The VICE Guide to Right Now

Tentara Bakar Polsek Ciracas karena Hoaks, Hubungan TNI-Polri Bagai Bara dalam Sekam

Pengamat pertahanan bilang berbagai tim gabungan TNI-Polri yang menangani bentrokan aparat di lapangan tak bekerja efektif dan transparan. Alhasil, masalah kayak gini berulang terus.
Pembakaran Polsek Ciracas Akibat hubungan TNI-Polri tidak pernah akur sesudah reformasi Indonesia
Apel gabungan TNI-Polri di Kota Bogor. Foto oleh Adek Berry/AFP

Sabtu (29/8) dini hari, kantor Polsek Ciracas di Jakarta Timur dibakar oleh 100-an orang. Tak cuma bangunan, kendaraan dan masyarakat sipil jadi sasaran. Seorang saksi mata melihat perusuh membawa senjata tajam dan berbadan tegap. Para pelaku juga meminta warga sipil yang tengah berkendara di sekitar lokasi untuk putar balik. Dugaan tentara sebagai biang keladi serangan ini buru-buru menyeruak, karena laporan saksi kalau massa kebanyakan “berambut cepak”. Dua polisi terluka, namun tidak ada korban jiwa.

Iklan

Tim gabungan Polri dan TNI yang menyelidiki kasus kemudian menemukan alasan penyerangan tersebut. Rupanya benar, seratusan personel tentara aktif terlibat pembakaran Polsek Ciracas.

Pemicunya adalah Prada MI, seorang anggota TNI yang mengalami kecelakaan tunggal. Tanpa alasan yang diungkap jelas pada publik, usai kecelakaan Prada MI justru menyebar kabar bohong kepada seniornya bahwa dirinya dikeroyok warga yang ditahan aparat Polsek Ciracas. Kisah itu membuat “jiwa korsa” para senior terpantik, dan terjadilah serangan tersebut.

“Dari telepon genggam Prada MI ditemukan yang bersangkutan menginformasikan ke angkatan 2017 mengaku dikeroyok, ditelepon seniornya bilang dikeroyok,” kata Pangdam Jaya TNI Dudung Abdurachman. 

Sewaktu tim penyelidik memeriksa sembilan saksi sipil beserta CCTV di sekitar lokasi, ketahuan bahwa ceruta MI itu omong kosong. “Hal terpenting ada rekaman CCTV, yang bersangkutan kecelakaan tunggal. Tidak ada pengeroyokan dan ada rekaman CCTV.”

Per 31 Agustus, polisi dan tentara telah menyelidiki 31 orang yang berkaitan dengan aksi. Belum ada kabar mengenai keterlibatan warga sipil.

“Dia menyebarkan bahwa dia dikeroyok, disebarkan ke temen-temen satu letingnya bahwa dia dikeroyok oleh masyarakat dan kemudian pengeroyok ditangani oleh polisi sehingga rasa kebersamaan [muncul], kemudian melakukan penyerangan kepada kepolisian, polsek [Ciracas] dalam hal ini,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus, dilansir Detik.

Iklan

Hasil penyelidikan ini memaksa Kepala Staf Angkatan Darat Andika Perkasa menggelar konferensi pers dan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada Polri dan warga sipil. Dia berjanji semua personel militer yang terlibat penyerangan di Ciracas akan dihukum pemecatan dan dipaksa mengganti rugi kerusakan.

Kasus Ciracas ini adalah bukti kesekian hubungan tak sehat antara polisi dan tentara yang beberapa kali berujung kekerasan terbuka. April 2020, bentrok polisi dan tentara di Mamberamo Raya, Papua, bahkan sampai menewaskan tiga polisi. Acara bakar-membakar kantor juga bukan kali ini pertama terjadi, kami pernah merangkumnya di sini.

Jika itu belum cukup: bahkan ini bukan kali pertama kebakaran disengaja terjadi di Polsek Ciracas. Desember 2018, kantor ini pernah dirusak 200-an orang yang juga melukai kapolsek dan membakar sembilan mobil di halaman polsek. Ada dugaan, pembakar adalah orang yang tak puas dengan cara polisi menangani kasus pengeroyokan Pratu Rivonanda oleh sekelompok juru parkir sehari sebelumnya. 

Menurut pakar, salah satu alasan kerentanan hubungan kedua institusi adalah tidak saling percaya. Analis komunikasi militer dan intelijen Safriady pernah bilang, TNI cenderung tidak percaya sama kinerja polisi.

“Sulit bagi TNI untuk percaya pada kinerja polisi dalam menangani kasus. Sikap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat kini terlihat di TNI. Bagaimana polisi sangat lamban dalam menangani kasus itu [pembakaran Polsek Ciracas pada 2018],” ujar Safriady kepada Medcom

Iklan

Alasan lain yang dikemukakan Ketua Setara Institute Hendardi adalah soal “keistimewaan” yang dimiliki tentara. Keterlibatan TNI pada kasus perusakan kerap terjadi sebab TNI seakan kebal hukum. Seharusnya, reformasi TNI dilakukan sehingga insiden perusakan macam ini bisa diadili di pengadilan sipil.

“[Kasus seperti ini sering terjadi] karena anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum. Reformasi TNI juga tampak hanya bergerak di sebagian atas struktural, tetapi tidak menyentuh dimensi kultural dan perilaku anggota,” kata Hendardi kepada Tempo.

Peneliti Studi Militer yang juga Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis mengatakan gesekan antara dua institusi meruncing setelah Rezim Orde Baru pimpinan Suharto jatuh. Sebabnya, secara politik TNI tak lagi menguasai sektor strategis, termasuk sektor bisnis. Sementara, peluang lebih terbuka untuk polisi.

"Ada kecemburuan. Hampir di seluruh daerah, kok. Kalau dikatakan konfliknya sepele, ya memang begitu adanya," kata Beni kepada Tirto.

Sementara upaya sinergi TNI dan Polri cuma terlihat di pejabatnya, tapi enggak menyentuh prajurit dan aparat di level bawah. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai, perdamaian kedua institusi cuma simbol para atasan. Bawahannya ya tetap menyimpan sentimen negatif pada institusi rival. Solusinya, jika bawahan terlibat aksi kekerasan, atasan juga ikut dihukum.

“Penegakan hukum bagi para pelaku kekerasan antar-aparat masih sebatas seremoni para petinggi, tidak menyentuh masalah yang sebenarnya,” kata Bambang kepada Kompas. “Tak menutup kemungkinan, perwira di atasnya juga diberi sanksi dan itu harus dilakukan dengan terbuka sehingga bisa menjadi pelajaran bagi anggota yang lainnya. Bila masih ditutup-tutupi dan hanya selesai acara simbolis dengan rangkulan para petinggi, ke depan ini akan terulang lagi.”

Pada 2014, KontraS mencatat ada 8 kali bentrok polisi dan TNI. Tidak efektifnya tim gabungan TNI-Polri dalam menyelidiki kasus jadi alasan lain yang diungkapkan pengamat militer Beni Sukadis. Menurutnya, tim independen penyelidikan kerap dibentuk untuk menyelidiki kasus tentara-polisi, namun hasil dan prosesnya jarang dibuka ke masyarakat. 

“Itu yang selalu terjadi sampai sekarang berkali-kali, dari tahun 2000-an awal sampai sekarang, kan selalu pakai tim. Bentrok ada bikin tim independen, tapi enggak pernah dibuka,” kata Beni, dilansir Fajar. “Orang pasti mempertanyakan, paling tidak dalam hati tertawa. Anda sendiri saja enggak bisa mengurus antar-sendiri kok, nih masyarakat umum pasti melihatnya begitu.”