagai wilayah rawan tawuran sekitaran Jakarta, tinggal di Manggarai-Pasar Rumput tradisi brutal tersebut masih langgeng. Kawasan Matraman atau Johar yang dulu juga dilekati cap rutin terjadi tawuran, intensitas konfliknya sudah turun jauh selama 10 tahun terakhir. Sebaliknya di Manggarai, tahun ini saja sudah terjadi lebih dari 10 kali tawuran skala kecil. Maret 2017, dua bocah remaja tewas karena ditembak pelajar musuh di kawasan Manggarai.
Sejak 2014, terjadi lima tawuran skala besar yang terpaksa ditangani polisi memakai gas air mata. Seperti ritual wajib, sesudah tawuran pecah petugas kelurahan dan polisi akan sibuk “membina” warga melibatkan orang yang dihormati semua pelaku tawuran. Nyatanya pelibatan tokoh masyarakat tak kunjung mempan.
Sejauh ini peluang anak muda sekitaran Manggarai-Pasar Rumput lepas dari lingkaran balas dendam dan kekerasan hanya berbasis keberuntungan. Dua anak lelaki Aminah, katanya, “kebetulan tidak tertarik” tawuran. Sayangnya tak ada jaminan anak-anak lain di kampungnya bisa menghindari budaya kekerasan massal tersebut.
Ketika kami berpamitan, Aminah memantau lagi barang-barang di toko kelontongnya yang sangat mungkin diminta pelaku tawuran malam sebelumnya. Kerugian macam ini sudah biasa dia alami. “Kalau sudah ada korban, [pelaku tawuran] suka minta ke warung saya, kayak odol buat gas air mata, betadine,” ujarnya.
Dia menggelengkan kepala dan mengembuskan napas panjang berulang kali ketika diajak membicarakan topik ini.
“Saya khawatir dengan masa depan anak muda di sini.”