Buruh Migran RI Terdeportasi Rentan Jadi Agen Baru Terorisme

Detasemen Khusus (Densus) 88 menangkap lima orang terduga teroris di kota Bandung, Jawa Barat pekan lalu. Kelima tersangka diduga berencana menyerang Istana Negara dan markas Brimob di Kelapa Dua, Depok, menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia. Densus 88 juga menyita bahan kimia cair yang disinyalir menjadi bahan baku bom. Belum jelas apa jenis bahan kimia tersebut.

Juru bicara Polda Jawa Barat, Yusri Yunus, mengatakan kelima orang tersebut masih satu jaringan dengan Aman Abdurrahman—otak serangan bom Sarinah awal 2016. Lima terduga teroris tersebut, diidentifikasi dengan inisial Y, pasangan suami istri AR dan AK, serta SH dan R.

Videos by VICE

Pasangan suami istri AR dan AK, diketahui pernah bekerja sebagai buruh migran di Hong Kong. Keduanya dideportasi oleh pemerintah setempat pada 2014 karena dituding menyebarkan paham radikal. Upaya deportasi tersebut tampaknya tak melunakkan ideologi militan mereka. AR dan AK diduga turut bergabung dengan jaringan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) dari sel pimpinan Bahrun Naim. Mereka juga rutin mengikuti diskusi di kanal-kanal ekstremis lewat aplikasi Telegram.

“Terduga teroris tersebut belajar membuat bom dari blog Bahrun Naim,” tutur Yunus dalam jumpa pers. “Penangkapan ini merupakan pengungkapan terbaru jaringan Telegram yang terafiliasi dengan ISIS di Suriah.”

Penangkapan tersebut berhasil menggagalkan serangan mematikan yang kemungkinan dialami Indonesia. Di sisi lain, operasi Densus 88 ini menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap warga negaranya yang menjadi radikal di luar negeri. Pemerintah terkesan luput mengawasi para WNI yang dideportasi akibat radikalisme dan ideologi terorisme.

“Bagi negara tuan rumah yang tidak mau mengambil risiko, deportasi menjadi jalan terbaik menyelesaikan masalah. Dan negara asal harus mau menerima warganya yang dideportasi,” ungkap wakil direktur Migrant Care Anis Hidayah kepada VICE Indonesia.

“Hal ini menjadi masalah bagi pemerintah kita. Pemerintah Indonesia seharusnya membuat peer group untuk mendukung mereka mereka yang dideportasi karena radikalisme, sehingga mereka mendapat pendampingan dan pemantauan.”

Dari data Kementerian Luar Negeri sepanjang kurun 2015 hingga 2017, sebanyak 430 WNI dideportasi dari Turki karena mencoba masuk ke Suriah. Sementara Institute of Policy for Analysis of Conflict (IPAC) mencatat 43 TKI di Hong Kong terpapar radikalisme, 20 orang diantaranya saat ini berada di bawah pengawasan pihak kepolisian Hong Kong. Menurut data IPAC dua tahun lalu, total ada 150.239 buruh migran Indonesia di Hong Kong.

Menurut Anis, lemahnya pengawasan pemerintah dan tidak adanya koordinasi antara lembaga pemangku kepentingan—dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN), kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan kementerian terkait. Adanya celah ini dapat dimanfaatkan para buruh migran yang kadung radikal buat melakukan aksi teror di Tanah Air setelah dideportasi.

“Seharusnya ada koordinasi dengan pemerintah daerah pasca TKI dipulangkan, untuk memantau apakah ada indikasi TKI yang bersangkutan kembali melakukan aktivitas yang berkaitan dengan terorisme,” kata Anis.

Sementara itu aktivis hak-hak buruh migran, Wahyu Susilo, mengingatkan pemerintah agar mencegah radikalisme sejak buruh migran diberangkatkan. Pencegahan ini perlu untuk memastikan sel-sel ekstremis tidak berkembang baik di negara asal maupun tujuan.

Menurut Wahyu, selama ini pemerintah Indonesia lewat kedutaan besar dan konsulat terkesan acuh untuk urusan radikalisme. Tidak pernah ada dialog dengan para TKI yang rentan terpapar ideologi radikal.

“Kedutaan dan konsulat Indonesia seharusnya merangkul organisasi-organisasi buruh migran di negara bersangkutan. Jika tidak diantisipasi, radikalisme ini akan bergulir seperti bola salju,” kata Wahyu.


Baca juga: VICE Indonesia menyajikan banyak laporan yang fokus membedah persoalan terorisme. Berikut salah satunya.

Bergabung ke organisasi yang bersifat keagamaan awalnya adalah cara para buruh migran asal Indonesia menjalin silaturahmi berdasarkan rasa senasib sepenanggungan. Namun menurut penelusuran IPAC, organisasi keagamaan yang kerap menggelar pengajian di negara-negara tujuan TKI justru menjadi basis mencari dukungan dan dana bagi operasi terorisme di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

BNPT sebagai salah satu ujung tombak pemberantasan terorisme, turut menuai kritik. Apalagi setelah terungkap data 400 mantan napi terorisme tak terpantau keberadaannya. Situasi tersebut menimbulkan kesan pemerintah tak memiliki mekanisme komprehensif memantau narapidana kasus terorisme yang telah menyelesaikan masa tahanan.

Pengamat terorisme Taufik Andrie dari Yayasan Prasasti Perdamaian menuding pemerintah tidak mau melakukan assessment per individu yang berisiko tinggi terpapar ideologi teroris. Padahal kebutuhan pendampingan deradikalisasi setiap orang berbeda-beda. Tak heran jika banyak mantan narapidana yang kembali terjun ke aktivitas terorisme.

“Harus dicermati satu per satu akarnya. Kita harus melihat dulu subyek per subyek. Problem mendasarnya terletak pada konsep atau desain program deradikalisasi,” kata Taufik. “Sejauh ini program-program yang ada sifatnya tidak tumbuh dari assessment per individu.”