Pada 16 Februari lalu, striker Moussa Marega menjadi sasaran rasisme oleh suporter klub Portugal Vitoria Guimaraes setelah dia mencetak gol kemenangan untuk Porto. Penonton melempari Moussa dengan kursi dan menirukan suara kera setiap kali pemain timnas Mali itu mendekati bola. Tak tahan diperlakukan seperti itu, Moussa akhirnya memilih keluar lapangan.
Anggota satu tim Moussa seharusnya membantu dia keluar dari lapangan, sambil menghentikan pelecehan yang diutarakan kepadanya. Sementara itu, para pelaku ditangkap dan dilarang menonton pertandingan sepakbola lagi.
Videos by VICE
Kenyataannya, Moussa diperlakukan seperti orang tidak waras. Tak ada yang mendukungnya. Dia harus melawan rekan satu tim yang memaksanya untuk tetap di lapangan. Padahal, mereka mungkin sadar penuh penggemar lawan akan terus menyerang Moussa cuma karena dia berkulit hitam.
Moussa berkukuh meninggalkan lapangan. Namun, bagian terburuknya dia justru mendapatkan kartu kuning dari wasit.
Moussa bukan satu-satunya pemain kulit hitam yang menjadi target penonton rasis. Mario Balotelli menerima perlakuan serupa dalam Liga Italia Serie A. Insiden terakhir terjadi tiga bulan lalu. Balotelli akhirnya tetap bermain, tanpa ada anggota yang menawarkan untuk menemaninya keluar lapangan.
Rekaman insiden dengan cepat menyeruak di jejaring sosial. Sebagian besar penggemar, pemain, dan pakar sepakbola menyayangkan sikap rekan satu tim yang acuh tak acuh. Menanggapi insiden Moussa, kelompok anti-rasisme dalam sepakbola Kick It Out mengeluarkan pernyataan: “Pengabaian protokol tidak dapat diterima. Pemain seharusnya bersatu dan meninggalkan lapangan sebagai langkah mengecam rasisme.”
Saya sedih menyaksikan Moussa diperlakukan semena-mena, dan malu menyaksikan mayoritas penggemar Porto yang mendiamkan sikap rasis sesama suporter. Kemudian saya bertanya-tanya, bagaimana jadinya kalau tim favoritku mengambil sikap yang sama? Jika dilihat dari kejadian baru-baru ini, sepertinya bukan hal mustahil pemain kulit hitam meninggalkan Premier League (Liga Utama) Inggris karena menerima serangan rasial.
Awal Desember 2019, penggemar Manchester City diamankan setelah diduga bertingkah seperti kera kepada pemain Manchester United. Dua minggu kemudian, Tottenham tiga kali memperingatkan penggemar betapa buruknya rasisme di stadion, setelah bek Chelsea Antonio Rudiger dan penyerang Tottenham Song Heung-Min dilaporkan mengalami perlakuan rasis. Sebulan sebelumnya, pertandingan FA Cup antara Haringey dan Yeovil dihentikan setelah anggota klub Haringey menunjukkan solidaritas dengan keluar lapangan karena penjaga gawang mereka, Vallery Douglas Pajetat, diludahi dan dilempari suporter lawan.
Satu hari setelah insiden Moussa, saya bertanya ke berbagai petinggi Premier League apa yang akan mereka lakukan jika anggota timnya menjadi target rasisme. Responsnya macam-macam. Ada yang menunjukkan dukungan, ada pula yang tampak kurang tertarik membahas topik ini. Beberapa bahkan tidak menanggapi permintaan berkomentar, meski saya sudah menanyakan mereka sejak beberapa hari lalu.
Respons Liverpool dan Arsenal
Liverpool adalah klub pertama yang memberi tanggapan. Bisa dibilang, jawaban humasnya menjadi yang terkuat jika dibandingkan dengan lainnya, “Kalau ada pemain yang keluar lapangan, kami semua akan ikut keluar.” Benar-benar sesuai dengan slogan mereka “You’ll never walk alone”.
Arsenal juga menyanggupi permintaanku. Setelah memberi tanggapan “akan mendukung penuh semua pemain atau staf yang menjadi korban perlakuan rasis”, juru bicara Arsenal menghubungi saya lewat telepon untuk menjelaskan langkah-langkah yang akan diambil dalam situasi seperti ini. Mereka ingin memastikan semua anggota tim—baik laki-laki maupun perempuan dari segala umur—dibebaskan membuat keputusan jika berada dalam situasi tidak mengenakkan. Mereka akan mendukung penuh keputusannya. Arsenal memastikan pemain takkan mengalami apa yang terjadi pada Moussa dan Balotelli.
Komentar Manchester United, Tottenham, Newcastle, Southampton
Manchester United yakin protokol Liga Utama Inggris takkan menoleransi sikap rasis selama jalannya pertandingan. Wasit harus mengambil langkah jika merasa ada pemain yang menjadi target rasisme. Penyelenggara akan membuat pengumuman stadion untuk menghentikannya, dan pemain diizinkan keluar lapangan untuk jangka waktu tertentu. Apabila langkah ini tidak berhasil, mereka akan menghentikan pertandingan sepenuhnya. Jika protokol ini dipatuhi, MU percaya “pemain [yang menjadi target] tak perlu merasa harus membuat keputusan sendiri.” Yang paling penting, Manchester United takkan pasif dan hanya mengandalkan wasit. Para pemain dan petinggi klub akan mengambil langkah aktif di belakang layar untuk memastikan pertandingannya berjalan lancar.
Tottenham mengambil langkah serupa. “Kami berharap hal semacam ini takkan pernah terjadi, mengingat ketatnya protokol dan pengelolaan masalah dari stadion. Kalau sampai ada pemain kami yang disudutkan, klub akan mendukung mereka sepenuhnya.” Pihak Tottenham kemudian mengklarifikasi pemain takkan dipaksa tetap main jika mereka memutuskan keluar lapangan.
Sementara itu, Southampton memastikan takkan menghalangi pemain yang ingin meninggalkan pertandingan. “Klub akan mendukung keputusan pemain dengan sepenuh hati.”
Newcastle menolak berkomentar. Saya terkejut melihatnya, karena mereka biasanya akan mempertimbangkan dan membicarakan isu ini baik-baik; menunjukkan kalau mereka menanggapinya dengan serius.
Tanggapan Norwich, Everton, Leicester
Norwich: “Sebagai klub, tentunya kami akan mendukung para pemain menghalau segala bentuk diskriminasi.
“Namun, kami mengaku sulit mengomentari keputusan pemain keluar lapangan, karena setiap situasi dapat dipengaruhi berbagai faktor.”
Everton: “Everton mengutuk segala bentuk rasisme. Kami takkan membiarkan perlakuan rasis dalam stadion, klub, komunitas atau permainan. Klub akan mendukung penuh keputusan pemain atau staf yang menerima serangan rasis.”
Leicester: “Klub Leicester City sangat menjunjung tinggi kesetaraan, dan berkomitmen menghilangkan rasisme dan segala bentuk diskriminasi dari sepakbola. Kami takkan menoleransi serangan terhadap anggota. Klub akan memberikan sanksi kepada siapa saja yang bertanggung jawab dalam penyerangan. Klub akan menawarkan bantuan bagi setiap pemain atau staf yang menjadi korban rasisme.”
Sisa klub lain di Premier League ada yang membuat tanggapan klise bahwa rasisme buruk dan harus dilawan. Tiga klub, yakni Crystal Palace, Sheffield United dan Wolves bahkan tidak mau berkomentar soal apa yang harus dilakukan soal rasisme terhadap pemain dari bangku suporter.
Variatifnya jawaban tersebut menunjukkan bila masih banyak klub di Inggris yang gamang untuk bersolidaritas dengan pemain korban rasisme penonton. Mereka cenderung lebih berpihak pada suporter.
Kami pun bertanya dengan topik yang sama pada klub-klub Bundesliga Jerman. Sekilas, bisa dibilang, manajemen tim papan atas Jerman lebih mau bersikap keras melawan rasisme.
Bayer 04 Leverkusen, Borussia Dortmund, dan TSG 1899 Hoffenheim jadi yang langsung memberi tanggapan pada kami soal isu ini.
Menurut humas Leverkusen, “Kami mendorong pemain lain untuk ikut meninggalkan lapangan jika terjadi rasisme oleh suporter. Satu pemain kena serangan rasial, seluruh anggota tim juga merasakannya.”
Dortmund sikapnya lebih keras lagi. “Dalam situasi semacam itu, kalau sampai kami tahu pelaku [ujaran rasis] adalah suporter kami sendiri, maka dia akan dikeluarkan dari keanggotaan resmi. Orang dengan pandangan rasis tidak layak menjadi bagian dari keluarga besar Borrusia Dortmund.”
Jawaban senada, walaupun tidak terlalu keras, disampaikan SV Werder Bremen, Eintracht Frankfurt, Hertha BSC, FC Schalke 04, Fortuna Düsseldorf, FSV Mainz 05, RB Leipzig. Hanya SC Freiburg, FC Augsburg, dan VfL Wolfsburg yang sejauh ini merespons pertanyaan VICE dengan jawaban klise dan enggan bersikap tegas menindak suporter rasis.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.